Rabu, 16 Maret 2016

Herbert West - Reanimator (part 2)

Penulis: H. P. Lovecraft

Catatan: lanjutan dari 6 seri serial pendek horor yang berkisah tentang Herbert West, ilmuwan yang terobsesi menghidupkan orang mati. Kisah ini dibawakan lewat narasi napak tilas sahabat Herbert West sejak mereka masih mahasiswa sekolah kedokteran. Baca bagian sebelumnya di sini.


Aku tak akan pernah lupa musim panas 16 tahun yang lalu, ketika wabah tifus menghantui Arkham bagai arwah terkutuk dari neraka. Begitulah semua orang mengenang masa itu; dibayangi teror yang seolah menggayut bersama sayap-sayap kelelawar di atas tumpukan peti mati di Pemakaman Christchurch. Akan tetapi, bagiku, kengerian saat ini jauh lebih mendalam: Herbert West menghilang.

West dan aku saat itu sedang mengikuti kelas musim panas mahasiswa pascasarjana di fakultas kedokteran Universitas Miskatonic. Temanku itu sudah mendapat reputasi buruk karena berbagai eksperimennya terkait menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati. Setelah dia membantai banyak hewan untuk eksperimennya, dekan kami yang skeptis, Doktor Allan Halsey, akhirnya menghentikan kegiatannya secara paksa, walaupun West tetap diam-diam melanjutkannya di asramanya yang suram, dan bahkan mengalami kejadian tak terlupakan saat menggali dan membawa mayat dari pemakaman petani ke rumah pertanian kosong di Bukit Meadow.

Aku bersamanya pada saat kejadian tersebut, dan aku melihatnya menyuntikkan ramuan buatannya ke nadi mayat, yang dia yakini dapat mengembalikan proses fisik dan kimiawi tubuh dalam tingkatan tertentu. Eksperimen itu berakhir bencana, dan walaupun kami perlahan berhasil menenangkan diri setelahnya, West tak pernah berhasil menyingkirkan perasaan bahwa dia sedang diburu dan dihantui. Mayat yang kami gunakan nampaknya tak cukup segar; kami ternyata memang butuh mayat yang masih segar untuk mengembalikan aspek-aspek mental ke tubuh tersebut. Kami juga tak sempat mengubur kembali mayat tersebut karena rumah yang menjadi laboratorium kami terbakar. Jujur, kami akan merasa lebih tenang kalau makhluk itu setidaknya sudah dikubur.

Setelah eksperimen gagal itu, West berhenti memikirkan proyeknya. Akan tetapi, hasrat ilmuwan dalam dirinya tak bisa ditahan, dan dia kembali memohon pada pihak kampus untuk bisa menggunakan ruang otopsi dan mayat segar mereka. Akan tetapi, percuma saja; keputusan Doktor Halsey sudah bulat, dan para profesor mendukungnya. Ketika West menyodorkan teori radikalnya tentang menghidupkan mayat, yang mereka lihat adalah antusiasme janggal nan mentah khas anak muda. Anak muda yang tubuh kecil, rambut kuning, mata biru dan kacamata tebalnya menyamarkan kecerdasan dingin yang nyaris kejam dalam dirinya. Aku masih bisa membayangkannya dengan jelas. Ketika usianya semakin bertambah, raut wajah West semakin keras, tapi seolah tidak menua.

West akhirnya terlibat adu argumen keras dengan Doktor Halsey menjelang akhir program sarjana, yang menurutku tidak menguntungkannya, karena dia kasar walau si doktor terus bersikap sopan terhadapnya. West merasa bahwa pihak fakultas bertindak bodoh dan tak masuk akal dalam menanggapi proyek hebatnya, yang menurutnya dapat menjadi karir jangka panjangnya, namun tak bisa dilakukan karena perlengkapan yang dibutuhkannya masih dikuasai pihak universitas. Fakta bahwa para tetua kampus yang kolot itu tak menghiraukan proyek-proyek terdahulunya dengan hewan-hewan, serta berkeras menentang teorinya tentang menghidupkan kembali orang mati, sangat menjijikkan dan sukar dipahami bagi logika muda West yang temperamental.

West akhirnya berpendapat bahwa para "profesor-doktor" ini memiliki kecenderungan pemikiran sempit yang kronis. Mereka adalah generasi Puritan: baik hati, penuh pertimbangan, ramah, namun berpandangan sempit, picik, dan terlalu terikat tradisi. Bertambahnya usia semakin memperparah jiwa-jiwa baik yang tak kompeten itu dengan kepengecutan serta dosa-dosa intelektual: Ptolemaisme, Calvinisme, anti-Darwinisme, dan anti-Nietzsche. Belum lagi aturan-aturan ibadah yang diwajibkan di kampus. West tak punya kesabaran terhadap Doktor Halsey dan para koleganya yang kuno. Diam-diam, West memupuk kebencian mendalam terhadap mereka, sekaligus hasrat untuk membuktikan bahwa dirinya benar dalam cara sedramatis mungkin. Seperti generasi muda lainnya, dia senang memanjakan diri dalam fantasi tentang balas dendam, kemenangan, dan pengampunan.

Akhirnya, mimpi buruk mematikan dari neraka itu datang. West dan aku sebenarnya sudah lulus, namun kami masih ada di kampus untuk mengerjakan proyek musim panas tambahan, sehingga kami menyaksikan saat gelombang wabah tifus pertama mencapai kota. Walau belum mendapat lisensi sebagai dokter, kami disuruh memberi pelayanan kesehatan publik ketika jumlah orang yang terkena wabah semakin bertambah. Situasinya kacau, dan pemilik rumah pemakaman nyaris kewalahan dengan kematian yang terjadi begitu seringnya. Mayat-mayat dikubur secara terburu-buru tanpa dibalsem, dan bahkan Pemakaman Christchurch penuh sesak dengan peti-peti berisi mayat. Situasi ini tentu tak lolos dari perhatian West, yang berpikir alangkah ironisnya semua ini. Begitu banyak spesimen segar, tetapi tak ada yang bisa digunakan! Kami kelewat sibuk, dan tekanan fisik serta mental yang begitu besar memuat temanku itu semakin murung.

Musuh bebuyutan West juga tak lolos dari kesibukan. Kampus ditutup, dan para dokter bahu-membahu melawan wabah. Doktor Halsey bekerja tanpa henti; dia mengerahkan seluruh tenaganya menangani kasus-kasus terburuk yang dihindari koleganya, entah itu karena terlalu berbahaya atau memang sudah tak ada harapan. Si doktor pun dikenal sebagai pahlawan hanya dalam waktu kurang dari sebulan, walau dia sendiri tak menyadarinya karena lebih sibuk berusaha agar tidak ambruk karena kelelahan dan beban mental. West bahkan tak bisa menahan kekagumannya terhadap si doktor, namun ini malah semakin memicu hasratnya untuk membuktikan kebenaran teorinya.

West mulai mengambil kesempatan akibat kekacauan di kampus dan dinas kesehatan setempat. Dia berhasil mendapatkan mayat segar yang diselundupkannya ke ruang otopsi kampus pada malam hari. Aku melihatnya menyuntikkan cairan buatannya ke tubuh mayat. Makhluk itu membuka matanya, namun dia hanya menatap nyalang dengan ekspresi teror ke langit-langit, sebelum kembali menutup mata dan tak dapat dibangunkan lagi. West bilang itu karena mayatnya tidak segar; udara musim panas berakibat buruk pada kondisinya. Kami nyaris kepergok ketika hendak membakar mayat itu, dan West ragu dia akan bisa melakukan hal yang sama kedua kalinya.

Puncak wabah itu berlangsung pada bulan Agustus. West dan aku nyaris mati, dan Doktor Halsey sendiri akhirnya meninggal pada tanggal 14. Para mahasiswanya menghadiri pemakaman yang dilakukan secara terburu-buru pada tanggal 15. Kami membawa rangkaian bunga besar, namun pemberian kami tak ada apa-apanya dibandingkan rangkaian bunga spektakuler kiriman warga kaya di Arkham serta anggota dewan kota. Pemakaman itu penuh sesak; dekan kami nampaknya berjasa banyak terhadap publik. Kami merasa agak depresi setelah pemakaman usai, sehingga kami memutuskan untuk pergi ke bar di Commercial House. West, yang masih agak terguncang karena kematian mendadak musuh lamanya, kembali membuat kami semua merinding dengan teori-teori anehnya.

Menjelang malam, para mahasiswa akhirnya pulang atau melanjutkan tugas mereka, namun West mengajakku untuk "memanfaatkan malam ini dengan lebih baik." Ketika kami pulang, induk semang West melihat bahwa kami datang dengan "seseorang" bergelayut di antara kami, dan kemudian memberitahu suaminya bahwa nampaknya kami bertiga habis minum-minum.

Menjelang pukul 3 dini hari, rumah sewaan itu seolah berguncang oleh jeritan keras dari kamar West. Ketika orang-orang mendobrak pintu, mereka menemukan kami berdua pingsan di karpet bernoda darah; tubuh kami babak-belur dan penuh bekas cakaran, dan serpihan peralatan percobaan West berantakan dimana-mana. Jendela terbuka, dan "kawan" kami menghilang, dan semua orang di rumah sewaan itu tak habis pikir bagaimana dia bisa melompat dari jendela lantai dua ke halaman, lalu menghilang. Ada beberapa robekan kain di kamar, namun West dengan cepat beralasan bahwa itu bagian dari analisis bakteriologi terkait penyebaran penyakit. Dia meminta agar kain-kain itu dibakar. Kepada polisi, kami mengaku tidak mengetahui identitas penyerang tersebut. West menjelaskan dengan gugup bahwa orang tersebut sangat ramah ketika kami bertemu dengannya di bar, dan dia meminta agar orang tersebut tidak usah dicari.

Pada hari yang sama, horor lainnya terjadi di Arkham, jauh lebih mengerikan daripada wabah. Pemakaman Christchurch gempar oleh peristiwa pembunuhan sadis. Seorang penjaga malam ditemukan tewas dengan tubuh terkoyak secara mengerikan, sampai-sampai semua orang ragu pelakunya adalah manusia. Korban masih hidup malam harinya, namun ditemukan tewas saat fajar. Pengelola sirkus di kota tetangga, Bolton, ditanyai, namun menurutnya, tak ada satupun hewan buas yang kabur dari kandang. Orang-orang yang menemukan mayat itu juga melihat ada jejak darah yang mengarah ke sebuah makam, dan ada genangan darah di permukaan beton di luar makam itu. Jejak-jejak darah lainnya, yang lebih tipis, terlihat mengarah ke hutan, namun berakhir setelah beberapa meter saja.

Malam berikutnya, malapetaka menari-nari di langit Arkham, dan nuansa kengerian janggal melayang seolah lolongan yang dibawa angin. Kota itu dilanda ketakutan akan bencana yang disebut-sebut lebih mengerikan daripada wabah, seolah terwujud dari jiwa wabah itu sendiri. Delapan rumah telah dimasuki oleh seseorang tak dikenal yang meninggalkan jejak-jejak darah -- monster sadis itu meninggalkan tujuh belas mayat tercabik-cabik. Beberapa orang sempat melihatnya di kegelapan, dan menurut mereka, mahluk itu berkulit pucat serta mirip manusia. Mayat-mayat yang ditinggalkannya tidak utuh; makhluk itu kelihatannya lapar. Makhluk itu membunuh 14 orang; yang tiga lainnya adalah mayat di rumah sakit yang diserang dan dikoyak-koyaknya.

Pada malam ketiga, rombongan sukarelawan pencari yang dipimpin polisi mengepung makhluk itu di sebuah rumah di Jalan Crane, dekat dengan kampus Miskatonic. Rombongan itu telah menyisir area tersebut dengan teliti, saling menghubungi lewat telepon, dan ketika seseorang di area kampus melaporkan suara-suara garukan dan cakaran di jendela, mereka segera menebar jaring. Penangkapan itu berakhir dengan dua korban lagi, namun makhluk tersebut berhasil ditangkap tanpa menimbulkan lebih banyak korban. Mereka menembak makhluk itu dengan peluru di titik-titik yang tidak mematikan, dan dia segera dilarikan ke rumah sakit di tengah-tengah kehebohan serta umpatan penduduk.
   
Makhluk itu ternyata manusia. Begitulah kelihatannya, walaupun dia menatap dengan mata nyalang, tidak mengucapkan sepatah katapun, dan perilakunya buas. Mereka mengobati lukanya dan mengirimnya ke rumah sakit jiwa di Sefton, dimana dia membentur-benturkan kepalanya ke tembok berbantalan selama enam belas tahun berikutnya. Sampai baru-baru ini, ketika makhluk itu kabur akibat suatu kecerobohan yang tidak diketahui.

Satu hal yang membuat para sukarelawan pencari itu merasa jijik dan ngeri adalah ini: ketika wajah monster itu telah dibersihkan, mereka melihat bahwa dia sangat mirip dengan mendiang Doktor Allan Halsey, sang dermawan publik serta dekan fakultas kedokteran Universitas Miskatonic. Begitu miripnya sehingga rasanya seperti ejekan terhadap sang martir yang baru saja dikebumikan tiga hari sebelum peristiwa penangkapan itu.

Kengerian yang West dan aku rasakan tak bisa digambarkan. Sekarangpun mengenangnya membuatku gemetar, sama seperti pagi hari itu ketika aku mendengar West menggerutu lewat balutan perban di kepalanya:

"Sialan, mayatnya masih kurang segar!"

Bersambung

Baca bagian selanjutnya di sini.
   
  

Jumat, 04 Maret 2016

World War Z: Bab III: Kepanikan Besar (part 6)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Ice City, Greenland

(Sekilas, yang terlihat di permukaan dataran tersebut hanyalah deretan cerobong besar; struktur penangkap angin buatan tangan yang mengalirkan udara dingin namun bersih ke dalam labirin raksasa yang terletak tiga ratus kilometer di bawah tanah. Dari sekitar seperempat juta orang yang dulunya pernah mendiami keajaiban arsitektur ini, hanya sedikit yang tersisa. Beberapa tinggal karena ingin mengelola potensi turisme yang belakangan semakin besar. Lainnya ditanggung oleh dana pensiun yang disediakan Program Warisan Dunia UNESCO. Sisanya, seperti Ahmed Farakhnakian yang mantan mayor Angkatan Udara Pasukan Revolusi Iran, tinggal karena memang tak punya tempat tujuan lain.)

India dan Pakistan mirip seperti Korea Utara dan Korea Selatan, atau NATO dan Pakta Warsawa lama. Jika ada yang tak akan ragu menggunakan senjata nuklirnya untuk melawan pihak lain, itu adalah keduanya. Semua orang tahu dan sudah menduga hal itu, dan itulah sebabnya yang ditakutkan malah tak pernah terjadi. Ancaman itu tertanam begitu kuat sehingga semua perangkat nuklir mereka selalu terpasang dan tak pernah dibongkar. Ibukota kedua negara punya nomor hotline masing-masing, para duta besar saling panggil nama depan, dan para jenderal, politisi serta semua pihak terkait dilatih agar hari yang ditakutkan tidak pernah datang.

Mulanya, infeksi tersebut tidak menghantam Iran sekuat yang dialami negara lain. Tanah di negara kami bergunung-gunung. Transportasi ke sini cukup sulit. Populasi kami relatif kecil. Kalau melihat ukuran negara kami, serta fakta bahwa kota-kota kami bisa dengan mudah diisolasi oleh angkatan bersenjata yang jumlahnya kelewat besar, tidak sulit melihat optimisme pemerintah kami.

Masalahnya adalah para pengungsi; jutaan pengungsi membanjiri negara kami dari timur. Jutaan! Mereka datang berbondong-bondong melintasi Baluchistan, menghancurkan rencana pertahanan yang sudah kami susun dengan susah payah. Sudah banyak wilayah kami yang terinfeksi, dan gerombolan besar zombie perlahan menuju ke arah kami. Para penjaga perbatasan kami kewalahan, dan pos-pos penjagaan tenggelam di tengah arus zombie. Mustahil bagi kami untuk menjaga perbatasan sekaligus mengurusi wabah yang sudah meledak di dalam area kami sendiri. Kami menuntut Pakistan agar bertindak mengurus warga mereka. Pakistan bilang ya, mereka akan melakukan sesuatu. Tapi aku tahu mereka bohong.

Sebagian besar pengungsi sebenarnya datang dari India, dan sekadar melewati Pakistan untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka yang di Islamabad dengan senang hati membiarkan para pengungsi itu melewati ibukota, karena lebih baik mengirim masalah ke negara lain daripada harus mengurusnya sendiri. Kupikir mungkin kami bisa melakukan semacam operasi gabungan di area yang mudah dipertahankan. Rencananya sudah tergambar di kepalaku. Kami bisa beroperasi di area pegunungan di selatan Pakistan; rangkaian pegunungan Pab, Kirthar, dan Brahui Tengah.

Pakistan menolak rencana kami. Beberapa atase militer paranoid di kedutaan mereka bahkan terang-terangan memberitahu kami bahwa jika ada pasukan asing muncul di negara mereka, hal itu akan dianggap sebagai deklarasi perang. Aku tidak tahu apakah presiden mereka membaca proposal kami atau tidak; pemimpin kami tak pernah bicara langsung dengannya. Kau paham apa maksudku soal hubungan India dan Pakistan? Iran dan Pakistan tidak punya hubungan macam itu. Kami tidak punya kerangka diplomasinya. Yang kami tahu, kolonel brengsek itu memberitahu pemimpin negaranya bahwa kami berniat merebut wilayah barat mereka. Tapi kami bisa apa? Ratusan ribu pengungi setiap hari melewati perbatasan kami, dan ribuan di antaranya mungkin sudah terinfeksi! Kami harus mengambil aksi tegas. Kami harus bertindak!

Di antara Iran dan Pakistan, ada sebuah jalan yang mungkin menurut standarmu termasuk kecil, dan di beberapa titik bahkan tidak diaspal, tetapi merupakan nadi utama di selatan Baluchistan. Jika kau menutup satu titik saja, yaitu jembatan Sungai Kech, sekitar enam puluh persen arus pengungsi akan terhenti. Aku memimpin sendiri misi malam ke tempat itu, bersama satu kompi pesawat jet. Kau tidak perlu membayangkan situasinya. Kau bisa melihat deretan lampu mobil dari kejauhan; rangkaian cahaya putih yang mengular bermil-mil dalam kegelapan. Aku bahkan bisa melihat kelap-kelip putih dari senjata yang ditembakkan. Area itu benar-benar terinfeksi.

Aku membidik fondasi tengah jembatan, bagian yang paling sulit diperbaiki jika hancur. Bomku bekerja dengan mulus. Bahan peledak konvensional yang sangat eksplosif, cocok untuk tugas itu. Pesawat jetku buatan Amerika, dari jaman kami masih menjadi sahabat negaramu, dan kupakai menghancurkan jembatan yang dulunya dibangun dengan uang bantuan dari Amerika juga. Ironis, tapi aku pribadi tak peduli. Setelah jet Phantomku terasa ringan, aku langsung pergi dari sana sambil menunggu laporan dari jet pengamat, dan berdoa semoga Pakistan tidak membalas.

Tentu saja doaku tidak terkabul. Tiga jam kemudian, garnisun Pakistan di Qila Safed menembaki perbatasan kami. Belakangan aku baru tahu bahwa Ayatollah dan presiden kami sebenarnya sepakat untuk tidak membalas. Kami sudah lakukan apa yang kami mau, dan Pakistan sudah membalas. Dua-duanya imbang. Tapi siapa yang akan memberitahu Pakistan? Kedutaan mereka di Teheran sudah memusnahkan semua kode dan radio komunikasi. Kolonel brengsek itu memilih bunuh diri daripada "membocorkan rahasia negara." Kami tak punya nomor hotline atau jalur diplomasi. Kami tak tahu bagaimana caranya mengontak pemerintah Pakistan. Kami bahkan tak tahu apakah masih ada pemerintahan atau tidak. Situasinya kacau sekali. Kebingungan berubah menjadi kemarahan, dan kemarahan itu memorak-porandakan negara tetangga kami. Ada pertempuran di perbatasan, ada serangan udara.

Kejadiannya cepat sekali, hanya setelah tiga hari pertempuran konvensional. Tak ada satu pihakpun yang punya tujuan jelas; semuanya hanya digerakkan amarah.

(Dia mengangkat bahu.)

Kami telah menciptakan monster nuklir yang tak bisa dijinakkan siapapun. Teheran, Islamabad, Qom, Lahore, Bandar Abbas, Ormara, Emam Khomeyni, Faisalabad. Tak ada yang tahu berapa banyak yang langsung tewas karena ledakan, dan berapa yang akan tewas setelah awan radiasi mulai menyebar ke berbagai negara; India, Asia Tenggara, Pasifik, Amerika.

Tak ada seorangpun yang menduga hal itu akan terjadi. Kami juga tidak. Demi Tuhan, mereka dulu membantu kami membangun fasilitas nuklir! Mereka menyumbangkan material, teknologi, kesepakatan dengan broker-broker pelarian dari Korea Utara dan Rusia... kami bahkan tak akan pernah punya teknologi nuklir jika bukan karena kerjasama dengan saudara-saudara Muslim kami. Tak ada yang menduga, tapi dulu juga tak ada yang menduga mayat hidup akan datang, 'kan? Hanya satu yang mengetahuinya, dan aku tak lagi memercayainya.

Baca bagian selanjutnya di sini.