Rabu, 15 Februari 2017

World War Z: Bab V: Amerika di Tengah Perang (part 1)

Baca bab sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Taos, New Mexico

(Arthur Sinclair, Jr. adalah gambaran sosok ningrat masa lalu: tinggi, ramping, berambut putih pendek yang rapi, dan aksennya membuatnya terdengar seperti lulusan Harvard. Dia berbicara sambil menatap langit, jarang membuat kontak mata atau berhenti untuk bertanya. Selama masa perang, Tuan Sinclair adalah direktur DeStRes, Departemen Sumber Daya Strategis, yang baru saja dibentuk oleh pemerintah Amerika Serikat.)

Entah siapa yang punya ide membuat singkatan "DeStRes." Aku tidak tahu apakah mereka sadar bahwa singkatan itu terdengar seperti "distress" (kepanikan), tapi kedengarannya memang cocok. Secara teori, menetapkan jalur pertahanan seperti yang ada di Pegunungan Rocky mungkin bisa menciptakan "zona aman," tapi kenyataannya, zona aman itu isinya hanya reruntuhan dan pengungsi. Jutaan orang menjadi gelandangan, terserang penyakit dan kelaparan. Industri berantakan, transportasi dan perdagangan musnah, dan semua ini diperparah dengan mayat hidup yang berkerumun di sepanjang garis pegunungan dan mengancam zona aman kami. Kami harus menyokong orang-orang; memberi makan, pakaian, rumah, dan pekerjaan. Jika tidak, zona aman ini hanya menunda hal buruk yang tak terhindarkan. Itulah sebabnya DeStRes didirikan, dan seperti yang kau duga, aku harus memberi banyak sekali pelatihan.

Bulan-bulan pertama itu...kau tidak bisa membayangkan betapa banyak informasi yang harus kujejalkan ke otak tua berkaratku ini. Semua ceramah, inspeksi keliling...kalaupun aku sempat tidur, biasanya ada buku di bawah bantalku. Bukunya selalu berbeda, mulai dari tentang Henry J. Kaiser* hingga Vo Nguyen Giap.** Aku membutuhkan setiap ide, setiap kata, setiap ons pengetahuan dan kebijaksanaan untuk membantuku menyatukan tanah yang tercerai-berai ini menjadi mesin perang Amerika modern. Seandainya ayahku masih hidup, dia mungkin akan geli melihat rasa frustrasiku. Ayahku dulu bekerja sama dengan Franklin D. Roosevelt sebagai pengawas keuangan di New York. Dia menggunakan berbagai metode yang sifatnya nyaris Marxis; jenis upaya kolektivisme yang akan membuat Ayn Rand*** melompat dari kuburannya dan bergabung dengan para zombie. Aku selalu menolak berbagai pelajaran yang dia berikan, dan aku bahkan lari ke Wall Street untuk menghentikannya. Tetapi, satu hal yang golongan ayahku pandai lakukan adalah menemukan alat dan bakat yang tepat.

Alat dan bakat?

Itu istilah yang anakku pernah dengar dari sebuah film. Kupikir itu cocok dengan rencana konstruksi kami. "Bakat" maksudnya adalah tenaga kerja potensial, tingkat keahliannya, serta bagaimana keahlian tersebut bisa bermanfaat. Jujur, tenaga kerja potensial kami sedikit sekali. Sistem ekonomi modern kita adalah model pasca industri atau berbasis layanan jasa; begitu rumit dan terspesifikasi sehingga setiap individu hanya bisa berfungsi dalam ruang lingkup yang sangat sempit. Coba kau lihat daftar potensi "karir" yang terdaftar dalam data sensus pertama kami! Semua orang pekerjaannya serba "eksekutif," "perwakilan," atau "analis." Semua itu cocok untuk negara di masa damai, tetapi tidak di masa krisis. Kami butuh tukang kayu, tukang batu, mekanik, perakit senjata. Tentu saja kami punya tenaga kerja semacam itu, tetapi tidak sebanyak yang kami inginkan. Survei tenaga kerja pertama kami mencatat bahwa 65 persen tenaga kerja sipil baru kami masuk dalam kategori F-6: tidak memiliki keahlian dasar. Kami membutuhkan pelatihan kerja besar-besaran. Dengan kata lain, kami akan membuat para pekerja kerah putih berkotor-kotor.

Prosesnya lambat sekali. Transportasi udara tidak tersedia, jalan raya dan rel kereta api kacau balau, dan bahan bakar...ya Tuhan, kau tidak bisa menemukan bensin di sepanjang Blaine, Washington, dan Imperial Beach, California. Belum lagi fakta bahwa Amerika sebelum perang memiliki sistem transportasi berbasis komuter, yang kemudian menciptakan kesenjangan ekonomi. Ada lingkungan suburban berisi kaum profesional kelas menengah yang orang-orangnya bahkan tidak bisa membetulkan jendela rumah mereka sendiri kalau pecah. Mereka yang punya keahlian praktis semacam itu justru tinggal di lingkungan kumuh kaum kerah biru, satu jam dari jalan raya, yang berarti mereka harus jalan kaki seharian. Jangan salah, jalan kaki adalah cara utama kami melakukan perjalanan di masa-masa awal.

Masalah--bukan, tantangan--pertama yang kami hadapi adalah kamp-kamp pengungsi. Jumlah mereka ratusan; ada yang seluas lapangan parkir, ada yang membentang bermil-mil jauhnya di sepanjang jalur pegunungan dan pesisir, dan semuanya membutuhkan bantuan pemerintah. Tugas utama kami yang pertama adalah mengosongkan kamp-kamp tersebut. Semua orang yang berstatus F-6 tetapi masih kuat secara fisik menjadi tenaga kerja tak terlatih: mereka membersihkan reruntuhan, memanen tanaman pangan, menggali kuburan. Ada banyak sekali kuburan yang harus digali. Semua yang berstatus A-1, mereka yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, menjadi bagian dari CSSP atau Program Kemandirian Komunitas. Sekelompok instruktur akan bertugas mendidik para mantan pekerja kantor berpendidikan yang kebanyakan duduk supaya mereka menguasai keahlian hidup yang penting.

Program itu sukses besar. Hanya dalam tiga bulan, kami melihat penurunan drastis permintaan bantuan pemerintah. Aku tidak bisa menjelaskan betapa pentingnya hal ini bagi kemenangan kita. Program itu membantu kita semua bergerak dari ekonomi berbasis pertahanan diri dengan produksi nol ke ekonomi kuat dengan produksi penuh untuk masa perang. Inilah cikal bakal Undang-Undang Reedukasi Nasional, program pelatihan kerja terbesar sejak Perang Dunia Kedua, dan bisa dibilang yang paling radikal dalam sejarah modern kita.

Katamu sempat ada sedikit masalah...

Aku baru mau cerita, Jadi, presiden memberiku kebebasan untuk menghadapi semua tantangan fisik dan logistik. Sayangnya, ada sesuatu yang dia atau siapapun di dunia ini tidak bisa berikan, yaitu kemampuan untuk mengubah pola pikir masyarakat. Seperti kataku, dulu ada kesenjangan di antara tenaga kerja Amerika, dan faktor budaya juga bermain di dalamnya. Kebanyakan instruktur kami adalah kaum imigran generasi pertama. Merekalah orang-orang yang tahu cara mengurus diri sendiri, dan bertahan hidup dengan apa yang mereka punya. Tipe orang-orang yang punya kebun sayuran kecil di halaman belakang, memperbaiki rumah mereka sendiri, dan berusaha supaya alat-alat rumah tangga mereka bisa dipakai selama mungkin. Sangat penting bagi mereka untuk mengajari kami keluar dari jebakan kehidupan konsumtif yang nyaman, walaupun dulu mereka juga yang bekerja keras supaya kami bisa hidup enak.

Ya, rasisme memang ada, tapi begitu juga dengan perbedaan kelas. Bayangkan dirimu pengacara korporat kelas atas. Kau menghabiskan hidupmu mempelajari berbagai kontrak, menengahi perjanjian, menelepon sana-sini. Itulah keahlianmu. Itulah yang membuatmu jadi kaya dan mampu menyewa orang untuk memperbaiki toiletmu kalau rusak, supaya kau bisa terus menelepon tanpa terganggu. Makin banyak hal yang kau kerjakan, makin banyak uangmu, dan makin banyak juga orang yang kau sewa untuk memberimu lebih banyak waktu supaya kau bisa terus bekerja. Begitulah cara kerja dunia. Sekarang bayangkan semua itu berakhir. Tidak ada lagi orang yang perlu kontraknya dipelajari, tetapi toilet yang harus diperbaiki tetap ada. Semua pekerjamu sekarang jadi gurumu, bahkan mungkin bosmu. Bagi sebagian orang, itu lebih menakutkan daripada mayat hidup.

Suatu hari, ketika aku meninjau ke LA, aku duduk di bagian belakang kelas pendidikan ulang. Para siswanya semua dari golongan kelas atas di dunia hiburan: agen, manajer, gerombolan "eksekutif bidang kreatif," apapun itu maksudnya. Aku bisa paham kesombongan dan kengototan mereka. Sebelum perang zombie, dunia hiburan adalah industri paling bernilai di Amerika Serikat. Sekarang orang-orang tersebut dilatih untuk menjadi pekerja di pabrik perakitan alat tempur di Bakersfield, California. Seorang wanita yang pernah menjadi direktur audisi marah-marah. Beraninya mereka memperlakukan dirinya seperti itu! Dia punya gelar Master di bidang Teater Konseptual, dia bertanggung jawab memilih pemeran tiga serial komedi situasi terlaris sepanjang lima musim penayangan mereka, dan dia mendapat uang lebih banyak daripada instrukturnya dalam seminggu! Dia bahkan terus memanggil instrukturnya dengan nama depannya. "Magda," dia terus berkata. "Magda, cukup, Magda." Mulanya kukira wanita itu hanya bersikap kasar. Belakangan aku baru tahu bahwa Nyonya Magda Antonova pernah menjadi tukang bersih-bersihnya.

Ya, situasi itu sulit bagi sebagian orang. Tetapi banyak dari mereka yang kemudian mengaku mendapat kepuasan emosional lebih banyak daripada saat masih memiliki pekerjaan lama mereka. Aku mengobrol dengan pria ini saat kami sedang di atas feri yang berlayar dari Portland ke Seattle. Dia dulu bekerja di departemen lisensi di sebuah agen periklanan. Pekerjaannya mengurus permohonan izin untuk menggunakan lagu-lagu rock klasik untuk iklan televisi. Sekarang dia membersihkan cerobong asap. Karena banyak rumah di Seattle tidak lagi memiliki sistem pemanas ruangan sementara musim dingin semakin panjang, dia jarang menganggur. "Aku membuat orang-orang jadi hangat," ujarnya bangga.

Aku tahu kedengarannya Norwan Rockwell**** sekali, tetapi aku sering mendengar kalimat seperti itu. "Kau lihat sepatu itu? Aku yang membuatnya." "Sweater itu dari bulu dombaku." "Jagungnya enak? Itu dari kebunku." Itulah keuntungan sistem lokal ini. Orang-orang jadi bisa melihat hasil kerja mereka. Ada kebanggan pribadi ketika mereka tahu mereka memberi kontribusi jelas pada kemenangan kami, dan itu juga membuatku bangga. Aku membutuhkan perasaan itu supaya tetap waras untuk melakukan pekerjaanku yang lainnya.

Itu tadi soal "bakat." "Alat" adalah senjata untuk menghadapi perang, dan itu termasuk aspek industri dan logistik yang memungkinkan senjata-senjata tersebut dirakit.

(Dia berputar di kursinya dan menunjuk ke foto berbingkai di mejanya. Ketika aku melihat lebih dekat, ternyata itu bukan foto, tetapi label.)

Bahan-bahan:

Molase dari Amerika Serikat

Adas manis dari Spanyol

Licorice dari Prancis

Vanili (bourbon) dari Madagaskar

Kayu manis dari Sri Lanka

Cengkih dari Indonesia

Wintergreen dari Cina

Minyak beri Pimento dari Jamaika

Minyak balsa dari Peru

Itu semua baru bahan-bahan untuk membuat root beer. Kita bahkan belum bicara soal membuat benda-benda seperti komputer, atau pesawat pengangkut bertenaga nuklir. Coba kau tanya siapa saja soal bagaimana pasukan Sekutu memenangkan Perang Dunia Kedua. Mereka yang kurang pengetahuan biasanya akan merujuk ke jumlah pasukan dan kualitas kepemimpinan, atau keajaiban teknologi seperti radar dan bom atom.

(Dia mendengus)

Siapapun yang punya sedikit saja pengetahuan pasti akan menyebut tiga hal: pertama, kemampuan untuk membuat lebih banyak material, sehingga mereka punya lebih banyak peluru, makanan dan perban ketimbang musuh. Kedua, adanya sumber daya alam yang memungkinkan benda-benda tersebut dibuat. Ketiga, adanya sistem logistik yang bukan hanya memungkinkan sumber daya tersebut diangkut ke pabrik, melainkan juga membawa produk yang sudah jadi ke garis depan.

Pasukan Sekutu punya sumber daya, logistik, dan industri yang menyamai seluruh planet. Sebaliknya, Pasukan Poros harus bergantung pada apa yang bisa mereka kais dari perbatasan mereka. Kali ini, kita adalah Pasukan Poros. Para zombie mengendalikan sebagian besar wilayah dunia, tetapi daya produksi Amerika bergantung pada apa yang bisa diambil di area terbatas di Barat. Lupakan saja soal material dari zona-zona aman di luar negeri; kapal-kapal dagang kita semua sudah penuh dengan pengungsi, dan keterbatasan bahan bakar membuat Angkatan Laut Amerika mangkrak.

Kita punya beberapa keunggulan. Industri pertanian California setidaknya bisa mengatasi problem kelaparan, seandainya bisa direstrukturisasi. Tetapi, para petani jeruk dan peternak di sana mulanya menolak keras. Para bos ternak sapi yang mengendalikan sebagian besar industri peternakan di sana adalah yang terburuk. Pernah dengar Don Hill? Pernah nonton filmnya Roy Elliott tentang orang itu? Ketika wabah zombie menyerang Lembah San Joaquin, para zombie menerobos pagarnya dan mencabik sapi-sapinya, seperti semut penyerang Afrika. Bajingan itu berdiri di tengah-tengah mereka, berteriak-teriak sambil menembak kesana-kemari seperti Gregory Peck di Duel in the Sun.

Aku berdiskusi dengannya tanpa basa-basi. Aku memberinya pilihan. Aku bilang padanya musim dingin akan datang, dan masih banyak zombie di luar sana. Jika para pengungsi kelaparan menyerbu tempatnya dan menghabiskan apa yang disisakan oleh zombie, dia tidak akan mendapat bantuan pemerintah. Hill mungkin bajingan, tetapi dia tidak bodoh. Dia bersedia menyerahkan lahan dan ternaknya, dengan syarat bahwa hewan-hewan ternak biaknya tidak disentuh. Sepakat.

Daging steik yang tebal dan empuk. Bisakah kau bayangkan standar kehidupan mewah yang lebih baik dari itu di masa sebelum perang? Hal itu ternyata menjadi keuntungan kedua kami di masa perang. Satu-satunya cara kami bisa terus mendapat pasokan material adalah daur ulang, tapi ini tidak aneh. Israel sudah melakukannya ketika mereka mulai menutup perbatasan, dan negara-negara lain mengadopsi strategi mereka dengan cara tertentu. Tetapi, pasokan mereka tidak bisa menandingi apa yang kami punya. Coba bayangkan kehidupan di Amerika sebelum perang. Semua hal yang dimiliki kaum kelas menengah, hal-hal yang kita nikmati tanpa berpikir; standar kemewahan yang jarang ada di bagian lain dunia. Pakaian, alat dapur, barang elektronik, mobil. Jutaan mobil yang menempati setiap rumah.

Kami punya industri yang khusus mempekerjakan ratusan ribu orang untuk bekerja dalam tiga shift, tujuh hari seminggu. Mereka mengumpulkan, mendata, membongkar, menyimpan, dan mengirim suku cadang, barang serta komponen ke semua penjuru. Memang ada sedikit masalah, seperti para peternak sapi yang tadi, atau orang-orang yang tidak mau menyerahkan Hummer atau mobil Italia klasik lambang krisis paruh baya mereka. Lucu, padahal bensin sudah tidak ada, tetapi mereka masih ngotot mempertahankan mobil-mobil itu. Tapi itu bukan masalah. Mereka masih lebih gampang ditangani dibandingkan dengan institusi militer.

Dari semua tantangan yang harus kuhadapi, yang paling sulit adalah orang-orang berseragam. Karena semua program mereka didukung oleh kontraktor sipil, dan para kontraktor ini bergantung pada sumber daya dari tim DeStRes, aku mendapat kendali penuh. "Kau tidak bisa melucuti pesawat Stealth kami," keluh mereka. "Pikirmu kau siapa berani menghentikan produksi tank kami?"

Mulanya, aku mencoba memberi jawaban rasional. "Tank M-1 Abrams punya mesin jet. Pikirmu dari mana kalian bisa mendapat bahan bakar itu sekarang? Dan kenapa kalian butuh pesawat Stealth untuk melawan musuh yang tidak terdeteksi radar?" Aku mencoba menunjukkan keterbatasan kami pada mereka. Intinya, kami harus mendapat hasil semaksimal mungkin dari investasi ini. Tetapi mereka benar-benar menyebalkan; sepanjang hari sok menelepon, atau berkali-kali muncul di kantorku tanpa pengumuman. Aku tak bisa menyalahkan mereka, tidak setelah apa yang kita semua katakan tentang mereka setelah perang, terutama setelah mereka kalah habis-habisan di Perang Yonkers. Mereka sudah nyaris ambruk, jadi mereka butuh tempat pelampiasan.

(Dia menyeringai penuh percaya diri.)

Aku memulai karirku di pasar saham NYSE, jadi aku juga bisa membentak-bentak keras dan lama seperti sersan. Setiap kali selesai "pertemuan," aku selalu menduga akan mendapat telepon seperti ini: "Tuan Sinclair? Ini Presiden. Terima kasih atas semua jasa Anda. Kami tidak lagi membutuhkan...."

(Dia tertawa lagi)

Itu tidak pernah terjadi. Kupikir karena tidak seorangpun menginginkan pekerjaanku.

(Senyumnya perlahan menghilang)

Bukannya aku tidak pernah melakukan kesalahan. Aku terlalu pelit terhadap Korps D Angkatan Udara. Aku tidak memahami protokol keselamatan mereka, dan tidak tahu apa-apa soal pesawat dirigible.***** Aku hanya tahu persediaan helium kami sudah menipis; satu-satunya yang kami punya dalam jumlah melimpah hanya hidrogen, dan aku tidak mau memboroskannya untuk menciptakan sekelompok bencana Hindenburg modern. Aku juga harus dibujuk oleh presiden untuk membuka kembali proyek fusi dingin eksperimental di Livermore. Menurutnya, walaupun hasilnya mungkin baru akan terlihat beberapa dekade lagi, merencanakan masa depan akan meyakinkan orang bahwa masa depan itu memang ada. Ya, terkadang aku terlalu konservatif dalam satu proyek, dan terlalu liberal dalam proyek lainnya.

Tetapi Proyek Yellow Jacket...aku masih mengutuki diriku sendiri sampai sekarang. Bedebah-bedebah Silicon Valley itu, yang katanya jenius di bidangnya, meyakinkanku bahwa mereka punya "senjata ajaib" yang dapat memenangkan perang 48 jam setelah diluncurkan. Katanya mereka bisa membuat jutaan misil mikro, seukuran peluru kaliber .22, yang bisa disebarkan lewat udara dan dikendalikan dengan satelit untuk meledakkan otak setiap zombie di Amerika Utara. Kedengarannya hebat, ya? Dulu kupikir juga begitu.

(Dia menggerutu pelan)

Kalau aku membayangkan apa saja yang sudah kami kerahkan sia-sia, apa yang seharusnya bisa kami lakukan...ah, tapi tidak ada gunanya menyesalinya sekarang.

Aku bisa saja berhadapan langsung dengan para petinggi militer selama perang, tapi untungnya, aku tidak perlu melakukannya. Ketika Travis D'Ambrosia menjadi direktur kepemimpinan gabungan, dia bukan hanya menemukan perbandingan tepat antara sumber daya dan penyerangan, tetapi juga strategi utuh untuk mengaplikasikannya. Aku selalu mendengarkan setiap kali dia bilang bahwa beberapa jenis persenjataan memegang peranan penting. Aku percaya pada opininya dalam hal-hal seperti soal seragam tentara atau senapan serbu standar.

Aku juga takjub dengan semakin menyebarnya kultur ini di kalangan prajurit. Para prajurit sering mengobrol di jalan, bar atau gerbong kereta, membicarakan hal-hal seperti: "Kenapa harus pakai senjata X kalau dengan biaya yang sama kita sudah bisa mendapat sepuluh Y, yang bisa membunuh zombie sama banyaknya dengan Z..." Mereka bahkan mulai mengutarakan ide-ide mereka sendiri, dan menemukan strategi tempur yang lebih efisien ketimbang yang bisa kami bayangkan. Kurasa mereka menikmatinya. Berimprovisasi, beradaptasi, dan menyaingi cara berpikir para birokrat. Para marinir yang paling membuatku kaget. Padahal dulu aku selalu percaya mitos tentang marinir-marinir bodoh berangasan, seperti manusia purba kelebihan testosteron. Aku tidak pernah tahu itu, karena selama ini korps militer harus memesan berbagai asetnya lewat Angkatan Laut, dan karena para admiral tidak pernah terlalu direpotkan dengan perang darat, kemampuan berimprovisasi pasti selalu menjadi salah satu aset berharga mereka.

(Sinclair menunjuk ke dinding di belakangku, tepat di atas kepalaku. Di sana tergantung sebilah tongkat baja yang ujungnya seperti gabungan antara sekop dan kapak perang bersisi dua. Nama resminya adalah Perkakas Parit Standar Infantri, tetapi kebanyakan orang menyebutnya "alat lobotomi" atau "Lobo.")

Para marinir yang punya ide membuat itu dari bekas rangka mobil. Kami sudah membuat 23 juta benda itu selama perang.

(Dia tersenyum bangga)

Kami masih membuatnya sampai sekarang.


Baca bagian selanjutnya di sini.


*Henry J. Kaiser: industrialis dan pengusaha Amerika di awal abad ke-20 yang terkenal sebagai Bapak Industri Kapal Modern.

**Vo Nguyen Giap: jenderal Vietnam People's Army dan politisi yang dikenal sebagai salah satu pakar strategi militer terhebat di dunia.

***Ayn Rand: penulis dan filsuf modern yang menganut paham Obyektivisme; paham yang mementingkan rasionalitas dan kepentingan diri di atas emosi dan altruisme.

****Norman Rockwell: pelukis dan ilustrator Amerika di awal abad ke-20 yang terkenal dengan karya-karya ikonik bertema Amerika, mulai dari lukisan patriotik hingga fenomena sosial seperti rasisme.

*****Dirigible: tipe kendaraan udara berupa balon untuk keperluan militer.

5 komentar:

  1. Kereenn.. update lgi dong mba.. 😊

    BalasHapus
  2. Slmt mlm mba.. kpn dong update lgi ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, maaf ya karena lama update. Bab berikutnya memang lumayan panjang, tapi kebetulan saya juga lagi kerja di luar kota nih. Jadi waktu luangnya sedikit sekali. Tapi kalau ada waktu dicicil kok. Ditunggu aja ya. :-)

      Hapus