Selasa, 02 Februari 2016

World War Z: Bab III: Kepanikan Besar (part 4)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Khuzhir, Pulau Olkhon, Danau Baikal, Kekaisaran Suci Rusia

(Ruangan itu nyaris kosong, hanya ada sebuah meja, dua kursi, dan cermin raksasa yang sudah pasti dua-arah di dinding. Aku duduk di seberang subyek wawancaraku sambil menulis di atas notes; alat perekamku dilarang masuk karena "alasan keamanan." Wajah Maria Zhuganova nampak lelah, rambutnya kelabu, dan tubuhnya nampak hampir menjebol jahitan seragam lusuh yang dia bersikeras memakainya untuk hari ini. Secara teknis, hanya ada kami berdua di ruangan ini, walaupun aku yakin ada orang-orang memerhatikan kami dari balik cermin dua arah itu.)

Kami tidak tahu apa-apa soal Kepanikan Besar itu. Kami benar-benar terisolasi. Sekitar sebulan sebelum hal itu dimulai, ketika para reporter Amerika mulai melaporkannya di TV nasional mereka, kamp kami mengalami pemutusan komunikasi total dalam jangka waktu tak diketahui. Semua TV dikeluarkan dari barak, begitu juga dengan radio dan ponsel milik pribadi. Ponselku model murahan sekali pakai dengan pulsa untuk pembicaraan selama lima menit. Orangtuaku hanya bisa membelikanku itu. Aku harusnya menggunakan ponsel itu untuk menelepon ke rumah pada hari ulang tahunku, ulang tahun pertamaku saat jauh dari rumah.

Kami ditempatkan di Ossetia Utara, Alania, salah satu wilayah liar di selatan republik kami. Tugas resmi kami adalah "menjaga ketertiban," mencegah perseteruan etnis antara kaum minoritas Ossetia dan Ingush. Rotasi jadwal kami dimulai pada saat yang sama ketika komunikasi kami diputus. Mereka bilang itu karena "masalah keamanan negara."

Siapa "mereka" itu?

Semuanya. Atasan kami, Polisi Militer, dan seorang staf sipil yang tahu-tahu muncul begitu saja di antara kami. Dia bajingan kecil brengsek, wajahnya seperti tikus. Begitulah kami diam-diam memanggilnya: Muka Tikus.

Apakah kau pernah berusaha mencari tahu siapa dia?

Aku? Maksudmu, secara pribadi? Tidak pernah. Yang lain juga tidak. Kami diam-diam mengomel, tentu. Semua prajurit mengomel. Tapi tak ada waktu untuk mengajukan keluhan serius. Segera setelah pemutusan komunikasi dilakukan, kami langsung disuruh siaga tempur. Sebelumnya, rutinitas harian kami cukup mudah, sebenarnya: lambat, monoton, sesekali diselingi patroli keliling pegunungan. Setelahnya, kami ditempatkan permanen di daerah pegunungan tersebut dengan perlengkapan tempur dan senjata lengkap. Kami mendatangi setiap desa, setiap rumah. Kami menanyai setiap penduduk desa, pelancong, dan entah siapa lagi...mungkin kambing yang lewat.

Menanyai mereka? Untuk apa?

Aku tidak tahu. Pertanyaannya seperti "apakah anggota keluargamu lengkap?" "Apakah ada yang hilang?" "Apakah ada yang pernah diserang hewan atau orang rabies?" Bagian itu membuatku bingung. Rabies? Aku paham kalau yang dimaksud hewan, tapi orang? Ada banyak pemeriksaan fisik juga. Kami melucuti orang-orang ini, lalu petugas medis memeriksa mereka, menelusuri setiap inci kulit mereka, mencari...sesuatu. Entahlah. Kami tidak diberitahu.

Semuanya sama sekali tak masuk akal. Kami bahkan kedatangan satu set persenjataan lengkap: AK-74, AK-47, setumpuk amunisi, kemungkinan besar dibeli oleh sekelompok oportunis korup dalam batalion kami. Kami tidak tahu milik siapa senjata-senjata itu; mungkin pengedar narkoba, geng lokal, atau malah mungkin pasukan pemberontak yang memang menjadi sasaran utama patroli kami. Tahukah kau apa yang kami lakukan dengan senjata-senjata itu? Kami membiarkannya. Si Muka Tikus juga mengadakan rapat dengan para tetua desa. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi aku hanya tahu bahwa mereka terlihat sangat ketakutan; ada yang membuat tanda salib, ada yang berdoa.

Kami tak tahu apa-apa. Kami semua bingung dan marah. Kami tidak tahu apa yang kami lakukan di tempat itu. Ada seorang veteran tua di tempat kami, namanya Baburin. Dia sudah pernah ikut perang di Afganistan dan Chechnya. Gosipnya, pada aksi protes bersenjata terhadap Boris Yeltsin, BMP*-nya adalah yang pertama kali menembak ke arah Duma.** Kami sering mendengar cerita-ceritanya. Dia selalu ramah, sering mabuk...selama tidak ketahuan. Dia berubah setelah kedatangan senjata-senjata itu. Dia bahkan tak lagi minum setetespun, dan ketika dia akhirnya bicara, hanya ini yang dikatakannya: "ini tidak bagus. Sesuatu pasti akan terjadi." Ketika aku bertanya, dia hanya mengangkat bahu dan menjauh. Moral kami menurun drastis. Semua orang tegang dan saling curiga. Si Muka Tikus ada dimana-mana, diam-diam mendengarkan, mengawasi, berbisik-bisik di telinga atasan kami.

Muka Tikus ikut bersama kami saat kami memeriksa sebuah lokasi tak bernama, dusun kecil primitif yang seolah berada di ujung dunia. Kami melakukan prosedur inspeksi dan interogasi standar. Kami sudah hampir selesai dan siap pergi saat gadis kecil ini muncul di ujung jalan. Dia menangis dan jelas-jelas nampak ketakutan. Dia mengocehkan sesuatu ke orangtuanya...aku menyesal tidak memelajari bahasa mereka. Dia lalu menunjuk ke seberang lahan. Ada sosok kecil di sana, seorang gadis kecil lainnya, berjalan terseok-seok menyeberangi lumpur ke arah kami. Letnan Tikhonov mengangkat teropong dan melongok...dan kulihat wajahnya berubah pucat. Si Muka Tikus berdiri di sampingnya, mengangkat teropongnya sendiri, lantas membisikkan sesuatu ke telinga si letnan.

Petrenko, si penembak jitu di peleton kami, diperintahkan untuk mengangkat moncong senapannya dan membidik kening gadis itu. Dia melakukannya.

"Kau membidiknya?"

"Ya, pak."

"Tembak."

Aku ingat suasananya menjadi hening. Petrenko menoleh ke arah si letnan dan memintanya mengulang perintah.

"Kau dengar aku," ujar si letnan dengan marah. "Kubilang, musnahkan target, sekarang!"

Aku bisa melihat ujung senapannya bergetar. Petrenko adalah pemuda kecil kurus. Dia bukan yang paling pemberani di antara kami, tetapi dia menurunkan moncong senapannya dan bilang dia tak akan melakukannya. Begitu saja.

"Tidak, pak."

Rasanya seolah matahari jadi beku. Tak ada yang tahu harus melakukan apa, termasuk Letnan Tikhonov. Semuanya saling memandang, lalu menoleh lagi ke seberang lahan. 

Tiba-tiba si Muka Tikus melangkah maju dengan santai. Gadis kecil itu sudah semakin dekat sampai kami bisa melihat wajahnya. Matanya membelalak menatap si Muka Tikus. Kedua lengannya terangkat, dan aku bisa mendengar erangan serak melengking dari mulutnya. Si Muka Tikus perlahan menghampirinya. Semua terjadi begitu cepat. Dengan satu gerakan mulus, Muka Tikus mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, menembak gadis kecil itu tepat di antara kedua matanya, lalu berbalik dan berjalan santai ke arah kami. Seorang wanita, mungkin ibu gadis itu, meledak dalam tangis. Dia berlutut, meludahi dan mengutuki kami. Muka Tikus nampaknya tak peduli. Dia hanya membisikkan sesuatu di telinga Letnan Tikhonov, lantas dengan santai menaiki BMP seolah dia baru saja memanggil taksi.

Malam itu, aku berbaring dengan mata nyalang di tempat tidurku, merenungkan hal yang baru terjadi. Aku mencoba tak memikirkan Petrenko yang digiring Polisi Militer, atau fakta bahwa semua senjata kami ditahan. Harusnya aku kasihan pada gadis itu dan marah pada si Muka Tikus, bahkan merasa bersalah karena aku tak melakukan sesuatu untuk menghentikannya. Harusnya aku merasakan semua itu, tapi yang kurasakan hanya ketakutan. Aku jadi ingat kata-kata Baburin; sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Aku mau pulang dan menemui orangtuaku. Bagaimana kalau ada serangan teroris yang mengerikan? Keluargaku tinggal di Bikin, sangat dekat dengan perbatasan Cina. Aku mau bicara dengan mereka dan memastikan mereka baik-baik saja. Saking cemasnya, aku sampai muntah dan disuruh ke klinik. Itulah sebabnya aku melewatkan patroli hari itu, dan aku masih di tempat tidur ketika mereka kembali.

Aku sedang berbaring-baring sambil membaca edisi lama Semnadstat.*** Aku mendengar keributan, suara mesin mobil, suara orang. Ada kerumunan di lapangan parade. Aku berjalan menerobos kerumunan dan melihat Arkady berdiri di tengah-tengah. Dia juru senapan mesin berat, pria yang besar seperti beruang. Kami berteman karena dia menjagaku dari pria-pria di tempat kami, kalau kau tahu maksudku. Dia bilang aku mirip dengan adik perempuannya (Maria tersenyum sedih). Aku suka dia.

Ada satu sosok yang merangkak di dekat kakinya. Sepertinya perempuan tua, tapi kepalanya ditutupi karung dan lehernya diikat dengan rantai. Gaunnya robek-robek dan kulit di kedua kakinya sudah mengelupas. Tidak ada darah, hanya nanah berwarna hitam. Arkady berteriak-teriak ke arah kerumunan. "Tak ada lagi kebohongan! Tak ada lagi perintah menembak orang sipil tanpa penjelasan! Ini sebabnya aku menyeret keparat ini..."

Aku memandang berkeliling, mencari-cari Letnan Tikhonov, tapi dia tak ada dimana-mana. Rasanya ada gumpalan es besar di perutku.

"...karena aku mau kalian semua melihatnya!"

Arkady mengangkat rantainya, memaksa perempuan tua itu berdiri. Dia mencengkeram karung dan menariknya lepas. Wajah perempuan itu kelabu, seperti kulit tubuhnya, matanya nyalang dan ganas. Dia menggeram seperti serigala dan mencoba mencengkeram Arkady. Arkady mencengkeram lehernya dan menjauhkannya.

"Aku mau kalian tahu mengapa kita ada di sini!"

Arkady mencabut belati dari pinggangnya dan menghujamkannya ke jantung si perempuan tua. Aku menahan napas bersama yang lainnya. Belatinya terkubur di dada perempuan itu sampai ke gagangnya, tapi dia tetap meronta-ronta dan menggeram.

"Lihat, 'kan!?" Arkady mencabut belati dan menikam perempuan itu berkali-kali. "Kalian lihat? Inilah yang mereka sembunyikan! Mereka suruh kita habis-habisan untuk menemukan ini!"

Beberapa orang terlihat mengangguk, yang lainnya menggeram setuju. Arkady terus berteriak, "bagaimana kalau makhluk ini ada dimana-mana? Bagaimana kalau mereka ada di dekat keluarga kita sekarang!?" Dia mencoba membuat kontak mata dengan sebanyak mungkin orang, jadi dia tak begitu memerhatikan perempuan tua itu. Ketika pegangannya mengendur, perempuan itu menarik lepas dirinya dan menggigit tangannya. Arkady meraung. Kepalan tinjunya menghantam wajah perempuan tua itu. Dia terjatuh, mulutnya memuntahkan nanah hitam. Arkady menghabisinya dengan sepatu botnya. Kami bisa mendengar tengkorak perempuan tua itu remuk.

Darah menetes-netes dari kepalan tinju Arkady. Dia mengacungkannya ke udara dan berseru sampai urat-urat lehernya kelihatan. "Kami mau pulang!" Teriaknya. "Kami mau menemui keluarga kami!"

Yang lain mulai mengikutinya. "Ya, kami mau pulang untuk melindungi keluarga kami! Ini negara bebas! Ini negara demokrasi! Kalian tidak bisa menahan kami!"

Aku ikut berteriak-teriak bersama yang lain. Perempuan itu, makhluk yang bisa menerima tikaman di jantung dan tidak mati...bagaimana kalau mereka mendatangi keluarga kami sekarang? Bagaimana kalau mereka membunuh keluarga kami...orangtuaku? Semua rasa takut, keraguan dan emosi negatif yang terbendung tumpah dalam amarah. "Kami mau pulang! Kami mau pulang!"

Kami berteriak...berteriak...dan tahu-tahu, ada peluru mendesing di samping telingaku, dan mata kiri Arkady meletus. Aku tidak ingat berlari atau menghirup gas air mata. Aku tidak ingat kapan Spetznaz mengepung kami, tapi tiba-tiba, mereka ada di sekeliling kami, memukuli dan membelenggu kami. Salah satunya menginjak dadaku begitu keras sampai-sampai kukira aku akan mati di sana, saat itu juga.

Apakah itu program Desimasi?

Tidak, itu baru awalnya. Kami bukan unit tentara pertama yang memberontak. Hal itu sudah dimulai sejak Polisi Militer menutup semua komunikasi. Ketika kami "berdemonstrasi," pemerintah sudah menetapkan cara untuk mengembalikan ketertiban.

(Maria meluruskan seragamnya dan mengambil napas panjang sebelum meneruskan.)

Program "desimasi"...dulu kupikir istilah itu cuma berarti pemusnahan total, menyapu bersih, atau menghancurkan. Tapi, makna sebenarnya adalah membunuh dengan hitungan sepuluh persen. Dari sepuluh orang, satu orang harus mati. Itulah yang mereka lakukan pada kami.

Spetznaz menyuruh kami berbaris di lapangan dengan mengenakan seragam lengkap. Komandan baru kami memberi ceramah tentang kewajiban dan tanggung jawab, tentang sumpah kami untuk melindungi tanah air, dan bagaimana kami mengkhianati sumpah tersebut dengan pengkhianatan egois serta kepengecutan kami. Aku tak percaya mendengarnya. "Tugas?" "Kewajiban?" Rusia kami hanyalah kekacauan apolitis. Kami hidup di tengah kekacauan dan korupsi, dan yang kami lakukan hanya berusaha melewati hari demi hari. Bahkan militer kami tidak didasarkan pada patriotisme. Militer adalah tempat untuk mencari nafkah, mendapat makanan dan tempat tidur, dan bahkan mungkin sedikit uang ekstra untuk dikirimkan pada keluarga ketika pemerintah sedang ingat untuk menggaji tentaranya.

"Sumpah untuk melindungi tanah air?" Itu bukan semboyan generasiku. Itu hal yang hanya kau dengar dari veteran perang tua; tipikal orang tua pikun yang dulunya pernah mengepung Lapangan Merah dengan panji-panji Soviet lusuh, serta deretan medali menghiasi seragam mereka yang pudar dan dimakan rayap. Tanggung jawab terhadap tanah air hanyalah lelucon besar. Tapi aku tidak tertawa. Aku tahu setelahnya akan ada eksekusi. Prajurit bersenjata mengelilingi kami. Mereka ada di menara-menara sekitar kami. Aku sudah siap. Sekujur tubuhku menegang menanti tembakan. 

Tiba-tiba, aku mendengar teriakan: "kalian anak-anak manja pikir demokrasi itu hak dari Tuhan. Kalian menuntut demokrasi. Sekarang kalian punya kesempatan untuk mempraktikkannya!" Kata-kata itu tercetak di benakku seumur hidupku.

Apa maksudnya?

Kami harus memutuskan siapa yang akan dieksekusi. Kami dibagi-bagi menjadi kelompok beranggotakan sepuluh orang. Lalu kami sendiri yang akan membunuh teman kami. Mereka mendorong gerobak-gerobak ini ke arah kami. Aku masih bisa mendengar suara deritan roda-rodanya. Gerobak-gerobak itu penuh batu seukuran kepalan tangan, tajam-tajam dan berat. Beberapa menangis, memohon, merengek seperti anak-anak. Yang lain, seperti Baburin, hanya berlutut dalam diam. Dia menatapku dalam-dalam saat aku menghujamkan batu di tanganku ke wajahnya.

(Maria mendesah dan melirik ke arah cermin dua-arah di belakangnya.)

Pintar sekali. Sangat pintar. Eksekusi biasa mungkin bisa menegakkan disiplin dan ketertiban dari tingkat atas sampai bawah. Akan tetapi, dengan menyuruh kami menjadi algojo, mereka tidak hanya membelenggu kami dalam rasa takut, namun juga rasa bersalah. Kami harusnya bilang tidak, dan lalu kami akan ditembak mati. Tapi kami tidak melakukannya. Kami menurut. Kami membuat pilihan sadar, dan karena pilihan itu harus dibayar mahal, kami tak mau harus melakukannya lagi. Kami kehilangan kebebasan kami sejak saat itu, dan kami tak keberatan, karena sejak hari itu, satu-satunya makna kebebasan yang kami miliki adalah kebebasan untuk menunjuk orang lain dan berkata, "mereka menyuruhku melakukannya. Itu bukan salahku. Aku hanya mengikuti perintah."


Baca bagian selanjutnya di sini.


*BMP: kendaraan pengangkut personel buatan Soviet.

**Duma: lembaga legislatif tingkat bawah Rusia serta julukan untuk gedung yang menjadi tempat bertugas mereka.

***Semnadstat: majalah remaja Rusia, terinspirasi dari majalah Seventeen di Amerika yang ditujukan untuk gadis-gadis remaja.

2 komentar: