Senin, 22 Agustus 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 2)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Armagh, Irlandia

(Philip Adler bukan Katolik, tetapi dia adalah satu di antara para pengunjung tempat pengungsian milik Paus di masa perang. "Istriku orang Bavaria," ujarnya padaku saat kami duduk di bar hotel. "Dia berkeras mengunjungi Katedral Santo Paul." Ini adalah kali pertama dia keluar dari Jerman sejak perang zombie berakhir. Kami bertemu secara kebetulan, tetapi dia tidak keberatan direkam).

Hamburg dibanjiri zombie. Mereka ada di jalanan, di tiap gedung, membanjir keluar dari Neuer Elbtunnel. Kami sudah mencoba menghalangi mereka dengan mobil-mobil penduduk, tetapi mereka menerobos lewat tiap celah sempit, seperti cacing-cacing bengkak yang berdarah-darah. Para pengungsi juga ada dimana-mana. Mereka datang dari mana-mana, termasuk Saxony, berpikir bahwa mereka bisa kabur lewat laut. Akan tetapi, kapal-kapal sudah pergi, dan pelabuhan nampak berantakan. Ribuan orang terperangkap di Reynolds Aluminiumwerk, dan lebih banyak lagi di Terminal Eurokai. Tidak ada makanan atau air bersih; mereka cuma bisa menunggu diselamatkan seraya dikepung oleh zombie. Aku tidak tahu ada berapa banyak yang terinfeksi.

Pelabuhan penuh sesak oleh mayat hidup. Kami mencoba menahan mereka tetap di pelabuhan dengan meriam-meriam air anti kerusuhan, untuk menghemat amunisi dan menjaga jalanan tetap bersih. Mulanya itu ide bagus, sampai semua hidran mulai kehilangan tekanan. Komandan kami sudah tewas dua hari sebelumnya, karena kecelakaan aneh. Salah satu prajurit menembak kepala zombie yang menindihnya. Peluru itu menembus kepala si zombie, membawa sedikit partikel otak, lantas menancap di pundak si komandan. Gila, ya? Dia menyerahkan wewenang komando padaku, dan tugas resmi pertamaku adalah membunuhnya.

Aku mengubah Hotel Renaissance menjadi pusat komando pasukanku. Lokasinya bagus untuk bertempur, dengan tempat yang cukup luas untuk tempat tinggal prajurit serta beberapa ratus pengungsi. Anak-anak buahku yang sedang tidak mempertahankan barikade mencoba melakukan hal yang sama pada beberapa bangunan di sekitarnya. Jalan-jalan diblokade dan kereta api tak beroperasi, jadi kupikir lebih baik melindungi sebanyak mungkin orang sipil. Pertolongan akan datang, hanya masalah waktu.

Aku baru akan mengorganisir rincian rencana untuk mengumpulkan senjata pertarungan satu lawan satu karena kami kehabisan amunisi, ketika mendadak datang perintah untuk mundur. Itu bukan hal yang aneh. Unit kami memang secara teratur bergerak mundur sejak hari pertama Kepanikan Besar. Yang tidak biasa adalah titik keberangkatannya. Divisi kami untuk pertama kalinya diberi koordinat peta, padahal sebelumnya, kami cukup diberi arahan biasa lewat saluran terbuka agar masyarakat sipil bisa tahu dimana harus berkumpul. Sekarang, yang kami peroleh adalah transmisi berkode dari sistem pemetaan yang tak pernah digunakan lagi sejak Perang Dingin. Aku sampai harus mengeceknya tiga kali untuk konfirmasi. Mereka menyuruh kami ke Schafstedt, di sebelah utara Kanal Nord-Ostsee. Sekalian saja ke Denmark!

Kami juga diberi perintah tegas untuk tidak memindahkan orang-orang sipil. Kami bahkan tidak boleh memberitahu mereka soal keberangkatan kami! Tidak masuk akal. Mereka menarik kami ke Schleswig-Holstein dan meninggalkan para pengungsi? Kami harus berhenti dan kabur begitu saja? Pasti ada kesalahan. Aku meminta konfirmasi. Mereka bilang ya. Aku bertanya lagi. Mungkin petanya salah, atau kodenya yang keliru. Itu bukan pertama kalinya.

Aku tiba-tiba saja sudah bicara dengan Jenderal Lang, komandan Front Utara. Bahkan di tengah-tengah kebisingan tembakan, aku bisa mendengar suaranya bergetar. Dia bilang perintah itu bukan kesalahan; bahwa aku harus menarik pasukan yang tersisa dari garnisun Hamburg dan langsung pergi ke Utara. Ini mustahil, kataku pada diri sendiri. Lucu, 'kan? Aku bisa dengan mudah menerima kenyataan bahwa mayat hidup bangkit untuk melahap seluruh dunia, tapi ini...ini perintah yang secara tidak langsung akan menyebabkan pembantaian masal.

Jangan salah, aku prajurit yang baik, tapi aku dari Jerman Barat. Kau tahu bedanya, 'kan? di Jerman Timur, orang-orang diberitahu bahwa mereka tidak perlu merasa bertanggung jawab terhadap kengerian masa Perang Dunia Kedua, karena sebagai komunis yang baik, mereka juga sama-sama korban seperti Hitler. Kau tahu kenapa para skinhead dan kaum proto-fasis berkumpul di Jerman Timur? Karena mereka tidak terbebani rasa bersalah dari masa lalu, tidak seperti kami di Jerman Barat. Sejak lahir, kami sudah dididik untuk menanggung beban rasa malu kakek dan nenek kami. Kami diajari bahwa, walaupun memakai seragam, tanggung jawab utama kami adalah terhadap hati nurani, apapun risikonya. Begitulah aku dibesarkan. 

Aku memberitahu Lang bahwa tidak mungkin aku mengikuti perintah itu; aku tak bisa meninggalkan semua orang tanpa perlindungan. Ketika mendengar jawabanku, dia mengamuk. Dia bilang aku harus mengikuti perintah tersebut, atau aku dan anak buahku akan diadili karena "pengkhianatan," dan dijatuhi hukuman dengan "efisiensi ala Rusia." Jadi, beginilah kita akhirnya, pikirku. Kami sudah dengar apa yang terjadi di Rusia...pemberontakan, penangkapan, desimasi. Aku memandang ke sekelilingku, semua pemuda umur delapan belas, sembilan belas tahun itu. Semuanya sudah lelah dan takut berperang untuk melindungi nyawa mereka sendiri. Aku tak bisa menahan mereka di sana. Aku mengeluarkan perintah untuk mundur.

Bagaimana mereka menerimanya?

Tidak ada keluhan, setidaknya tidak padaku. Mereka bertengkar sedikit, tapi aku pura-pura tak melihat. Mereka toh sudah melakukan tugas masing-masing.

Bagaimana dengan penduduk sipil?

(Diam sejenak). Kami mendapat reaksi yang sepantasnya. "Kalian mau ke mana?" Mereka berteriak dari jendela-jendela gedung. "Kembali, pengecut!" Aku mencoba menjawab, "Kami akan kembali untuk menolong kalian. Kami akan datang besok dengan lebih banyak tentara. Tetap di tempat kalian, kami akan kembali." Tapi mereka tidak percaya padaku. "Bajingan pembohong!" Aku mendengar seorang wanita berteriak. "Kau membiarkan bayiku mati!"

Kebanyakan orang-orang itu tidak mengikuti kami. Mereka masih takut pada zombie-zombie di jalan. Beberapa yang pemberani bergelantungan di kendaraan pengangkut personel kami, mencoba memaksa masuk. Kami mendorong mereka sampai jatuh. Kami harus mengamankan diri sendiri karena semua orang di gedung mulai melemparkan segala macam benda, lampu, perabot, ke arah kami. Salah satu anak buahku dihantam ember berisi tinja. Aku bahkan mendengar peluru memantul di bodi Marder-ku.

Ketika iring-iringan kami keluar dari kota, kami melewati sisa-sisa Unit Reaksi dan Stabilisasi Cepat. Mereka diserang habis-haisan minggu lalu. Waktu itu aku belum tahu, tapi itu salah satu unit yang dikelompokkan ke dalam kategori yang "bisa dibuang." Mereka bertugas melindungi pasukan yang bergerak mundur, serta mencegah agar zombie dan penduduk sipil tidak mengikuti kami. Intinya, mereka diperintahkan untuk menjaga garis pertahanan terakhir.

Komandan mereka berdiri menatap kami lewat lubang di atas tank Leopard-nya. Aku kenal dia. Kami sama-sama bertugas dalam IFOR* NATO di Bosnia. Kedengarannya mungkin melodramatis kalau kubilang aku berhutang nyawa padanya, tapi dia memang melindungiku dari tembakan seorang tentara Serbia. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah ketika di terbaring di rumah sakit di Sarajevo, bercanda soal ingin cepat-cepat keluar dari negara yang lebih mirip lubang neraka itu. Sekarang di sinilah kami, melewati jalan tol yang hancur di tanah air kami. Kami saling menatap, lantas memberi hormat. Aku masuk kembali ke kendaraanku, berpura-pura mempelajari peta supaya si pengemudi tidak melihat air mataku. "Kalau kita kembali," gumamku, "akan kubunuh bajingan itu."

Maksudmu Jenderal Lang.

Aku sudah merencanakan semuanya, Aku tidak akan marah atau membuatnya kuatir. Aku akan menyerahkan laporanku dan minta maaf atas tindakanku. Mungkin dia akan menasihatiku, mencoba memberi alasan bagus mengapa kami harus mundur. Bagus, pikirku. Aku akan mendengarkan, supaya dia tidak curiga. Kelak, ketika dia berdiri dan menjabat tanganku, aku akan mencabut pistolku dan meledakkan otak Jerman Timurnya sampai memercik ke atas peta yang menggambarkan sisa-sisa tanah air kami. Mungkin para stafnya juga ada di sana, para pelawak yang "hanya mengikuti perintah". Akan kubunuh mereka sebelum mereka menangkapku! Sempurna. Aku tidak akan sekadar melenggang ke neraka seperti bocah Hitler Jugend.** Akan kutunjukkan padanya, dan semua orang, apa artinya menjadi prajurit Jerman sejati.

Tapi bukan itu yang terjadi.

Bukan. Aku memang masuk ke kantor Jenderal Lang. Pasukanku adalah yang terakhir datang, jadi dia sudah menungguku. Setelah menerima laporan, dia duduk di kursinya, menandatangani beberapa surat perintah, menyegel dan mengirim surat untuk keluarganya, kemudian menembak kepalanya sendiri.

Bangsat. Sekarang aku lebih membencinya daripada ketika kami ada di jalanan Hamburg.

Kenapa begitu?

Karena kami akhirnya mengetahui mengapa dia melakukannya. Itu adalah bagian dari Rencana Prochnow.***

Apakah informasi ini membuatmu lebih simpatik padanya?

Kau bercanda? Itulah mengapa aku semakin membencinya! Dia tahu itu semua adalah bagian dari rencana perang yang panjang, dan kami akan membutuhkan orang seperti dirinya untuk menang. Pengecut sialan. Ingatkah kau apa yang kukatakan soal berpegang pada hati nurani? Kau tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, tidak si pembuat rencana atau komandanmu, melainkan dirimu sendiri. Kau harus membuat keputusan sendiri dan hidup sambil menanggung beban konsekuensi keputusan itu, selamanya. Dia tahu itu. Itulah sebabnya dia mengabaikan kami seperti halnya kami mengabaikan penduduk sipil. Dia sudah melihat jalan terjal dan berbahaya di depan. Kami semua harus mendaki jalan itu sambil menyeret beban berat di belakang kami. Tapi dia tidak bisa melakukannya. Dia tidak sanggup menahan bebannya sendiri.

Baca bagian selanjutnya di sini.


*IFOR: Implementation Force, pasukan perdamaian internasional bentukan NATO.

**Hitler Youth: organisasi pemuda dalam Partai Nazi yang beranggotakan pemuda usia 14 hingga 18 tahun.

***Versi Jerman dari Rencana Redeker (baca bagian sebelumnya).

Sabtu, 20 Agustus 2016

Herbert West - Reanimator (part 5)

Penulis: H. P. Lovecraft

Catatan: lanjutan dari 6 seri serial pendek horor yang berkisah tentang Herbert West, ilmuwan yang terobsesi menghidupkan orang mati. Kisah ini dibawakan lewat narasi napak tilas sahabat Herbert West sejak mereka masih mahasiswa sekolah kedokteran. Baca bagian sebelumnya di sini.




Banyak orang menyimpan kisah-kisah mengerikan tak tercatat tentang apa yang terjadi di medan perang pada masa Perang Dunia. Beberapa cerita itu membuatku mau pingsan, nyaris muntah, atau merinding dan kerap menoleh ke belakang dalam kegelapan. Akan tetapi, walaupun kisah-kisah itu sudah terdengar cukup buruk, aku sendiri mengalami yang paling mengerikan--horor mengejutkan dan ganjil yang muncul dari balik bayang-bayang.

Pada tahun 1915, aku adalah dokter berpangkat Letnan I di resimen Kanada di Flanders. Aku satu dari sekian banyak orang Amerika yang mendahului perintah presidennya untuk ikut perang. Aku tidak masuk tentara karena keputusan sendiri, tapi karena mengikuti pria yang untuknya aku telah menjadi asisten berharga--si ahli bedah spesialis asal Boston, Dokter Herbert West. Dr. West sangat antusias dengan kesempatan bekerja sebagai ahli bedah dalam perang, dan ketika kesempatan itu akhirnya datang, dia bisa dibilang menyeretku tanpa meminta persetujuanku. Sebenarnya aku akan senang jika perang ini bisa memisahkan kami, karena berbagai alasan yang membuatku mulai membenci kegiatan serta pertemananku dengan West. Akan tetapi, ketika West pergi ke Ottawa dan berhasil memeroleh jabatan Mayor Medis karena pengaruh kampus kami, aku tak bisa menahan dorongan untuk menyertainya seperti biasa.

Kubilang dr. West sangat bersemangat untuk bekerja di medan perang, tapi bukan berarti dia suka peperangan atau punya perhatian akan keselamatan orang lain. Dia tetap sesosok mesin intelektual yang dingin; kurus, pirang, bermata biru, dan berkacamata tebal. Kurasa dia diam-diam mencibir ketika melihat antusiasme kegiatanku dalam perang tersebut, serta kurangnya sikap netral. Akan tetapi, dia menginginkan sesuatu di Flanders yang dirundung perang, dan untuk mendapatkannya, dia harus mengadopsi identitas militer. Sesuatu yang diinginkannya itu tidak umum; berkaitan dengan cabang ganjil ilmu kedokteran yang diam-diam diikutinya dengan setia, dan membuatnya mencapai berbagai hasil yang menakjubkan sekaligus mengerikan. Jelas bahwa dia menginginkan pasokan tak terbatas mayat para prajurit yang baru tewas, dalam berbagai kondisi.

Herbert West membutuhkan mayat segar karena proyek utamanya adalah menghidupkan kembali mayat. Tak seorangpun pasien kayanya, yang membuat reputasinya terbangun dengan cepat di Boston, mengetahui hal ini. Hanya aku yang tahu; aku yang telah menjadi teman terdekat sekaligus asisten satu-satunya sejak masa-masa kami di Fakultas Kedokteran Universitas Miskatonic di Arkham. Pada masa-masa kuliah itulah dia memulai eksperimen ganjilnya, pertama-tama pada hewan-hewan kecil, dan kemudian mayat manusia yang dia peroleh dengan cara yang sama ganjilnya. Dia menyuntikkan larutan khusus ke nadi mayat-mayat itu, dan jika mayat-mayatnya cukup segar, mereka menunjukkan reaksi ganjik. West pernah bermasalah ketika mencoba menemukan formula yang tepat, karena setiap organisme ternyata memerlukan stimulus yang diadaptasi dengan tepat. Teror membayang dalam benak West setiap kali dia merenungkan kegagalan-kegagalan masa lalunya; sosok-sosok tak terkatakan yang diakibatkan larutan yang belum sempurna, atau mayat yang tak cukup segar. Beberapa hasil eksperimen gagal ini masih hidup--satu dikurung di rumah sakit jiwa sedangkan yang lain menghilang--dan setiap kali dia memikirkan apa yang akan terjadi, dia diam-diam gemetar walau tetap menunjukkan ketenangannya.

West segera memahami bahwa tingkat kesegaran maksimum merupakan syarat utama untuk spesimen yang berguna, dan memutuskan untuk melakukan berbagai metode yang ganjil dan mengerikan. Saat kuliah dan praktik pertama kami di kota industri Bolton, sikapku terhadapnya selalu berdasarkan kekaguman, namun ketika metodenya semakin ganjil dan berani, aku mulai takut padanya. Aku tidak suka caranya menatap orang-orang bertubuh sehat, dan bahkan ada satu kejadian di laboratorium ketika aku menyadari bahwa salah satu mayat ternyata hasil perbuatannya sendiri. Itu adalah kali pertama dia berhasil mengembalikan kemampuan nalar sesosok mayat, dan kesuksesan berharga mahal tersebut telah membekukan hatinya.

Aku tidak berani bicara lebih banyak tentang metodenya selama lima tahun belakangan. Aku tetap bersamanya lebih karena ketakutan, dan juga karena aku telah melihat hal-hal yang tak bisa diungkapkan. Perlahan, aku melihatnya menjadi semakin mengerikan, dan menyadari bahwa hasrat ilmiahnya untuk memperpanjang hidup telah berkembang menjadi keingintahuan ganjil serta kegairahan menakutkan terhadap mayat. Minatnya menjadi kecanduan menyimpang terhadap sesuatu yang abnormal; dia dengan tenangnya sesumbar mengenai kengerian buatan yang akan membuat orang normal takut dan jijik. Di balik raut pucatnya, dia menjadi Baudelaire-nya percobaan ilmiah, Elagabalus di antara makam.

Dia tidak takut terhadap bahaya, dan tidak goyah walau sudah melakukan kejahatan. Puncaknya adalah ketika dia berhasil mengembalikan pikiran rasional mayat yang dihidupkan, sebelum kembali mencari tantangan baru dengan bereksperimen untuk menghidupkan kembali bagian-bagian tubuh yang sudah terpisah. Dia punya ide liar tentang kemampuan vital mandiri dari sel-sel organik serta jaringan syaraf yang terpisah dari struktur fisiologis alaminya, dan dia berhasil mencapai kesuksesan kecil dalam bentuk jaringan hidup yang diambil dari telur sejenis reptil yang sudah hampir menetas. Dia berniat membuktikan dua poin: pertama, apakah kesadaran dan tindakan rasional bisa terwujud dari syaraf tulang belakang dan berbagai pusat syaraf, bukannya otak. Kedua, apakah ada semacam hubungan tak terlihat selain sel-sel jaringan di dalam anggota tubuh yang tadinya masih menyatu dalam satu organisme hidup. Penelitian ini membutuhkan mayat manusia segar dalam jumlah besar, dan inilah sebabnya mengapa Herbert West bergabung dalam Perang Dunia.

Peristiwa itu terjadi pada suatu tengah malam di bulan Maret tahun 1915, di rumah sakit darurat di belakang garis depan di St. Eloi. Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya apakah itu mimpi buruk. West punya laboratorium pribadi di ruangan timur rumah sakit, di kantor sementara yang lebih mirip kandang, yang berhasil diperolehnya dengan alasan bahwa dirinya sedang mengembangkan metode radikal untuk merawat korban yang kehilangan anggota badan. Di sana, dia bekerja seperti tukang jagal di tengah ladang pembantaian. Aku tak pernah terbiasa dengan caranya menangani dan mengelompokkan bahan-bahan kerjanya. Di sela-sela waktunya, dia melakukan berbagai operasi sukses pada prajurit terluka, tetapi hasrat utamanya bukan tindakan heroik seperti itu, melainkan sesuatu yang akan membutuhkan banyak penjelasan aneh bahkan di tengah-tengah situasi mengerikan macam perang.

Suara tembakan pistol bukan hal yang aneh di medan perang, tetapi tidak demikian halnya jika terdengar di rumah sakit. Spesimen West yang sudah dihidupkan tidak dimaksudkan untuk hidup lama atau dipertontonkan di depan orang banyak. Selain jaringan manusia, West juga menggunakan jaringan embrio reptil yang sudah dia kembangkan dengan sukses. Bahan itu jauh lebih baik untuk menjaga tanda-tanda kehidupan dalam potongan jaringan ketimbang yang dari tubuh manusia. Hanya itu yang menjadi perhatian West. Di sudut gelap laboratorium, tepat di atas tungku inkubator buatan sendiri, dia menyimpan wadah besar tertutup yang dipenuhi jaringan sel reptil, yang semakin berlipat ganda dan menjadi gembung menjijikkan.

Pada suatu malam, kami mendapat spesimen baru yang istimewa--seorang pria yang semasa hidupnya sangat sehat dan memiliki kapasitas mental tinggi, sehingga sistem syarafnya relatif terjaga. Ironis, karena orang itu justru adalah orang yang membantu West mendapat laboratoriumnya dan bahkan menjadi teman kami. Dia bahkan juga pernah diam-diam memelajari teori yang sama, dengan bimbingan West. Mayor Sir Eric Moreland Clapham-Lee, D.S.O. adalah ahli bedah terhebat dalam divisi kami, dan dia telah ditugaskan secara terburu-buru ke St. Eloi ketika terdengar kabar adanya pertempuran yang mencapai markas besar. Dia pergi dengan pesawat yang dikemudikan Letnan Ronald Hill, namun pesawat itu ditembak jatuh saat sudah hampir mendarat. Kecelakaan itu sangat mengerikan; mayat Hill tak bisa dikenali, tetapi mayat si ahli bedah tetap utuh walaupun kepalanya hampir terpenggal.

West dengan sigap mengambil mayat teman dan mantan rekan sesama dokternya itu. Aku gemetar ketika melihatnya memisahkan kepala dari tubuh mayat dan meletakkannya di dalam wadah mengerikannya itu untuk eksperimen berikutnya, sebelum menggarap tubuh di meja operasinya. Dia menyuntikkan suplai darah baru, menyatukan beberapa nadi, arteri dan syaraf di dalam batang leher, sebelum menutup bagian daging yang terbuka dengan lembaran kulit, yang diambilnya dari mayat prajurit tak dikenal. Aku tahu apa maunya; dia ingin melihat apakah tubuh ini masih bisa menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang khas Sir Eric Moreland Clapham Lee, walau tanpa kepalanya. Mayat yang dulunya juga peminat ilmu reanimasi ini seolah mendorong kami untuk membuktikannya.

Aku masih mengingat sosok Herbert West dengan jelas di bawah sorotan lampu pijar saat dia menyuntikkan larutan khususnya ke lengan mayat. Sulit menggambarkan adegan itu--aku mungkin akan pingsan kalau melakukannya, karena hanya ada kegilaan di ruangan yang dipenuhi hal-hal ganjil itu: genangan darah dan sisa-sisa tubuh manusia yang menumpuk di lantai berlendir, ditambah dengan jaringan reptil mengerikan yang menggembung dan terus dipanasi di atas nyala api hijau kebiruan, di sudut ruangan yang gelap dan berbayang.

Spesimen itu seperti yang diduga West; sistem syarafnya luar biasa. Ketika kedutan-kedutan kecil mulai muncul, aku bisa melihat wajah West nampak sangat bergairah. Kurasa dia sudah bersiap melihat sendiri bukti pendapatnya selama ini: bahwa kesadaran, logika dan karakter pribadi bisa muncul walau tanpa terhubung dengan otak, bahwa manusia tidak memiliki pusat jiwa, melainkan hanya sesosok mesin yang terdiri dari jaringan syaraf, dengan tiap bagian mandiri dan lengkap. West sudah siap menyatakan bahwa "misteri kehidupan" tak lebih dari mitos.

Mayat itu berkedut lebih keras, dan mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan yang mendirikan bulu kuduk. Lengan-lengannya mengayun, tungkainya bergerak-gerak, dan otot-otot lainnya mengikuti. Sosok tak berkepala itu mendadak mengangkat kedua lengannya seolah sedang berputus asa--tindakan cerdas yang nampaknya sudah cukup untuk membuktikan teori Herbert West. Sistem syarafnya jelas-jelas sedang menggambarkan saat-saat terakhir sosok itu sebelum mati: perjuangan untuk keluar dari pesawat yang sedang jatuh.

Apa yang terjadi selanjutnya sulit kupahami. Mungkin itu halusinasi karena shock lantaran gedung kami kemudian hancur secara mendadak akibat serbuan bom pasukan Jerman. Siapa yang tahu? Apalagi hanya aku dan West yang hidup dari serangan itu. Sebelum dirinya menghilang, West juga kerap berpikir sama, tetapi ada saat-saat dimana dia meragukannya, karena aneh sekali kami berdua bisa punya halusinasi yang sama. Kejadiannya sendiri sangat singkat, tetapi implikasinya mengerikan.

Tubuh di atas meja itu bangkit dan lengannya meraba-raba, ketika kami mendadak mendengar suara. Kedengarannya seperti bukan suara manusia, tetapi bukan hal itu yang paling menakutkan. Bukan juga kata-katanya--suara itu hanya berteriak, "Lompat, Ronald, demi Tuhan, lompat!" Yang menakutkan adalah sumbernya.

Karena suara itu keluar dari wadah bertutup mengerikan yang ada di sudut gelap ruangan.

Bersambung

Baca bagian terakhir di sini.
  

Sabtu, 13 Agustus 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 1)

Baca bab sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Pulau Robben, Provinsi Cape Town, Negara Serikat Afrika Selatan

(Xolelawa Azania menyambutku dari balik meja kerjanya dan menyuruhku duduk di kursinya, supaya aku bisa menikmati udara laut yang sejuk dari jendela. Dia minta maaf karena mejanya "berantakan" dan berkeras membereskan lembar-lembar catatan dari atas meja sebelum kami melanjutkan obrolan. Tuan Azania baru merampungkan setengah dari volume ketiga buku Rainbow Fist: South Africa at War. Buku itu kebetulan membahas tentang hal yang kami diskusikan hari itu: tentang titik balik dalam perang melawan zombie, dan masa-masa ketika negara ini perlahan mulai menarik dirinya dari kegelapan.)

"Dingin" terdengar terlalu biasa untuk menggambarkan salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah modern. Beberapa menganggapnya penyelamat, yang lain menyebutnya monster. Tapi kalau kau pernah bertemu Paul Redeker, mengajaknya berdiskusi soal pandangannya terhadap dunia dan permasalahannya, atau tentang masalah wabah besar-besaran yang berlangsung di seluruh dunia, mungkin satu kata yang akan segera terlintas di benakmu adalah "dingin."

Paul selalu percaya--yah, tidak selalu, tapi sepanjang kehidupan dewasanya--bahwa salah satu kelemahan terbesar umat manusia adalah emosi. Dia selalu berkata bahwa apa yang ada dalam dada kita hanya berfungsi untuk memompa darah; yang lainnya hanya buang-buang waktu dan tenaga. Makalah-makalahnya saat kuliah, yang semuanya membahas solusi "alternatif" untuk berbagai dilema sosial dalam sejarah, membuatnya mendapat perhatian dari pemerintah apartheid. Banyak penulis biografi mengecapnya sebagai rasis, tapi Redeker sendiri pernah bilang kalau "rasisme adalah produk sampingan yang tak diharapkan dari emosi irasional." Ada juga yang bilang bahwa jika Redeker rasis terhadap satu kelompok, dia pasti mencintai kelompok lainnya. Tapi Redeker percaya bahwa cinta dan benci tidak penting. Baginya, keduanya hanyalah hambatan bagi manusia. "Bayangkan apa yang dapat dicapai umat manusia jika mereka menyingkirkan sifat kemanusiaan," begitu katanya. Jahat? Kebanyakan orang bilang begitu, tapi yang lain, terutama kelompok kecil di pusat pemerintahan di Pretoria, bilang bahwa dia adalah sumber luar biasa bagi intelektualitas yang terbebaskan.

Saat itu awal tahun 1980-an, masa-masa genting bagi pemerintahan apartheid. Seluruh negeri seolah sedang tidur di permukaan ranjang paku. Ada ANC, ada Partai Kemerdekaan Inkatha, bahkan ada kelompok ekstremis sayap kanan dari populasi kulit hitam yang sangat menginginkan adanya pemberontakan terbuka untuk memulai pertarungan besar-besaran antar ras. Perbatasan Afrika Selatan menghadapi bahaya dari negara-negara tetangga yang bermusuhan, dan dalam kasus Angola, ancaman perang sipil yang disokong Soviet dan Kuba. Tambahkan isolasi yang semakin besar dari negara-negara demokrasi Barat (termasuk embargo senjata), dan tidak mengherankan jika Pretoria selalu memikirkan solusi terakhir.

Itulah sebabnya pemerintah merekrut Redeker untuk merevisi rencana rahasia yang disebut Rencana Jingga (Orange Plan). Itu sudah ada sejak pemerintahan apartheid pertama berdiri pada tahun 1948. Itu seperti rencana pertahanan diri bagi minoritas kulit putih seandainya penduduk asli memutuskan untuk melakukan pemberontakan besar-besaran. Setiap tahun, rencana itu selalu diperbarui berdasarkan perubahan strategis di negara ini. Situasinya semakin lama semakin suram. Kemerdekaan beruntun negara-negara tetangga serta tuntutan merdeka yang semakin besar, mereka yang di Pretoria sadar bahwa konfrontasi besar-besaran bukan saja akan menjadi akhir pemerintahan Afrikaner, tapi juga masyarakatnya.

Saat itulah Redeker menunjukkan perannya. Dia merevisi Rencana Jingga, dan menyelesaikannya pada tahun 1984. Itu adalah strategi bertahan hidup untuk kaum Afrikaner. Tidak ada variabel yang diabaikan; gambaran populasi, bentang alam, geografi, sumber daya alam, faktor logistik... Redeker tidak hanya memperbarui rencana ini untuk mengikutsertakan ancaman senjata kimia dari Kuba serta kekuatan nuklir negaranya sendiri, tapi juga--ini yang membuat Rencana Jingga 48 terkenal dalam sejarah--keputusan soal warga Afrikaner mana yang akan diselamatkan dan mana yang dikorbankan.

Dikorbankan?

Menurut Redeker, upaya melindungi semua orang akan memakan sumber daya pemerintah sampai ke titik maksimum, dan malah akan menghancurkan seluruh populasi. Dia membandingkannya dengan penumpang kapal tenggelam yang berdesakan di atas perahu penyelamat yang kemudian terbalik, karena tidak ada ruang untuk mereka semua. Redekar bahkan bertindak lebih jauh dengan memperkirakan siapa yang harus diselamatkan. Dia menimbang faktor-faktor seperti jumlah penghasilan, tingkat kecerdasan, kesuburan, pokoknya semua yang ada dalam daftar "kualitas yang dibutuhkan." Itu termasuk lokasi subyek terhadap zona krisis potensial. Kalimat penutup proposalnya adalah: "sentimentalisme kita adalah hal pertama yang harus disingkirkan dalam menghadapi konflik, karena itu akan menghancurkan kita semua." 

Rencana Jingga 48 sangat cemerlang. Isinya jelas, logis, efisien, dan membuat Redeker menjadi orang paling dibenci di Afrika Selatan. Musuh pertamanya adalah kaum Afrikaner radikal dan fundamentalis, para penganut ideologi rasial dan kaum ultra-religius. Lalu, setelah kejatuhan pemerintahan apartheid, namanya mulai dikenal masyarakat luas. Dia pun dipanggil ke sidang Truth and Reconciliation*, namun dia menolak. "Aku tak akan berpura-pura masih punya hati nurani hanya untuk menyelamatkan diri sendiri," katanya di depan publik. "Lagipula, apapun yang kulakukan, mereka pasti akan tetap mengejarku."

Hal itu menjadi kenyataan, walau mungkin tidak dengan cara yang diduga Redeker. Saat itu adalah masa-masa Kepanikan Besar, yang dimulai beberapa tahun sebelum hal yang sama terjadi di negaramu. Redeker sedang di kabinnya di Drakensberg, yang dia beli dengan penghasilan sebagai konsultan bisnis. Dia suka bisnis, kau tahu. "Satu tujuan, tanpa jiwa," begitulah motonya. Dia tidak kaget sama sekali ketika pintunya mendadak didobrak, dan agen-agen dari Badan Inteligen Nasional merangsek masuk. Mereka memastikan nama, identitas, dan karirnya di masa lalu. Mereka tanpa basa-basi bertanya apakah dia yang membuat Rencana Jingga 48. Dia menjawab ya, dengan datar, tanpa emosi. Dia menduga kalau ini adalah semacam balas dendam; dunia toh sudah berubah menjadi neraka, jadi kenapa tidak mengincar "setan-setan apartheid" dulu?

Dia tidak menduga yang terjadi selanjutnya: para agen itu menurunkan moncong senjata mereka, lalu membuka topeng gas masing-masing. Wajah-wajah yang dilihatnya beraneka warna: orang kulit hitam, Asia, kulit cokelat, dan bahkan seorang pria kulit putih tinggi besar, orang Afrikaner yang langsung maju dan tanpa basa-basi bertanya, "kau punya rencana untuk mengatasi semua ini, 'kan?"

Redeker saat itu memang sedang membuat rencananya sendiri untuk menghadapi epidemi zombie. Memang apa lagi yang bisa dilakukannya di kabin terpencil itu? Rencana itu hanya sebuah latihan intelektual; dia tidak mengharapkan siapapun membacanya. Dia juga tidak menamai rencana itu, karena menurutnya, "nama hanya ada untuk memisahkan satu hal dari lainnya," dan saat itu, tidak ada hal lain yang menyerupai apa yang sedang dibuatnya. Sekali lagi, Redeker memperhitungkan semua hal; bukan hanya kondisi strategis negara, tetapi bahkan aspek-aspek seperti perilaku, psikologi, dan "doktrin perang" para zombie. Kau bisa mencaritahu soal Rencana Redeker di berbagai perpustakaan umum, tapi inilah isinya secara garis besar.

Pertama, menyelamatkan semua orang itu mustahil. Wabah sudah terlalu lama menyebar. Angkatan bersenjata sudah terlalu lemah untuk mengisolasi ancaman itu secara efektif, dan karena mereka diturunkan di wilayah yang luas, mereka semakin melemah hari demi hari. Pasukan bersenjata kami harus ditarik ke "zona aman," yang diharapkan dapat diperkuat oleh kondisi alam seperti pegunungan, sungai, dan garis pantai. Ketika sudah dikumpulkan di balik garis zona aman tersebut, pasukan dapat dengan mudah melenyapkan ancaman di perbatasan, sebelum menggunakan sumber daya yang tersedia untuk mempertahankan wilayah itu dari serangan lebih lanjut. Itu rencana pertama, dan masuk akal, sama seperti taktik penarikan pasukan bersenjata konvensional.

Bagian kedua berkaitan dengan rencana penyelamatan masyarakat sipil, dan rencana macam ini tidak akan bisa dibuat orang lain selain Redeker. Menurutnya, hanya sebagian kecil masyarakat sipil yang bisa dievakuasi ke zona aman. Tujuannya bukan hanya untuk menyediakan tenaga kerja dalam masa restorasi ekonomi setelah perang, tetapi juga menjaga stabilitas pemerintahan, untuk membuktikan pada mereka di zona aman bahwa pemerintah selalu memerhatikan mereka.

Ada alasan lain di balik evakuasi tebang pilih ini, alasan yang sudah pasti akan menghadiahi Redeker tempat tertinggi di singgasana neraka. Mereka yang tidak diselamatkan akan digiring ke zona-zona isolasi. Mereka dijadikan umpan manusia untuk mencegah zombie mengikuti para prajurit yang sedang mundur ke zona aman. Menurut Redeker, orang-orang ini harus dijaga agar tetap hidup, dipersenjatai, dan bahkan terus diberi pasokan untuk bertahan hidup, sehingga paa zombie juga tidak akan kemana-mana. Apakah kau lihat betapa cerdas dan gila rencana itu? Membuat orang-orang menjadi tahanan karena "setiap zombie yang mengepung mereka bermakna kurang satu zombie yang mengancam pertahanan kita."

Setelah mendengar penjelasan tentang rencana itu, si agen kulit putih membuat tanda salib, dan berkata "Tuhan mengampunimu, sobat." Yang lainnya menimpali "Tuhan menolong kita semua," dan kemudian, "bawa dia pergi."

Hanya dalam beberapa menit, mereka sudah ada di helikopter menuju Kimberley, tempat dimana Redeker dulu pertama merancang Rencana Jingga 48. Dia langsung digiring ke pertemuan dengan kabinet darurat presiden, dan laporannya dibacakan keras-keras di depan mereka. Kau harus dengar kehebohannya, walau tak ada yang suaranya sekeras si menteri pertahanan. Menteri ini orang Zulu, seorang pria ganas yang lebih suka bertarung di jalanan daripada meringkuk dalam bungker. Si wakil presiden lebih cemas soal pendapat publik. Dia tidak tahu bagaimana kelak nasibnya jika rencana ini sampai bocor ke telinga publik.

Sang presiden sendiri kelihatan sangat tersinggung oleh rencana Redeker. Dia sampai mencengkeram kerah jas menteri keamanannya, berteriak, bertanya mengapa dia membawa si penjahat perang apartheid itu ke kabinet mereka. Si menteri dengan tergagap bilang dia tidak paham mengapa presiden begitu marah, padahal beliau sendiri yang memerintahkannya. Sang presiden berseru bahwa dia tidak pernah memberikan perintah seperti itu, ketika tiba-tiba, dari belakang ruangan itu, satu suara lembut berujar, "aku yang melakukannya."

Pria itu sedari tadi duduk bersandar di tembok. Ketika dia berdiri, tubuhnya bungkuk karena usia dan harus disangga tongkat, namun energinya memancar kuat. Dialah si tetua negara, bapak demokrasi baru kami. Pria yang ketika lahir diberi nama Rolihlahla**, "Si Pembuat Onar." Ketika dia berdiri, semua orang langsung duduk, semua kecuali Paul Redeker. Pria tua itu menatapnya, lalu memberinya senyum hangat yang sudah sangat dikenal dunia, dan berkata, "Molo, mhlobo wam." Selamat datang, rekan segenaraku. Dia berjalan menghampiri Redeker, berputar menghadap para anggota kabinet, mengangkat lembar-lembar kertas yang tadinya dipegang Redeker, dan mendadak berujar dengan suara kuat, "ini akan menyelamatkan rakyat kita." Kemudian, dia menunjuk Redeker, dan berkata, "pria ini akan menyelamatkan kita."

Kemudian, terjadilah hal itu. Sesuatu yang mungkin akan diperdebatkan para ahli sejarah sampai akhir zaman. Dia memeluk Redeker. Bagi orang lain, ini mungkin hanya pelukan khasnya yang biasa, tapi bagi Paul Redeker.... Aku tahu para penulis biografi kebanyakan mengecap Redeker sebagai seseorang tanpa jiwa. Semua orang beranggapan begitu. Paul Redeker: tak punya perasaan, kasih sayang, dan hati nurani. Tetapi, salah satu penulis ternama kami, teman lama sekaligus penulis biografi Biko***, berkata bahwa Redeker sebenarnya orang yang sangat sensitif, bahkan terlalu sensitif untuk ukuran orang yang hidup di masa apartheid di Afrika Selatan. Dia berkeras bahwa perjuangan seumur hidup Redeker untuk menghapus emosi sebenarnya hanya cara untuk melindungi kewarasannya dari kekerasan dan brutalitas yang dilihatnya setiap hari. Tak banyak yang diketahui soal masa kecil Redeker, apakah dia dibesarkan oleh orangtua atau negara, atau apakah dia pernah dicintai. Mereka yang pernah bekerja dengannya tak ingat kapan Redeker pernah menunjukkan interaksi sosial atau ekspresi kehangatan. Akan tetapi, pelukan dari bapak bangsa kami, emosi tulus yang menembus cangkang jiwanya itu...

(Azania tersenyum agak malu).

Mungkin ini kedengarannya terlalu sentimental. Sepanjang yang kita semua tahu, dia monster yang tak berhati, dan pelukan pria tua itu mungkin tak berakibat apapun. Tapi kuberitahu kau, itulah kali terakhir orang melihat Paul Redeker. Sampai sekarang, tak ada yang tahu dimana dia berada. Saat itulah aku mengajukan diri untuk menerapkan Rencana Redeker, di minggu-minggu pertama yang kacau balau. Sulit meyakinkan mereka, tapi aku bilang aku sudah bekerja lama bersama Redeker, dan akulah yang paling mengerti cara berpikirnya dibanding semua orang lain di Afrika Selatan, jadi mana mungkin mereka menolak? Aku mengurus penarikan pasukan, lalu bulan-bulan konsolidasi setelahnya, dan terus sampai perang zombie selesai. Paling tidak mereka menghargai usahaku; kenapa lagi coba mereka memberiku akomodasi mewah ini? (Tersenyum) Paul Redeker, malaikat dan iblis. Beberapa membencinya, yang lain memujanya. Aku? Aku hanya kasihan padanya. Kalau dia masih hidup entah di mana, kuharap dia menemukan kedamaian.

(Setelah berpamitan dengan Azania, aku naik feri menuju daratan utama. Keamanan di tempat yang kudatangi sangat ketat. Aku mengambil kartu tanda masukku. Si penjaga, orang Afrikaner kulit putih tinggi besar, memotretku dua kali. "Harus selalu waspada di sini, sobat," ujarnya. "Banyak orang di luar sana yang mau membunuhnya." Aku membubuhkan tanda tanganku di sebelah namaku dalam daftar tamu, tepat di bawah tulisan Institusi Kejiwaan Pulau Robben. Nama pasien yang kukunjungi: Paul Redeker).

Baca bagian selanjutnya di sini.


*Truth and Reconciliation Commission: komisi pengadilan restoratif yang didirikan setelah kejatuhan pemerintahan apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1994, yang bertujuan mendengarkan kesaksian korban dan pelaku pelanggaran HAM selama masa apartheid, serta memberi keadilan bagi para korban.

**Nama kecil Nelson Mandela.

***Steve Biko: aktivis anti apartheid di periode tahun 60-an dan 70-an.