Minggu, 24 Mei 2015

World War Z: Bab I: Peringatan (part 5)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Silakan ke sini.



Pelabuhan Bridgetown, Barbados, Federasi Hindia Barat

(Aku disuruh menunggu kedatangan "kapal yang layarnya tinggi", tetapi "layar tinggi" kapal IS Imfingo ternyata mengacu ke empat turbin angin vertikal yang mencuat dari lambungnya. Kapal ini dilengkapi dengan PEM, Proton Exchange Membrane, teknologi yang mengubah air laut menjadi listrik. Digadang-gadang sebagai masa depan transportasi laut, aku belum pernah melihat kapal semacam ini berlayar tanpa bendera yang menandakan status sebagai milik pemerintah. Akan tetapi, Imfingo adalah kapal milik pribadi, dan Jacob Nyathi adalah kaptennya).

Aku lahir di Afrika Selatan ketika masa apartheid baru saja berakhir. Pada tahun-tahun penuh euforia itu, pemerintah tidak hanya menjanjikan kesetaraan dalam demokrasi, tetapi juga pekerjaan dan rumah untuk kami. Ayahku mengira hal itu akan segera terwujud; dia tidak paham bahwa itu adalah tujuan jangka panjang, yang harus dicapai dengan bertahun-tahun kerja keras. Pikirnya, jika kami meninggalkan kampung halaman dan pindah ke kota, kami akan langsung mendapat rumah baru dan pekerjaan bergaji besar. Ayahku seorang buruh harian, cara berpikirnya sederhana, jadi aku tak bisa menyalahkannya hanya karena bermimpi untuk memberi kami kehidupan yang lebih baik walaupun ia tak punya pendidikan. Kami pindah ke Khayelitsha, salah satu dari empat kota utama di luar Cape Town. Kami sangat miskin dan masa kecilku sulit.

Pada malam peristiwa itu terjadi, aku sedang berjalan dari halte bus menuju rumah. Aku baru menyelesaikan giliran kerjaku di restoran T. G. I. Friday's di Victoria Wharf. Aku ingat malam itu lumayan menyenangkan; aku dapat banyak tips, dan tim rugbi Springboks baru saja mengalahkan All Blacks...untuk yang kedua kalinya!

(Dia tersenyum sejenak)

Mungkin hal-hal itu membuatku sedikit lengah, tapi aku ingat tubuhku langsung bereaksi ketika mendengar suara tembakan. Tembak-menembak bukan hal yang aneh di tempat tinggalku pada masa itu. "Satu orang, satu senjata," begitulah slogan hidup di Khayelitsha. Kau langsung mengembangkan naluri bertahan hidup layaknya veteran perang, dan naluriku setajam pisau cukur. Aku langsung jongkok dan merunduk, mencoba mencari tahu darimana asal suara tembakan itu, dan pada saat yang sama berusaha mencari tempat untuk berlindung. Sayangnya, kebanyakan "rumah" di sana lebih tepat disebut gubuk semi-permanen, terbuat dari kayu-kayu sisa dan seng berkarat, atau bahkan lembaran plastik yang dipasang pada tiang-tiang setengah jadi. Tempat itu sering kebakaran, dan kau bisa bayangkan peluru menembusi mereka seperti menembus udara saja.

Aku berlari dan berjongkok di belakang tempat cukur rambut yang dibangun dari sisa-sisa kontainer besi seukuran mobil. Bukan tempat sembunyi yang sempurna, tapi lumayan memberiku waktu untuk setidaknya menunggu sampai tembak-menembak berhenti. Hanya saja, suara-suara tembakan tidak berhenti. Pistol, shotgun, dan suara rentetan yang memberitahuku kalau seseorang punya Kalashnikov. Rasanya terlalu lama untuk ukuran pertempuran antar geng yang biasa. Aku mendengar jeritan dan teriakan. Aku mencium asap. Ada suara-suara gaduh. Saat aku mengintip, aku melihat lusinan orang, kebanyakan penghuni di daerah sekitar situ, semuanya berlari sambil menjerit-jerit: "lari! Pergi dari sini! Mereka datang!"

Lampu-lampu langsung menyala di pemukiman kumuh itu, wajah-wajah melongok keluar dari gubuk. "Apa yang terjadi?" Seru mereka. "Siapa yang datang?" Seru anak-anak. Tapi orang-orang yang lebih tua, mereka tidak berkata apa-apa dan langsung berlari. Mereka punya naluri sendiri, kau tahu, naluri yang lahir dari masa-masa ketika mereka masih jadi budak di negeri mereka sendiri. Pada masa-masa itu, semua orang tahu siapa "mereka" itu, dan jika "mereka" datang, sebaiknya kau lari dan berdoa.

Apakah kau ikut lari?

Aku tak bisa. Ibuku dan kedua adik perempuanku tinggal tak jauh dari stasiun radio Zibonele, area yang dijauhi orang-orang itu. Aku memang bodoh; harusnya aku berbalik dan menemukan gang atau sudut-sudut sepi untuk sembunyi. Tapi, aku malah langsung berlari ke arah mereka, menembus kerumunan orang yang panik. Aku tertabrak sana-sini, sampai aku terlempar ke salah satu gubuk. Aku terbelit lembaran plastik ketika tiang-tiang rapuh gubuk itu runtuh. Aku terjebak, tak bisa bernapas, kepalaku tertendang. Aku membebaskan diri dan berguling ke jalan. Aku masih tengkurap di aspal ketika akhirnya aku melihat mereka: ada sepuluh atau lima belas, semuanya berupa siluet dengan latar belakang kobaran api. Aku tak bisa melihat wajah mereka, tapi aku bisa mendengar erangan mereka. Mereka berjalan dengan langkah separuh diseret, lengan-lengan mereka terangkat ke arahku.

Kepalaku masih pusing dan tubuhku sakit semua, tapi aku langsung berdiri. Aku mundur ke gubuk terdekat, ketika sesuatu mendadak mencengkeram kerahku dari belakang. Kerahku robek, dan aku langsung berputar sambil menendang. Makhluk itu besar, besar dan lebih gemuk dariku setidaknya beberapa kilo. Ada cairan hitam menodai mulut dan bagian depan kaus putihnya. Sebilah pisau menancap di dadanya, terkubur di antara rusuk sampai ke gagangnya. Potongan kain kerahku jatuh dari mulutnya ketika dia menggeram dan menerjang. Aku mencoba menghindar. Dia menangkap lenganku, dan aku mendengar suara retakan serta merasakan sakit luar biasa. Aku jatuh berlutut, lalu mencoba berguling dan mungkin membuatnya tersandung.

Tanganku mendadak meraih sesuatu; sebuah penggorengan besi berat. Aku langsung mengayunkannya sekuat tenaga ke wajahnya. Aku memukulnya berkali-kali sampai kulihat tengkoraknya retak dan otaknya berhamburan dekat kakiku. Ia jatuh tersungkur dan aku langsung mundur ketika kulihat yang lainnya mendekat. Kali itu, gubuk-gubuk reyot itu membantuku. Aku  menendang salah satu dinding rapuh, dan satu gubuk langsung runtuh menimpa mereka.

Aku lari lagi. Aku tidak tahu kemana aku pergi. Benar-benar mimpi buruk; gubuk reyot dan kebakaran dan tangan-tangan terulur berusaha meraihku. Aku berlari menembus gubuk ini, dan kulihat seorang wanita bersembunyi di sudut. Ada dua anak kecil meringkuk sambil menangis di pelukannya. "Ayo!" Teriakku. "Berdirilah, kita harus pergi!" Aku mendekat sambil mengulurkan tangan, tapi dia menarik anak-anaknya lebih dekat sambil mengacungkan obeng yang ujungnya sudah ditajamkan. "Kumohon!" Teriakku, "kau harus lari!" Aku berusaha menyentuhnya, tapi dia menusuk tanganku. Aku lari meninggalkannya, aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan. Sampai sekarang aku masih mengingatnya setiap kali aku menutup mata. Kadang-kadang, wajahnya berubah menjadi wajah ibuku, dan tangisan anak-anaknya adalah tangisan adik-adikku.

Aku masih berlari ketika kulihat cahaya terang lampu mobil menembus sela-sela gubuk di depanku. Aku lari secepat mungkin dan berusaha memanggil siapapun mereka. Aku kehabisan napas dan langsung jatuh menembus dinding rapuh salah satu gubuk, dan tiba-tiba saja aku sudah ada di area terbuka. Cahayanya menyilaukan sekali, dan aku mendadak merasakan hantaman keras di bahuku. Kurasa aku sudah pingsan bahkan sebelum mencium tanah.

Aku siuman di atas ranjang di Rumah Sakit Groote Schuur. Aku tidak pernah melihat bagian dalam rumah sakit yang seperti ini; begitu putih dan bersih. Kupikir aku sudah mati, atau mungkin itu pengaruh obatnya. Aku tak pernah menyentuh alkohol, apalagi obat-obatan. Aku tak pernah mau berakhir seperti banyak anak-anak muda di lingkunganku, atau seperti ayahku. Seumur hidup, aku berjuang untuk tetap bersih, dan sekarang....

Morfinnya, atau apapun yang mereka suntikkan ke tubuhku, rasanya enak sekali. Aku tak peduli lagi pada semuanya. Aku tak peduli ketika mereka bilang polisi telah menembakku di pundak. Aku sama sekali tak menoleh ketika pasien di sampingku langsung didorong keluar ruangan segera setelah nafasnya berhenti. Aku bahkan tak peduli ketika telingaku menangkap potongan-potongan pembicaraan tentang "wabah rabies."

Apakah mereka berbicara tentang peristiwa itu?

Aku tidak tahu waktu itu. Aku sedang teler. Aku hanya ingat suara-suara di lorong di luar kamarku, suara-suara keras penuh kemarahan saat mereka berdebat. "Itu bukan rabies!" Salah satunya berteriak. "Rabies tidak menyebabkan hal seperti itu!" Lalu ada lagi...aku tak ingat...lalu, "yah, kalau begitu menurutmu itu apa!? Ada 15 yang seperti itu di sini! Apa kau tahu berapa banyak yang mungkin ada di luar sana!?" Lucu sekali; aku terus saja mengulang-ulang percakapan itu di kepalaku setelahnya. Lama sekali sebelum aku akhirnya sadar dan menghadapi semua mimpi burukku.

Baca bagian selanjutnya di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar