Jumat, 04 Maret 2016

World War Z: Bab III: Kepanikan Besar (part 6)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Ice City, Greenland

(Sekilas, yang terlihat di permukaan dataran tersebut hanyalah deretan cerobong besar; struktur penangkap angin buatan tangan yang mengalirkan udara dingin namun bersih ke dalam labirin raksasa yang terletak tiga ratus kilometer di bawah tanah. Dari sekitar seperempat juta orang yang dulunya pernah mendiami keajaiban arsitektur ini, hanya sedikit yang tersisa. Beberapa tinggal karena ingin mengelola potensi turisme yang belakangan semakin besar. Lainnya ditanggung oleh dana pensiun yang disediakan Program Warisan Dunia UNESCO. Sisanya, seperti Ahmed Farakhnakian yang mantan mayor Angkatan Udara Pasukan Revolusi Iran, tinggal karena memang tak punya tempat tujuan lain.)

India dan Pakistan mirip seperti Korea Utara dan Korea Selatan, atau NATO dan Pakta Warsawa lama. Jika ada yang tak akan ragu menggunakan senjata nuklirnya untuk melawan pihak lain, itu adalah keduanya. Semua orang tahu dan sudah menduga hal itu, dan itulah sebabnya yang ditakutkan malah tak pernah terjadi. Ancaman itu tertanam begitu kuat sehingga semua perangkat nuklir mereka selalu terpasang dan tak pernah dibongkar. Ibukota kedua negara punya nomor hotline masing-masing, para duta besar saling panggil nama depan, dan para jenderal, politisi serta semua pihak terkait dilatih agar hari yang ditakutkan tidak pernah datang.

Mulanya, infeksi tersebut tidak menghantam Iran sekuat yang dialami negara lain. Tanah di negara kami bergunung-gunung. Transportasi ke sini cukup sulit. Populasi kami relatif kecil. Kalau melihat ukuran negara kami, serta fakta bahwa kota-kota kami bisa dengan mudah diisolasi oleh angkatan bersenjata yang jumlahnya kelewat besar, tidak sulit melihat optimisme pemerintah kami.

Masalahnya adalah para pengungsi; jutaan pengungsi membanjiri negara kami dari timur. Jutaan! Mereka datang berbondong-bondong melintasi Baluchistan, menghancurkan rencana pertahanan yang sudah kami susun dengan susah payah. Sudah banyak wilayah kami yang terinfeksi, dan gerombolan besar zombie perlahan menuju ke arah kami. Para penjaga perbatasan kami kewalahan, dan pos-pos penjagaan tenggelam di tengah arus zombie. Mustahil bagi kami untuk menjaga perbatasan sekaligus mengurusi wabah yang sudah meledak di dalam area kami sendiri. Kami menuntut Pakistan agar bertindak mengurus warga mereka. Pakistan bilang ya, mereka akan melakukan sesuatu. Tapi aku tahu mereka bohong.

Sebagian besar pengungsi sebenarnya datang dari India, dan sekadar melewati Pakistan untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka yang di Islamabad dengan senang hati membiarkan para pengungsi itu melewati ibukota, karena lebih baik mengirim masalah ke negara lain daripada harus mengurusnya sendiri. Kupikir mungkin kami bisa melakukan semacam operasi gabungan di area yang mudah dipertahankan. Rencananya sudah tergambar di kepalaku. Kami bisa beroperasi di area pegunungan di selatan Pakistan; rangkaian pegunungan Pab, Kirthar, dan Brahui Tengah.

Pakistan menolak rencana kami. Beberapa atase militer paranoid di kedutaan mereka bahkan terang-terangan memberitahu kami bahwa jika ada pasukan asing muncul di negara mereka, hal itu akan dianggap sebagai deklarasi perang. Aku tidak tahu apakah presiden mereka membaca proposal kami atau tidak; pemimpin kami tak pernah bicara langsung dengannya. Kau paham apa maksudku soal hubungan India dan Pakistan? Iran dan Pakistan tidak punya hubungan macam itu. Kami tidak punya kerangka diplomasinya. Yang kami tahu, kolonel brengsek itu memberitahu pemimpin negaranya bahwa kami berniat merebut wilayah barat mereka. Tapi kami bisa apa? Ratusan ribu pengungi setiap hari melewati perbatasan kami, dan ribuan di antaranya mungkin sudah terinfeksi! Kami harus mengambil aksi tegas. Kami harus bertindak!

Di antara Iran dan Pakistan, ada sebuah jalan yang mungkin menurut standarmu termasuk kecil, dan di beberapa titik bahkan tidak diaspal, tetapi merupakan nadi utama di selatan Baluchistan. Jika kau menutup satu titik saja, yaitu jembatan Sungai Kech, sekitar enam puluh persen arus pengungsi akan terhenti. Aku memimpin sendiri misi malam ke tempat itu, bersama satu kompi pesawat jet. Kau tidak perlu membayangkan situasinya. Kau bisa melihat deretan lampu mobil dari kejauhan; rangkaian cahaya putih yang mengular bermil-mil dalam kegelapan. Aku bahkan bisa melihat kelap-kelip putih dari senjata yang ditembakkan. Area itu benar-benar terinfeksi.

Aku membidik fondasi tengah jembatan, bagian yang paling sulit diperbaiki jika hancur. Bomku bekerja dengan mulus. Bahan peledak konvensional yang sangat eksplosif, cocok untuk tugas itu. Pesawat jetku buatan Amerika, dari jaman kami masih menjadi sahabat negaramu, dan kupakai menghancurkan jembatan yang dulunya dibangun dengan uang bantuan dari Amerika juga. Ironis, tapi aku pribadi tak peduli. Setelah jet Phantomku terasa ringan, aku langsung pergi dari sana sambil menunggu laporan dari jet pengamat, dan berdoa semoga Pakistan tidak membalas.

Tentu saja doaku tidak terkabul. Tiga jam kemudian, garnisun Pakistan di Qila Safed menembaki perbatasan kami. Belakangan aku baru tahu bahwa Ayatollah dan presiden kami sebenarnya sepakat untuk tidak membalas. Kami sudah lakukan apa yang kami mau, dan Pakistan sudah membalas. Dua-duanya imbang. Tapi siapa yang akan memberitahu Pakistan? Kedutaan mereka di Teheran sudah memusnahkan semua kode dan radio komunikasi. Kolonel brengsek itu memilih bunuh diri daripada "membocorkan rahasia negara." Kami tak punya nomor hotline atau jalur diplomasi. Kami tak tahu bagaimana caranya mengontak pemerintah Pakistan. Kami bahkan tak tahu apakah masih ada pemerintahan atau tidak. Situasinya kacau sekali. Kebingungan berubah menjadi kemarahan, dan kemarahan itu memorak-porandakan negara tetangga kami. Ada pertempuran di perbatasan, ada serangan udara.

Kejadiannya cepat sekali, hanya setelah tiga hari pertempuran konvensional. Tak ada satu pihakpun yang punya tujuan jelas; semuanya hanya digerakkan amarah.

(Dia mengangkat bahu.)

Kami telah menciptakan monster nuklir yang tak bisa dijinakkan siapapun. Teheran, Islamabad, Qom, Lahore, Bandar Abbas, Ormara, Emam Khomeyni, Faisalabad. Tak ada yang tahu berapa banyak yang langsung tewas karena ledakan, dan berapa yang akan tewas setelah awan radiasi mulai menyebar ke berbagai negara; India, Asia Tenggara, Pasifik, Amerika.

Tak ada seorangpun yang menduga hal itu akan terjadi. Kami juga tidak. Demi Tuhan, mereka dulu membantu kami membangun fasilitas nuklir! Mereka menyumbangkan material, teknologi, kesepakatan dengan broker-broker pelarian dari Korea Utara dan Rusia... kami bahkan tak akan pernah punya teknologi nuklir jika bukan karena kerjasama dengan saudara-saudara Muslim kami. Tak ada yang menduga, tapi dulu juga tak ada yang menduga mayat hidup akan datang, 'kan? Hanya satu yang mengetahuinya, dan aku tak lagi memercayainya.

Baca bagian selanjutnya di sini.


1 komentar:

  1. makasih bnyk mb translate nya, ditunggu updatenyaa...

    BalasHapus