Rabu, 05 Agustus 2015

World War Z: Bab II: Kesalahan (part 2)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Vaalajarvi, Finlandia

(Saat itu musim semi, “musim berburu.” Ketika cuaca mulai menghangat dan zombie-zombie yang membeku mulai hidup kembali, para anggota N-For (Northern Force) dari PBB berdatangan untuk melakukan Operasi Sapu Bersih. Jumlah zombie di tempat ini perlahan menurun setiap tahun. Jika tren ini terus berlanjut, Vaalajarvi diharapkan akan seratus persen aman dalam satu dekade. Travis D’Ambrosia, Komandan Tinggi Sekutu Eropa, terkadang hadir dalam tiap operasi untuk mengawasi. Suaranya saat berbicara denganku terdengar lembut, dengan setitik kesedihan. Selama wawancara kami, dia harus berjuang untuk mempertahankan kontak mata).

Aku tak akan menyangkal semua kesalahan yang telah kami lakukan. Aku mengaku bahwa kami seharusnya bisa lebih siap. Kami telah mengecewakan masyarakat Amerika. Tapi, aku mau masyarakat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Bagaimana kalau Israel benar?” Itulah kata-kata pertama yang diucapkan Kepala Staf Gabungan pagi itu ketika Israel mengeluarkan deklarasi mereka di PBB. “Aku tidak bilang mereka benar,” ujarnya, seolah mau meyakinkan kami, “aku hanya bilang: bagaimana kalau itu benar?” Kami tahu dia mau pendapat jujur, bukan opini terselubung. Dia memang tipe seperti itu. Dia selalu menjaga nada percakapan di ranah hipotesis, seolah itu hanya sekedar latihan intelektual. Lagipula, kalau semua orang di seluruh dunia tidak siap untuk memercayai hal seperti itu, mengapa orang-orang di dalam ruangan itu harus percaya?

Kami tetap berpura-pura tak ada yang terjadi, terus bekerja sambil tersenyum dan sesekali melontarkan lelucon. Aku tak yakin kapan tepatnya semua itu berubah. Tiba-tiba saja, ruangan kami dipenuhi para ahli bidang militer, masing-masing punya bertahun-tahun pengalaman perang dan lebih banyak pelatihan akademis daripada ahli bedah otak. Kami semua berdiskusi secara terbuka tentang ancaman serangan mayat-mayat hidup. Rasanya seperti melihat bendungan jebol. Tak ada lagi yang tabu dibicarakan, hanya kebenaran. Rasanya sangat…melegakan.

Jadi, kau sudah punya kecurigaan pribadi sebelumnya?

Ya, sejak berbulan-bulan sebelum deklarasi Israel. Sang kepala staf juga, sebenarnya. Semua orang di ruangan itu sudah lama punya kecurigaan masing-masing.

Apakah kau sudah pernah membaca Laporan Warmbrunn-Knight?

Tak ada dari kami yang pernah membacanya. Aku pernah mendengarnya, tapi tidak tahu apa isinya. Aku baru mendapatkan kopiannya dua tahun setelah Kepanikan Besar melanda. Kebanyakan panduan operasi militer isinya sama saja dengan milik kami.

Maaf, apa yang kalian miliki?

Proposal untuk Gedung Putih. Kami telah menggarisbawahi poin-poin penting untuk program komprehensif. Tujuannya bukan hanya untuk menghilangkan ancaman di Amerika Serikat, namun juga seluruh dunia.

Apa tanggapan mereka?

Gedung Putih menyukai apa yang kami sebut sebagai Fase Satu, karena murah, cepat, dan seratus persen bersifat rahasia. Fase Satu meliputi penurunan unit Pasukan Khusus ke area-area terinfeksi, dengan perintah menyelidiki, mengisolasi, dan menghancurkan.

Menghancurkan?

Ya, hanya jika diperlukan.

Apakah mereka yang disebut dengan Tim Alfa?

Ya, dan mereka sangat sukses. Laporan detail tentang operasi mereka mungkin akan terkunci selama paling tidak 140 tahun ke depan, tapi aku yakin itu akan menjadi salah satu momen paling gemilang dalam sejarah pertempuran pasukan khusus Amerika.

Jadi, apa yang salah?

Tak ada yang salah dari Fase Satu, tapi masalahnya, Tim Alfa sebenarnya hanya berfungsi sebagai solusi sementara. Misi utama mereka bukan memusnahkan, tapi menahan ancaman cukup lama sampai kami bisa menjalankan Fase Dua.

Tapi Fase Dua tidak pernah diselesaikan.

Malah tidak pernah dimulai. Inilah alasannya mengapa militer Amerika jadi terlihat keteteran secara memalukan.

Fase Dua meliputi penaklukan besar-besaran berskala nasional, jenis yang tak pernah terlihat lagi sejak Perang Dunia Kedua. Upaya semacam itu membutuhkan kontribusi masif dalam hal sumber daya dan dukungan masyarakat, dan kami tak punya kedua-duanya. Orang Amerika sudah melalui terlalu banyak konflik berdarah. Mereka sudah muak. Sama seperti tahun 70-an; tren publik sudah berubah dari militan ke benci aksi militer.

Dalam rezim totaliter—komunis, fasis, fundamentalis—dukungan publik sifatnya wajib. Kau bisa dengan mudah memulai atau memperpanjang perang, menyuruh semua orang memakai seragam selama yang kau suka, tanpa harus khawatir soal kecaman politis. Tapi, dalam demokrasi, yang berlaku adalah kebalikannya. Dukungan publik adalah harta nasional terbatas, yang harus digunakan secara bijak, hemat, dan dengan keuntungan terbesar untuk investasi tersebut. Orang Amerika sudah muak terhadap perang, jadi tak ada hal yang lebih mengundang kecaman daripada persepsi bahwa negara mereka akan kalah.

Aku bilang “persepsi” karena Amerika adalah bangsa yang cinta kemenangan besar. Kami ingin melihat kemenangan dahsyat, gol dramatis, K.O di ronde pertama. Kami ingin semua orang tahu bahwa kemenangan kami bukan hanya mutlak, tapi juga menghancurkan yang kalah. Kalau tidak…yah, lihat saja apa yang terjadi sebelum Kepanikan Besar. Kami memang tidak kalah dalam konflik-konflik kecil terakhir; jauh dari itu. Kami bahkan berhasil menuntaskan misi-misi sulit dengan sumber daya terbatas, di tengah situasi yang kurang menguntungkan. Kami berhasil, tapi publik tidak melihatnya, karena itu bukan kemenangan dahsyat yang diinginkan bangsa kami. Terlalu banyak waktu dan uang yang dihabiskan. Terlalu banyak orang yang tewas atau hancur secara mental. Kami tidak hanya kehilangan dukungan publik; kami benar-benar sudah tak punya muka.

Pikirkan saja berapa jumlah Dolar yang akan habis untuk Fase Dua. Tahukah kau berapa banyak uang yang harus kami keluarkan untuk merekrut satu saja warga sipil Amerika untuk menjadi tentara? Aku tidak bicara soal pengeluaran wajib seperti biaya pelatihan, perlengkapan, makanan, tempat tinggal, transportasi, dan medis. Aku bicara soal pembiayaan jangka panjang yang harus dikeluarkan para pembayar pajak untuk satu orang ini seumur hidupnya. Itu adalah beban finansial yang sangat besar, dan saat ini, kami sudah kewalahan bahkan untuk membiayai apa yang sudah kami miliki.

Bahkan jika kami punya cukup banyak uang untuk membiayai prajurit sebanyak yang kami mau, siapa yang mau mendaftar? Sekali lagi, ini soal rasa muak terhadap perang. Seolah-olah kematian, luka dan gangguan mental saja belum cukup, kini kita berhadapan dengan Generasi yang Dikhianati. Kami adalah prajurit sukarelawan, dan lihatlah apa yang terjadi pada banyak dari kami. Berapa banyak kisah-kisah yang kau dengar tentang veteran yang sudah sepuluh tahun pensiun yang tiba-tiba ditarik kembali? Atau mereka yang pulang dan mendapati bahwa mereka tidak bisa lagi mendapat pekerjaan? Berapa banyak yang hidupnya jadi berantakan ketika pulang, atau malah tak pernah pulang sama sekali?

Bangsa Amerika itu terbuka. Kami selalu mengharapkan setiap janji ditepati. Aku tahu banyak negara yang menganggap kami kekanak-kanakan, bahkan naif, tapi itu sudah menjadi prinsip kami. Jadi, ketika melihat Paman Sam mendadak menjilat ludahnya sendiri….

Setelah Perang Vietnam, ketika aku masih pemimpin peleton muda di Jerman Barat, kami sampai harus mengadakan program pemberian insentif khusus untuk para prajurit agar mereka tidak kabur saat bertugas. Setelah Perang Zombie, insentif sebesar apapun tidak mampu mencegah berkurangnya jumlah pasukan kami; tidak juga bonus pengurangan masa tugas atau bahkan sistem rekrutmen online yang kami samarkan menjadi video game. Generasi ini sudah muak, dan itulah sebabnya mengapa ketika zombie akhirnya mulai merongrong negara kami, kami sudah terlalu lemah dan rapuh untuk menghentikan mereka.

Aku tidak menyalahkan kepemimpinan sipil, dan aku tidak bilang kalau kami para prajurit harus bergantung pada mereka. Sistem pemerintahan yang kami anut masih yang terbaik di dunia, harus dilindungi dan dipertahankan, dan tidak boleh disalahgunakan.

Baca bagian selanjutnya di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar