Selasa, 23 Februari 2016

World War Z: Bab III: Kepanikan Besar (part 5)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Bridgetown, Barbados, Federasi Hindia Barat

(Trevor's Bar dibuat bergaya "Wild West Hindia," atau lebih tepatnya, "Zona Ekonomi Khusus" seperti yang ada di tiap pulau. Ini bukan tempat yang akan dikaitkan orang dengan kehidupan yang tertib dan tenang di Karibia pasca perang zombie. Dikelilingi pagar tinggi serta dirancang untuk memanjakan kultur kekerasan dan kecabulan, Zona Ekonomi Khusus adalah tempat orang-orang "dari luar pulau" menghabiskan uang mereka. Ekspresi jengahku nampaknya membuat senang T. Sean Collins. Pria Texas besar itu menyodorkan sesloki rum "kill-devil" ke arahku, sebelum menyandarkan kedua kakinya yang terbungkus sepatu bot ke atas meja.)

Mereka belum menemukan nama untuk menjelaskan pekerjaanku yang dulu. "Kontraktor independen" kedengarannya seolah aku membangun dinding bata dan mengoleskan semen untuk mencari nafkah. "Tentara bayaran" mungkin yang paling tepat, tapi rasanya masih terlalu jauh. Tentara bayaran kedengaran seperti sekumpulan veteran Perang Vietnam sinting, tato dimana-mana dan kumis lebat, berkeliaran di lubang selokan negara Dunia Ketiga karena mereka sudah tidak bisa lagi hidup di dunia nyata. Itu bukan aku. Ya, aku memang veteran, dan aku menjual keahlianku. Yang lucu dari militer adalah walau mereka mengajarimu "keahlian komersil," mereka tak pernah bilang bahwa keahlian yang paling menguntungkan adalah mengetahui cara membunuh orang sambil melindungi orang lainnya agar tidak terbunuh.

Oke, mungkin aku memang tentara bayaran, tapi dulu kau tak akan bisa menebaknya kalau melihatku. Aku rapi dan klimis, punya mobil dan rumah bagus, dan ada pembantu yang datang bersih-bersih seminggu sekali. Aku punya banyak teman, aku calon suami ideal, dan handicap-ku di klub golf pribadi hampir sama dengan pemain pro. Aku juga bekerja di perusahaan normal. Tak ada pembunuhan terselubung, tak ada kongkalikong atau amplop rahasia. Aku dapat jatah liburan dan cuti sakit, dan jaminan kesehatan serta perawatan gigi. Aku juga bayar pajak; terlalu banyak, malah. Aku bisa saja cari kerja di luar negeri, tapi setelah melihat apa yang terjadi pada teman-temanku, aku berpikir: "persetan, aku mau di Amerika saja, menjaga para selebriti dan CEO gendut." Itulah yang kulakukan sampai Kepanikan Besar menghantam.

Kau tidak keberatan kalau aku tidak sebut beberapa nama, 'kan? Beberapa dari orang-orang ini masih hidup, dan boleh percaya boleh tidak, mereka masih ngotot akan menuntut. Oke, aku tidak bisa sebut nama tempat atau lokasi, tapi...ini sebuah pulau. Pulau yang besar. Panjang. Letaknya di sebelah Manhattan. Tak bisa tuntut aku karena itu, 'kan?

Klienku waktu itu...aku tak tahu persis pekerjaannya. Sesuatu di industri hiburan. Mungkin keuangan. Entahlah. Mungkin dia malah salah satu pemegang saham di perusahaan tempatku bekerja. Pokoknya, dia punya uang banyak, dan dia tinggal di rumah besar mewah di pinggir pantai.

Klienku suka menjalin hubungan dengan orang-orang terkenal. Dia membangun benteng mewah khusus untuk mereka yang bisa membantu menaikkan citranya sesudah perang zombie. Dia seperti Musa yang menggiring orang-orang kaya dan terkenal ke dalam bahteranya. Dan mereka semua percaya padanya. Para aktor, penyanyi, rapper, atlet pro, dan selebriti. Kau tahu, mereka yang sering muncul di reality show dan acara gosip. Termasuk si jalang manja bermuka sayu yang kaya itu, yang terkenal karena dia adalah jalang manja bermuka sayu yang kaya. Ada juga si pemilik perusahaan rekaman itu, yang pakai anting bermata berlian raksasa. Dia punya senapan AK yang dimodifikasi dengan peluncur granat, dan sesumbar bahwa itu adalah replika yang sama persis seperti di film Scarface. Aku tak tega memberitahunya bahwa Tony Montana menggunakan M-16.

Ada juga si komedian politik. Kau tahu, yang punya acara...itu. Dia asyik menyedot kokain dari belahan dada raksasa seorang penari telanjang Thailand ceking, lantas mengoceh bahwa apa yang sedang terjadi bukan sekadar pertempuran antara zombie dan manusia, dan itu akan memengaruhi setiap aspek kehidupan dalam masyarakat: sosial, ekonomi, politik, bahkan lingkungan. Dia juga bilang bahwa orang-orang diam-diam sebenarnya sudah tahu kebenarannya, bahkan ketika semua pihak masih sibuk menyangkalnya, dan itulah sebabnya mengapa semua orang jadi belingsatan ketika kebenaran akhirnya terkuak. Semua yang dikatakannya sebenarnya cukup masuk akal...sampai dia mengoceh soal sirup jagung berfruktosa tinggi dan gelombang feminisasi Amerika.

Gila, memang, tapi aku tidak kaget melihat mereka ada di sana. Yang tak kuduga sama sekali adalah "orang-orang" mereka. Setiap selebriti ini, tak peduli siapapun dan apapun yang mereka lakukan, punya minimal satu penata gaya, agen, dan asisten pribadi. Beberapa lumayan oke; mereka yang ikut karena perlu uangnya, atau berpikir bahwa mereka akan aman di rumah itu. Cuma anak-anak muda yang mencari kehidupan yang lebih baik, dan aku tak menyalahkan mereka. Tapi yang lainnya benar-benar brengsek. Kasar dan tukang perintah. Ada satu orang yang aku ingat karena dia memakai topi merah bertuliskan "LAKUKAN!" Sepertinya dia kepala asisten si bajingan gendut yang menang kontes bakat itu. Pasti ada sekitar empat belas orang di sekelilingnya! Tadinya kupikir mustahil mengurus semua orang ini, tapi bosku ternyata sudah memperhitungkan semuanya.

Dia telah mengubah rumahnya menjadi obyek mimpi basah para survivalis. Dia punya cukup banyak makanan kering untuk memberi makan sepasukan tentara selama setahun penuh. Dia punya pasokan air bersih tak terbatas dari alat penyuling air yang terhubung langsung ke laut. Dia punya turbin angin, panel tenaga surya, dan generator cadangan raksasa dengan tangki cadangan bahan bakar yang tersembunyi di bawah pekarangannya. Dia punya banyak peralatan keamanan untuk menahan zombie agar tidak masuk: tembok tinggi, sensor gerakan, dan senjata. Oh Tuhan, senjata-senjatanya! Bosku benar-benar sudah memikirkan semuanya.

Tapi, yang paling dibanggakan bosku adalah fakta bahwa ruangan-ruangan di rumah itu sudah diset untuk menyiarkan kondisi di dalamnya lewat internet, setiap hari selama 24 jam. Inilah alasan utama dia mengundang semua "teman" terkenalnya. Dia tidak sekadar mau melewati masa-masa buruk dalam kemewahan dan kenyamanan; dia mau semua orang mengetahuinya juga. Itu sudut pandang ala selebriti. Dia mau dapat liputan populer. Di dalam rumah itu tidak hanya ada kamera web, tapi juga pers, seperti di liputan saat ajang Piala Oscar. Jujur, aku tidak tahu seberapa besar industri pers hiburan sebenarnya. Pasti ada lusinan wartawan di sana, semuanya dari bermacam-macam majalah dan acara TV terkenal. "Bagaimana perasaan Anda?" Aku sering mendengar pertanyaan itu. "Bagaimana Anda melewati semua ini?" "Menurut Anda, apa yang akan terjadi?" Berani sumpah, aku  bahkan mendengar salah satu wartawan bertanya, "bisa dijelaskan busana apa yang Anda pakai?"

Bagiku, saat-saat paling sureal adalah ketika aku berdiri di dapur, bersama beberapa staf dan pengawal pribadi, menyaksikan siaran yang menampilkan...kami! Kamera ada di hampir setiap ruangan, menyorot para bintang saat mereka duduk-duduk menonton siaran berita. Ada rekaman langsung dari wilayah Timur New York; para zombie berdatangan ke Third Avenue, dan orang-orang menyerang mereka dengan palu dan pipa besi. Seorang manajer di Toko Olahraga Modell bahkan membagikan semua pemukul kastinya sambil berseru, "pukul kepala mereka!"

Ada seorang pemuda yang memakai sepatu roda. Dia memegang pemukul hoki dengan pisau daging besar terpasang di ujungnya. Dia membabat zombie-zombie itu dengan mudah. Kamera menyorot semuanya, termasuk ketika sepotong tangan busuk mendadak muncul dari selokan di depannya dan menyambar kakinya. Pemuda malang itu terjungkal dan terjerembab, mukanya mencium tanah, kemudian menjerit-jerit ketika tangan itu menyeret kuncir rambutnya sampai dia masuk ke selokan. Pada saat itu, kamera menyorot lagi ke wajah-wajah di dapur untuk menangkap reaksi para selebriti. Beberapa orang terlihat menahan napas kaget; ada yang tulus, ada yang dibuat-buat. Aku punya lebih sedikit rasa hormat pada mereka yang pura-pura menangis ketimbang pada si cewek kaya manja yang menyebut pria malang itu bodoh. Setidaknya dia jujur.

Aku ingat berdiri di samping Sergei, seorang pria raksasa yang selalu berwajah cemberut. Cerita-ceritanya tentang tumbuh besar di Rusia membuatku semakin yakin bahwa tidak semua negara Dunia Ketiga adalah surga tropis. Ketika kamera menyorot reaksi para selebriti cantik dan tampan di ruangan itu, aku mendengarnya menggumamkan sesuatu dalam bahasa Rusia. Satu-satunya kata yang bisa kupahami hanyalah "Romanov," dan aku sudah akan minta dia menjelaskannya, ketika alarm mendadak berbunyi.

Seseorang telah menyalakan sensor gerakan yang terpasang beberapa mil di sekitar tembok pengaman. Sensor-sensor itu sebenarnya cukup sensitif sampai-sampai bisa mendeteksi satu zombie saja, dan saat itu, semuanya berbunyi gila-gilaan. Radio komunikasi kami menjerit-jerit, "Lapor! Lapor! Arah barat daya...sialan, mereka ada ratusan!"

Saking besarnya rumah itu, aku perlu waktu beberapa menit untuk sampai ke posisi menembak. Aku tidak tahu kenapa orang itu terdengar panik. Memangnya kenapa kalau ada ratusan? Mereka tidak akan pernah melewati tembok-tembok ini. Kemudian, aku mendengarnya berteriak lagi, "Mereka lari! Bangsat! Sialan! Mereka cepat betul!"

Zombie yang bisa berlari cepat membuat perutku menegang. Kalau mereka bisa lari, mereka akan bisa memanjat. Kalau mereka bisa memanjat, mereka mungkin bisa berpikir, dan kalau mereka bisa berpikir...aku  ketakutan. Ketika aku mencapai jendela ruang tamu di tingkat tiga, aku melihat tamu-tamu bosku ramai-ramai menjarah ruang senjata, seperti para pemain ekstra di film laga tahun 80-an. Aku mengokang senjataku dan membidik. Teropongku jenis Gens terbaru, gabungan antara amplifikasi cahaya dan pendeteksi panas tubuh. Aku biasanya tidak membutuhkan yang terakhir itu, karena zombie tidak mengeluarkan panas tubuh. Jadi, ketika aku melihat ratusan sosok berwarna hijau terang yang seolah menyala, tenggorokanku tercekat. Mereka bukan mayat hidup.

"Itu dia!" Kudengar salah satu di antara mereka berteriak. "Itu rumah yang ada di berita!" Mereka membawa tangga, pistol, bayi. Banyak yang memanggul ransel berat di punggung mereka. Orang-orang itu menyerbu gerbang depan; sebuah pagar besi tinggi yang dirancang untuk menahan ribuan zombie. Hanya dengan satu ledakan, gerbang itu copot dari engselnya dan terlontar ke pekarangan. "Tembak!" Bosku berteriak-teriak lewat radio. "Bunuh mereka! Tembak!"

Para penyerang itu menyerbu pekarangan dan rumah. Pekarangan itu tadinya penuh mobil-mobil sport, Hummer, dan bahkan sebuah truk monster untuk balapan NFL. Ada yang terbalik, ada yang tidak, tetapi semuanya terbakar. Asap hitam berbau minyak mentah mencekik dan membubung tinggi. Di mana-mana terdengar suara tembakan, dan bukan hanya dari para pengawal pribadi atau para penyerang. Beberapa penghuni rumah yang sok jago, mereka yang belum berak di celana karena ketakutan, ikut beraksi karena ingin jadi pahlawan atau melindungi reputasi mereka di depan kolega mereka.

Beberapa orang terkenal ini memaksa asisten mereka untuk melindungi mereka. Ada yang menurut, seperti para asisten muda usia 20-an yang belum pernah menembakkan pistol sebelumnya. Mereka tak bertahan lama. Akan tetapi, ada juga para pesuruh yang berbalik melawan bos mereka sendiri. Aku melihat seorang asisten penata rambut kemayu yang menusuk bosnya, seorang penyanyi wanita terkenal, di mulut dengan pisau pembuka surat. Aku juga melihat si kepala asisten bertopi merah mencoba merebut granat dari tangan seorang pembawa acara bincang-bincang, tepat sebelum granat itu meledak di tangan mereka.

Suasananya gila sekali, seperti yang bisa kau bayangkan saat kiamat. Separuh rumah terbakar, darah di mana-mana, mayat dan potongan tubuh bertebaran di atas perabot-perabot mahal. Aku melihat anjing kecil si jalang kaya saat berlari menuju pintu belakang. Dia menatapku, aku balas menatapnya. Kalau kami bisa mengobrol, mungkin dialognya seperti ini:

"Majikanmu bagaimana?"

"Majikanmu sendiri?"

"Persetan dengannya." 

Tentara bayaran memang biasa seperti itu, dan itu sebabnya aku tidak menembak seorangpun. Kami dibayar untuk melindungi orang kaya dari zombie, bukan untuk menembak orang-orang miskin yang hanya ingin mencari tempat berlindung. Aku bisa mendengar mereka berseru-seru. Bukan "bawa birnya!" atau "perkosa cewek-cewek!" Semuanya teriakan seperti "padamkan apinya!" Atau "wanita dan anak-anak ke lantai atas!"

Aku hampir saja menginjak Tuan Komedian Politik saat hendak kabur ke pantai. Dia bersama dengan cewek pirang berkulit coklat, lawan politiknya. Mereka bercinta di lantai seolah tidak ada hari esok, dan untuk mereka, mungkin memang tidak ada. Aku berlari sampai mencapai pantai, dan aku menemukan papan selancar. Rasanya benda itu jauh lebih berharga dibandingkan rumahku. Aku naik ke atasnya dan mengayuh dengan tanganku. Ada banyak perahu dan kapal malam itu; semua orang mencoba melarikan diri. Kuharap salah satu dari mereka bersedia kusogok dengan anting-anting berlian agar memberiku tumpangan ke pelabuhan New York.

(Dia menenggak rumnya dan memesan lagi.)

Kadang aku bertanya-tanya kenapa mereka tidak tutup mulut saja? Bukan bosku saja, tapi juga para parasit manja itu. Mereka punya segalanya, jadi kenapa tidak memanfaatkannya? Kabur ke Antartika, Greenland, atau ke mana saja, yang penting jauh dari mata publik. Mungkin mereka memang tidak bisa begitu. Sudah otomatis. Mungkin sifat seperti itu yang membuat mereka terkenal.

(Pelayan bar tiba dengan sesloki rum lagi, dan T. Sean menjentikkan sekeping koin perak ke arahnya.)

Kalau kau punya, pamerkan.


Baca bagian selanjutnya di sini.

Selasa, 02 Februari 2016

World War Z: Bab III: Kepanikan Besar (part 4)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Khuzhir, Pulau Olkhon, Danau Baikal, Kekaisaran Suci Rusia

(Ruangan itu nyaris kosong, hanya ada sebuah meja, dua kursi, dan cermin raksasa yang sudah pasti dua-arah di dinding. Aku duduk di seberang subyek wawancaraku sambil menulis di atas notes; alat perekamku dilarang masuk karena "alasan keamanan." Wajah Maria Zhuganova nampak lelah, rambutnya kelabu, dan tubuhnya nampak hampir menjebol jahitan seragam lusuh yang dia bersikeras memakainya untuk hari ini. Secara teknis, hanya ada kami berdua di ruangan ini, walaupun aku yakin ada orang-orang memerhatikan kami dari balik cermin dua arah itu.)

Kami tidak tahu apa-apa soal Kepanikan Besar itu. Kami benar-benar terisolasi. Sekitar sebulan sebelum hal itu dimulai, ketika para reporter Amerika mulai melaporkannya di TV nasional mereka, kamp kami mengalami pemutusan komunikasi total dalam jangka waktu tak diketahui. Semua TV dikeluarkan dari barak, begitu juga dengan radio dan ponsel milik pribadi. Ponselku model murahan sekali pakai dengan pulsa untuk pembicaraan selama lima menit. Orangtuaku hanya bisa membelikanku itu. Aku harusnya menggunakan ponsel itu untuk menelepon ke rumah pada hari ulang tahunku, ulang tahun pertamaku saat jauh dari rumah.

Kami ditempatkan di Ossetia Utara, Alania, salah satu wilayah liar di selatan republik kami. Tugas resmi kami adalah "menjaga ketertiban," mencegah perseteruan etnis antara kaum minoritas Ossetia dan Ingush. Rotasi jadwal kami dimulai pada saat yang sama ketika komunikasi kami diputus. Mereka bilang itu karena "masalah keamanan negara."

Siapa "mereka" itu?

Semuanya. Atasan kami, Polisi Militer, dan seorang staf sipil yang tahu-tahu muncul begitu saja di antara kami. Dia bajingan kecil brengsek, wajahnya seperti tikus. Begitulah kami diam-diam memanggilnya: Muka Tikus.

Apakah kau pernah berusaha mencari tahu siapa dia?

Aku? Maksudmu, secara pribadi? Tidak pernah. Yang lain juga tidak. Kami diam-diam mengomel, tentu. Semua prajurit mengomel. Tapi tak ada waktu untuk mengajukan keluhan serius. Segera setelah pemutusan komunikasi dilakukan, kami langsung disuruh siaga tempur. Sebelumnya, rutinitas harian kami cukup mudah, sebenarnya: lambat, monoton, sesekali diselingi patroli keliling pegunungan. Setelahnya, kami ditempatkan permanen di daerah pegunungan tersebut dengan perlengkapan tempur dan senjata lengkap. Kami mendatangi setiap desa, setiap rumah. Kami menanyai setiap penduduk desa, pelancong, dan entah siapa lagi...mungkin kambing yang lewat.

Menanyai mereka? Untuk apa?

Aku tidak tahu. Pertanyaannya seperti "apakah anggota keluargamu lengkap?" "Apakah ada yang hilang?" "Apakah ada yang pernah diserang hewan atau orang rabies?" Bagian itu membuatku bingung. Rabies? Aku paham kalau yang dimaksud hewan, tapi orang? Ada banyak pemeriksaan fisik juga. Kami melucuti orang-orang ini, lalu petugas medis memeriksa mereka, menelusuri setiap inci kulit mereka, mencari...sesuatu. Entahlah. Kami tidak diberitahu.

Semuanya sama sekali tak masuk akal. Kami bahkan kedatangan satu set persenjataan lengkap: AK-74, AK-47, setumpuk amunisi, kemungkinan besar dibeli oleh sekelompok oportunis korup dalam batalion kami. Kami tidak tahu milik siapa senjata-senjata itu; mungkin pengedar narkoba, geng lokal, atau malah mungkin pasukan pemberontak yang memang menjadi sasaran utama patroli kami. Tahukah kau apa yang kami lakukan dengan senjata-senjata itu? Kami membiarkannya. Si Muka Tikus juga mengadakan rapat dengan para tetua desa. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi aku hanya tahu bahwa mereka terlihat sangat ketakutan; ada yang membuat tanda salib, ada yang berdoa.

Kami tak tahu apa-apa. Kami semua bingung dan marah. Kami tidak tahu apa yang kami lakukan di tempat itu. Ada seorang veteran tua di tempat kami, namanya Baburin. Dia sudah pernah ikut perang di Afganistan dan Chechnya. Gosipnya, pada aksi protes bersenjata terhadap Boris Yeltsin, BMP*-nya adalah yang pertama kali menembak ke arah Duma.** Kami sering mendengar cerita-ceritanya. Dia selalu ramah, sering mabuk...selama tidak ketahuan. Dia berubah setelah kedatangan senjata-senjata itu. Dia bahkan tak lagi minum setetespun, dan ketika dia akhirnya bicara, hanya ini yang dikatakannya: "ini tidak bagus. Sesuatu pasti akan terjadi." Ketika aku bertanya, dia hanya mengangkat bahu dan menjauh. Moral kami menurun drastis. Semua orang tegang dan saling curiga. Si Muka Tikus ada dimana-mana, diam-diam mendengarkan, mengawasi, berbisik-bisik di telinga atasan kami.

Muka Tikus ikut bersama kami saat kami memeriksa sebuah lokasi tak bernama, dusun kecil primitif yang seolah berada di ujung dunia. Kami melakukan prosedur inspeksi dan interogasi standar. Kami sudah hampir selesai dan siap pergi saat gadis kecil ini muncul di ujung jalan. Dia menangis dan jelas-jelas nampak ketakutan. Dia mengocehkan sesuatu ke orangtuanya...aku menyesal tidak memelajari bahasa mereka. Dia lalu menunjuk ke seberang lahan. Ada sosok kecil di sana, seorang gadis kecil lainnya, berjalan terseok-seok menyeberangi lumpur ke arah kami. Letnan Tikhonov mengangkat teropong dan melongok...dan kulihat wajahnya berubah pucat. Si Muka Tikus berdiri di sampingnya, mengangkat teropongnya sendiri, lantas membisikkan sesuatu ke telinga si letnan.

Petrenko, si penembak jitu di peleton kami, diperintahkan untuk mengangkat moncong senapannya dan membidik kening gadis itu. Dia melakukannya.

"Kau membidiknya?"

"Ya, pak."

"Tembak."

Aku ingat suasananya menjadi hening. Petrenko menoleh ke arah si letnan dan memintanya mengulang perintah.

"Kau dengar aku," ujar si letnan dengan marah. "Kubilang, musnahkan target, sekarang!"

Aku bisa melihat ujung senapannya bergetar. Petrenko adalah pemuda kecil kurus. Dia bukan yang paling pemberani di antara kami, tetapi dia menurunkan moncong senapannya dan bilang dia tak akan melakukannya. Begitu saja.

"Tidak, pak."

Rasanya seolah matahari jadi beku. Tak ada yang tahu harus melakukan apa, termasuk Letnan Tikhonov. Semuanya saling memandang, lalu menoleh lagi ke seberang lahan. 

Tiba-tiba si Muka Tikus melangkah maju dengan santai. Gadis kecil itu sudah semakin dekat sampai kami bisa melihat wajahnya. Matanya membelalak menatap si Muka Tikus. Kedua lengannya terangkat, dan aku bisa mendengar erangan serak melengking dari mulutnya. Si Muka Tikus perlahan menghampirinya. Semua terjadi begitu cepat. Dengan satu gerakan mulus, Muka Tikus mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, menembak gadis kecil itu tepat di antara kedua matanya, lalu berbalik dan berjalan santai ke arah kami. Seorang wanita, mungkin ibu gadis itu, meledak dalam tangis. Dia berlutut, meludahi dan mengutuki kami. Muka Tikus nampaknya tak peduli. Dia hanya membisikkan sesuatu di telinga Letnan Tikhonov, lantas dengan santai menaiki BMP seolah dia baru saja memanggil taksi.

Malam itu, aku berbaring dengan mata nyalang di tempat tidurku, merenungkan hal yang baru terjadi. Aku mencoba tak memikirkan Petrenko yang digiring Polisi Militer, atau fakta bahwa semua senjata kami ditahan. Harusnya aku kasihan pada gadis itu dan marah pada si Muka Tikus, bahkan merasa bersalah karena aku tak melakukan sesuatu untuk menghentikannya. Harusnya aku merasakan semua itu, tapi yang kurasakan hanya ketakutan. Aku jadi ingat kata-kata Baburin; sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Aku mau pulang dan menemui orangtuaku. Bagaimana kalau ada serangan teroris yang mengerikan? Keluargaku tinggal di Bikin, sangat dekat dengan perbatasan Cina. Aku mau bicara dengan mereka dan memastikan mereka baik-baik saja. Saking cemasnya, aku sampai muntah dan disuruh ke klinik. Itulah sebabnya aku melewatkan patroli hari itu, dan aku masih di tempat tidur ketika mereka kembali.

Aku sedang berbaring-baring sambil membaca edisi lama Semnadstat.*** Aku mendengar keributan, suara mesin mobil, suara orang. Ada kerumunan di lapangan parade. Aku berjalan menerobos kerumunan dan melihat Arkady berdiri di tengah-tengah. Dia juru senapan mesin berat, pria yang besar seperti beruang. Kami berteman karena dia menjagaku dari pria-pria di tempat kami, kalau kau tahu maksudku. Dia bilang aku mirip dengan adik perempuannya (Maria tersenyum sedih). Aku suka dia.

Ada satu sosok yang merangkak di dekat kakinya. Sepertinya perempuan tua, tapi kepalanya ditutupi karung dan lehernya diikat dengan rantai. Gaunnya robek-robek dan kulit di kedua kakinya sudah mengelupas. Tidak ada darah, hanya nanah berwarna hitam. Arkady berteriak-teriak ke arah kerumunan. "Tak ada lagi kebohongan! Tak ada lagi perintah menembak orang sipil tanpa penjelasan! Ini sebabnya aku menyeret keparat ini..."

Aku memandang berkeliling, mencari-cari Letnan Tikhonov, tapi dia tak ada dimana-mana. Rasanya ada gumpalan es besar di perutku.

"...karena aku mau kalian semua melihatnya!"

Arkady mengangkat rantainya, memaksa perempuan tua itu berdiri. Dia mencengkeram karung dan menariknya lepas. Wajah perempuan itu kelabu, seperti kulit tubuhnya, matanya nyalang dan ganas. Dia menggeram seperti serigala dan mencoba mencengkeram Arkady. Arkady mencengkeram lehernya dan menjauhkannya.

"Aku mau kalian tahu mengapa kita ada di sini!"

Arkady mencabut belati dari pinggangnya dan menghujamkannya ke jantung si perempuan tua. Aku menahan napas bersama yang lainnya. Belatinya terkubur di dada perempuan itu sampai ke gagangnya, tapi dia tetap meronta-ronta dan menggeram.

"Lihat, 'kan!?" Arkady mencabut belati dan menikam perempuan itu berkali-kali. "Kalian lihat? Inilah yang mereka sembunyikan! Mereka suruh kita habis-habisan untuk menemukan ini!"

Beberapa orang terlihat mengangguk, yang lainnya menggeram setuju. Arkady terus berteriak, "bagaimana kalau makhluk ini ada dimana-mana? Bagaimana kalau mereka ada di dekat keluarga kita sekarang!?" Dia mencoba membuat kontak mata dengan sebanyak mungkin orang, jadi dia tak begitu memerhatikan perempuan tua itu. Ketika pegangannya mengendur, perempuan itu menarik lepas dirinya dan menggigit tangannya. Arkady meraung. Kepalan tinjunya menghantam wajah perempuan tua itu. Dia terjatuh, mulutnya memuntahkan nanah hitam. Arkady menghabisinya dengan sepatu botnya. Kami bisa mendengar tengkorak perempuan tua itu remuk.

Darah menetes-netes dari kepalan tinju Arkady. Dia mengacungkannya ke udara dan berseru sampai urat-urat lehernya kelihatan. "Kami mau pulang!" Teriaknya. "Kami mau menemui keluarga kami!"

Yang lain mulai mengikutinya. "Ya, kami mau pulang untuk melindungi keluarga kami! Ini negara bebas! Ini negara demokrasi! Kalian tidak bisa menahan kami!"

Aku ikut berteriak-teriak bersama yang lain. Perempuan itu, makhluk yang bisa menerima tikaman di jantung dan tidak mati...bagaimana kalau mereka mendatangi keluarga kami sekarang? Bagaimana kalau mereka membunuh keluarga kami...orangtuaku? Semua rasa takut, keraguan dan emosi negatif yang terbendung tumpah dalam amarah. "Kami mau pulang! Kami mau pulang!"

Kami berteriak...berteriak...dan tahu-tahu, ada peluru mendesing di samping telingaku, dan mata kiri Arkady meletus. Aku tidak ingat berlari atau menghirup gas air mata. Aku tidak ingat kapan Spetznaz mengepung kami, tapi tiba-tiba, mereka ada di sekeliling kami, memukuli dan membelenggu kami. Salah satunya menginjak dadaku begitu keras sampai-sampai kukira aku akan mati di sana, saat itu juga.

Apakah itu program Desimasi?

Tidak, itu baru awalnya. Kami bukan unit tentara pertama yang memberontak. Hal itu sudah dimulai sejak Polisi Militer menutup semua komunikasi. Ketika kami "berdemonstrasi," pemerintah sudah menetapkan cara untuk mengembalikan ketertiban.

(Maria meluruskan seragamnya dan mengambil napas panjang sebelum meneruskan.)

Program "desimasi"...dulu kupikir istilah itu cuma berarti pemusnahan total, menyapu bersih, atau menghancurkan. Tapi, makna sebenarnya adalah membunuh dengan hitungan sepuluh persen. Dari sepuluh orang, satu orang harus mati. Itulah yang mereka lakukan pada kami.

Spetznaz menyuruh kami berbaris di lapangan dengan mengenakan seragam lengkap. Komandan baru kami memberi ceramah tentang kewajiban dan tanggung jawab, tentang sumpah kami untuk melindungi tanah air, dan bagaimana kami mengkhianati sumpah tersebut dengan pengkhianatan egois serta kepengecutan kami. Aku tak percaya mendengarnya. "Tugas?" "Kewajiban?" Rusia kami hanyalah kekacauan apolitis. Kami hidup di tengah kekacauan dan korupsi, dan yang kami lakukan hanya berusaha melewati hari demi hari. Bahkan militer kami tidak didasarkan pada patriotisme. Militer adalah tempat untuk mencari nafkah, mendapat makanan dan tempat tidur, dan bahkan mungkin sedikit uang ekstra untuk dikirimkan pada keluarga ketika pemerintah sedang ingat untuk menggaji tentaranya.

"Sumpah untuk melindungi tanah air?" Itu bukan semboyan generasiku. Itu hal yang hanya kau dengar dari veteran perang tua; tipikal orang tua pikun yang dulunya pernah mengepung Lapangan Merah dengan panji-panji Soviet lusuh, serta deretan medali menghiasi seragam mereka yang pudar dan dimakan rayap. Tanggung jawab terhadap tanah air hanyalah lelucon besar. Tapi aku tidak tertawa. Aku tahu setelahnya akan ada eksekusi. Prajurit bersenjata mengelilingi kami. Mereka ada di menara-menara sekitar kami. Aku sudah siap. Sekujur tubuhku menegang menanti tembakan. 

Tiba-tiba, aku mendengar teriakan: "kalian anak-anak manja pikir demokrasi itu hak dari Tuhan. Kalian menuntut demokrasi. Sekarang kalian punya kesempatan untuk mempraktikkannya!" Kata-kata itu tercetak di benakku seumur hidupku.

Apa maksudnya?

Kami harus memutuskan siapa yang akan dieksekusi. Kami dibagi-bagi menjadi kelompok beranggotakan sepuluh orang. Lalu kami sendiri yang akan membunuh teman kami. Mereka mendorong gerobak-gerobak ini ke arah kami. Aku masih bisa mendengar suara deritan roda-rodanya. Gerobak-gerobak itu penuh batu seukuran kepalan tangan, tajam-tajam dan berat. Beberapa menangis, memohon, merengek seperti anak-anak. Yang lain, seperti Baburin, hanya berlutut dalam diam. Dia menatapku dalam-dalam saat aku menghujamkan batu di tanganku ke wajahnya.

(Maria mendesah dan melirik ke arah cermin dua-arah di belakangnya.)

Pintar sekali. Sangat pintar. Eksekusi biasa mungkin bisa menegakkan disiplin dan ketertiban dari tingkat atas sampai bawah. Akan tetapi, dengan menyuruh kami menjadi algojo, mereka tidak hanya membelenggu kami dalam rasa takut, namun juga rasa bersalah. Kami harusnya bilang tidak, dan lalu kami akan ditembak mati. Tapi kami tidak melakukannya. Kami menurut. Kami membuat pilihan sadar, dan karena pilihan itu harus dibayar mahal, kami tak mau harus melakukannya lagi. Kami kehilangan kebebasan kami sejak saat itu, dan kami tak keberatan, karena sejak hari itu, satu-satunya makna kebebasan yang kami miliki adalah kebebasan untuk menunjuk orang lain dan berkata, "mereka menyuruhku melakukannya. Itu bukan salahku. Aku hanya mengikuti perintah."


Baca bagian selanjutnya di sini.


*BMP: kendaraan pengangkut personel buatan Soviet.

**Duma: lembaga legislatif tingkat bawah Rusia serta julukan untuk gedung yang menjadi tempat bertugas mereka.

***Semnadstat: majalah remaja Rusia, terinspirasi dari majalah Seventeen di Amerika yang ditujukan untuk gadis-gadis remaja.

Senin, 01 Februari 2016

World War Z: Bab III: Kepanikan Besar (part 3)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Topeka, Kansas, Amerika Serikat

(Dilihat dari sudut manapun, Sharon bisa dibilang cantik, dengan rambut merah, mata hijau berkilau, dan tubuh bak penari atau supermodel di jaman sebelum perang zombie. Dia juga punya kapasitas mental seperti anak usia empat tahun. Kami berada di Rumah Rehabilitasi Rothman untuk Anak-anak Terlantar. Dokter Roberta Kelner, yang menangani kasus Sharon, menggambarkan pasiennya sebagai "sangat beruntung." "Setidaknya dia masih punya kemampuan berbahasa dan cara berpikir kohesif," jelas si dokter. "Tidak banyak, memang, tetapi masih berfungsi." Dokter Kelner sangat ingin menyertai kami dalam wawancara, walaupun Dokter Sommers, si direktur rumah rehabilitasi, nampak tak terlalu berminat. Pendanaan untuk fasilitas ini sangat parah, dan administrasi presiden yang sekarang sudah mengancam akan menutupnya. Sharon mulanya nampak malu-malu. Dia tidak mau menjabat tanganku atau menatap mataku. Dia dulunya ditemukan di antara puing-puing bangunan di Wichita, tetapi kisah awalnya tak pernah benar-benar diketahui.)

Kami di gereja, mama dan aku. Papa bilang akan jemput kami. Papa harus melakukan sesuatu dulu. Kami harus tunggu papa di gereja.

Semua orang di sana. Ada banyak barang. Ada sereal, air, jus, kasur, senter, dan...

(Dia menirukan gerakan mengokang senapan.)

Bu Randolph punya itu. Katanya dia harusnya tidak bawa itu. Katanya mereka berbahaya. Dia bilang mereka berbahaya. Dia mamanya Rachel. Rachel temanku. Aku tanya dia mana Rachel. Dia menangis. Mama bilang aku tak boleh tanya soal Rachel. Mama suruh aku minta maaf. Bu Randolph kotor. Di bajunya ada kotoran merah dan coklat. Dia gemuk. Lengannya besar, lembut.

Ada anak-anak lain. Jill dan Abbie. Bu McGraw menemani mereka. Mereka punya krayon. Mereka coret-coret dinding. Mama bilang aku boleh ikut. Katanya tidak apa-apa. Pastor Dan bilang tidak apa-apa. Pastor Dan sedang bicara, katanya "tolong dengarkan..."

(Dia menirukan suara pria yang berat.)

"Semuanya harap tenang, tentara akan datang. Semuanya silakan duduk tenang dan tunggu sampai tentara datang." Orang-orang tak ada yang duduk. Semua berdiri, semua bicara, semua pakai benda ini...

(Dia menirukan gerakan bicara di ponsel.)

Mereka marah-marah, mereka banting benda itu, bilang kata-kata buruk. Aku kasihan sama Pastor Dan. Di luar ada...

(Dia menirukan suara sirene. Mulanya pelan, lalu kencang, lalu pelan lagi.)

Mama bicara sama Bu Cormode. Dan mama-mama yang lain. Mereka bertengkar. Mama marah. Bu Cormode bilang "lalu bagaimana? Kau mau bagaimana lagi?" Mama menggeleng. Tangan Bu Cormode bergerak-gerak. Aku tak suka dia. Dia istri Pastor Dan, tapi dia jahat.

Ada yang teriak "mereka datang!" Mama gendong aku. Mereka geret bangku-bangku. Mereka taruh di depan pintu gereja. "Cepat! Cepat! Tahan pintunya!" 

(Dia menirukan suara berbeda-beda.)

"Ambilkan palu!" "Paku!" "Mereka di tempat parkir!" "Mereka datang!"

(Dia menoleh ke arah Dokter Kelner.)

Boleh?

(Dokter Sommers nampak ragu. Dokter Kelner mengangguk sambil tersenyum. Saat itulah aku baru menyadari mengapa ruangan ini dibuat kedap suara. Sharon mulai menirukan suara erangan zombie yang paling realistis yang pernah kudengar. Dilihat dari ekspresi Dokter Sommers dan Dokter Kelner, mereka jelas sependapat.)

Mereka datang. Mereka tambah dekat.

(Sharon menirukan suara zombie lagi sambil memukul-mukul meja dengan kepalan tinjunya.)

Mereka mau masuk.

(Gedorannya di meja bertambah keras.)

Semua teriak. Mama peluk aku, bilang "tidak apa-apa."

(Suaranya melembut. Dia mengusap-usap rambutnya sendiri.)

"Aku tak akan biarkan mereka menangkapmu. Sst..."

(Gedoran di meja mulai terdengar tidak teratur, seolah Sharon menirukan gedoran beberapa zombie sekaligus.)

"Tahan pintunya!" "Tahan, tahan!"

(Dia menirukan suara kaca pecah.)

Jendelanya pecah. Jendela di sebelah pintu. Lampunya mati. Orang-orang panik. Mereka teriak.

(Dia kembali menirukan suara ibunya.)

"Sst...sayang, aku tak akan biarkan mereka menangkapmu."

(Tangannya pindah dari rambut ke kening dan pipinya, mengusap dengan lembut. Sharon melirik Kelner dengan padangan bertanya. Kelner mengangguk. Suara Sharon mendadak berubah, menirukan suara sesuatu yang menjeblak terbuka. Suara yang berat seolah keluar dari dasar tenggorokannya.)

"Mereka datang! Tembak! Tembak"!

(Dia menirukan suara rentetan tembakan.)

"Aku tak akan biarkan mereka menangkapmu!"

(Tiba-tiba Sharon menoleh ke belakang, seolah menyadari keberadaan seseorang di sana.)

"Anak-anak! Jangan biarkan mereka menangkap anak-anak!" Itu suara Bu Cormode. "Selamatkan anak-anak!"

(Sharon kembali menirukan suara tembakan. Dia lalu menyatukan kedua tangannya, membentuk kepalan tinju besar, dan mengayunkannya ke bawah.).

Anak-anak menangis.

(Dia menirukan gerakan menusuk, memukul, menikam.)

Abbie menangis. Bu Cormode gendong dia.

(Dia menirukan gerakan mengangkat sesuatu atau seseorang dari lantai, dan menghantamkannya ke dinding.)

Dan Abbie berhenti menangis.

(Dia kembali mengelus-elus wajahnya, menirukan suara ibunya.)

"Tidak apa-apa, sayang...tidak apa-apa..."

(Tangannya berhenti mengelus, lalu turun dan mencengkeram lehernya sendiri, seolah mencekik.)

"Aku tak akan biarkan mereka menangkapmu!"

(Sharon mulai megap-megap. Dokter Sommers beranjak untuk menghentikannya. Dokter Kelner mengacungkan tangannya. Sharon mendadak berhenti, mengayunkan kedua tangannya ke udara sambil menirukan suara tembakan senapan.)

Panas, basah. Mulutku asin. Mataku sakit. Ada tangan gendong aku. 

(Dia bangkit, menirukan gerakan lari.)

Bawa aku ke tempat parkir. "Lari, Sharon! Jangan berhenti!"

(Suaranya kini berbeda, bukan lagi suara ibunya.)

"Lari! Cepat lari!" Tangannya lepas aku. Lengannya besar, lembut.

Baca bagian selanjutnya di sini.