Selasa, 27 Januari 2015

Istriku

Judul asli: My Wife
Penulis: Anonim (Creepypasta)

Hidupku saat ini lumayan sempurna. Aku baru saja meraih gelar sarjanaku dari universitas negeri, dan kini bekerja sebagai manajer kantor. Tetapi, ada yang hilang dari hidupku. Aku butuh cinta. Aku menginginkan seorang istri yang bisa menemaniku. Para wanita yang kutahu hanyalah para karyawan kantorku, dan semuanya sama sekali tak menarik.

Setelah satu hari kerja yang panjang, aku masuk ke rumah, menyambar sekaleng soda, dan langsung duduk serta menyalakan komputerku. Aku sudah putus asa dalam mencari jodoh, sehingga satu-satunya pilihanku adalah situs kencan. Aku masuk ke salah satu situs kencan ternama, mendaftar, mengisi profil, dan berdoa semoga ada yang tertarik padaku.

Keesokan paginya, aku bangun dan menyalakan komputerku lagi. Profil situs kencanku menunjukkan dua kecocokan. Salah satunya ternyata rekan kerjaku yang terkenal jelek. Satu lagi tak menunjukkan foto profil, namun namanya cukup unik. Karena sudah putus asa, aku memutuskan untuk mengajak wanita ini bertemu pada malam hari di sebuah kafe. Tiga menit kemudian, ia membalas pesanku, mengatakan akan datang. Aku sangat bersemangat, namun juga cemas membayangkan apa yang akan terjadi nanti.

Malam itu, aku sangat lelah karena tumpukan pekerjaan yang harus kulakukan di kantor. Akan tetapi, kelelahanku tertutup semangatku saat aku berkendara pulang, mandi dan berganti pakaian, lantas keluar lagi ke kafe tempatku janjian dengan si wanita misterius. Lagipula, kafe itu jaraknya hanya 5 menit bekendara dari rumahku. Aku mendapat tempat parkir dengan mudah, dan masuk ke kafe, dengan cemas menanti kencan butaku. 

Pada akhirnya, aku dibuat takjub ketika seorang wanita yang sangat cantik menghampiriku. Matanya, terutama, sangat indah; warna kelabu paling menakjubkan yang pernah kulihat.

"Hei," katanya sambil tersenyum. "Aku Christy. Kau pasti David. Aku sudah lihat foto profilmu."

"Aneh, aku belum lihat fotomu," kataku bercanda, dan kami tertawa. Malam itu, aku yakin kami berdua memang ditakdirkan bersama.

Kencan pertama kami luar biasa, dan kami ternyata punya banyak kesamaan. Ketika aku  akhirnya mengantarnya ke apartemennya yang agak kumuh, kami berciuman, lantas aku pergi. Saat itu, aku merasa menjadi pria paling beruntung di dunia.

Christy dan aku berkencan selama empat bulan, sebelum aku akhirnya melamarnya, dan ia bilang ya. Pernikahan kami berlangsung seperti layaknya acara pernikahan lainnya, namun sedikit sekali yang datang. Di antara tamu-tamu kami, ada ibuku, ayah Christy, beberapa rekan kerjaku yang paling akrab denganku, dan beberapa teman Christy. Tapi tidak masalah; ia nampak cantik hari itu, dan aku jatuh cinta bukan kepalang.

Malam pertama dengan Christy adalah pertama kalinya aku tidur dengan wanita, namun untungnya, ia tidak hamil, karena kupikir saat itu bukan masa-masa yang tepat untuk punya anak. Aku juga tidak mampu mengajaknya berbulan madu, namun ia bilang itu bukan masalah, yang penting kami berdua bisa bersama. Ia memang baik seperti itu. Aku kemudian membantunya mengangkut barang-barangnya dari apartemen kumuh itu ke rumahku. Hidup kami nampaknya sempurna, dan kami sangat cocok bersama-sama.

***
Beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar bahwa Kevin, salah satu rekan kerjaku yang menghadiri pernikahanku, ditemukan tewas dengan luka sayatan di sekujur tubuhnya. Tidak diketahui siapa pembunuhnya dan apa motifnya. Polisi bilang, mayatnya akan segera diotopsi. Ini membuatku depresi, dan menambah parah sakit kepala yang sudah beberapa waktu kualami. Kelihatannya, aku mulai terkena sakit kepala kronis akibat terlalu keras bekerja. 

Hari itu, aku pulang larut malam, saat Christy sudah masuk ke kamar. Aku tidak lapar, jadi aku memutuskan untuk langsung masuk ke kamar dan menceritakan soal Kevin pada Christy. Istriku langsung duduk tegak menghadapku, tersenyum, dan berkata, "jangan khawatir. Ia akan baik-baik saja."

Aku tidak yakin apakah harus kaget atau merasa rileks mendengar nada suaranya yang lembut. Akan tetapi, karena sifatnya memang lembut hati, aku tidak memikirkannya lagi dan langsung tertidur.

Keesokan paginya, aku merasa tidak enak badan; aku terus batuk dan merasa mual, dan harus absen bekerja. Satu-satunya hal baik dari ini adalah aku bisa beristirahat di rumah dengan ditemani Christy, yang mengurusku dengan sangat baik. "Aku mencintaimu, cepatlah sembuh," begitulah selalu katanya, sepanjang hari. Malam itu, ia naik ke tempat tidur selembut mungkin dan mematikan lampu. Akan tetapi, 30 menit setelahnya, aku masih tak bisa tidur. Aku mengalungkan lenganku ke sekeliling tubuh istriku untuk memeluknya, namun kemudian aku membeku. Kulitnya terasa sedingin es.

"Christy? Kau baik-baik saja?" Tanyaku. Ia tak menjawab.

Aku memutar tubuh Christy untuk melihat wajahnya, namun yang kulihat adalah pemandangan paling mengerikan. Aku menjerit sekuat tenaga, mendorong tubuhnya, dan lari ke kamar mandi.

Istriku tak lagi punya bola mata, menyisakan dua lubang berdarah di wajahnya. Urat-urat wajahnya bertonjolan, kulitnya sangat pucat. Aku tak ingat detailnya, karena mataku saat itu masih membiasakan diri dengan kegelapan. Aku terduduk dan menangis di kamar mandi, dan kurasa aku kemudian tertidur. Anehnya, aku bangun dengan segar, namun ketakutan segera menyeruak di hatiku, mengingat apa yang kulihat semalam. Mataku masih agak kabur karena menangis berjam-jam.

Aku bangkit sambil berusaha mengatasi ketakutanku. Kubuka pintu dengan perlahan, dan kulihat istriku tak ada di tempat tidur. Aku mendengar suara dari dapur, suara logam berkelontangan. Cepat-cepat aku pergi ke dapur, dan kulihat istriku yang cantik seperti biasanya ada di sana, memungut panci yang rupanya terjatuh ke lantai. Ketika ia melihatku, ia kaget dan menjatuhkan pancinya lagi.

"Apa yang terjadi semalam?" Todongnya, tapi lebih kedengaran khawatir ketimbang marah. 

"Aku...rasanya aku mendadak mau muntah, jadi aku langsung lari ke kamar mandi," ujarku, berbohong. Untungnya, ia langsung percaya."

"Oh, baiklah, cepat sembuh saja, kalau begitu," ujarnya, kemudian menciumku sebelum melanjutkan membuat sarapan. Akhir pekanku dimulai dengan tidak begitu menyenangkan.

Aku merenungkan apa yang kulihat semalam, dan aku tak bisa menjelaskannya. Aku mencoba melupakannya, berharap hal itu tak terjadi lagi. Namun, hal itu terjadi lagi. Gambaran itu menghantui mimpi-mimpiku; tubuh istriku yang tak bernyawa, dengan mata tercungkil. Akan tetapi, bagian paling menakutkan dari mimpi-mimpiku itu adalah ketika istriku berdiri kaku seperti marionet, dengan bahu doyong ke depan, menempelkan wajahnya ke wajahku, mengirim bau daging busuk ke hidungku.

"Kau tak bisa lari," begitulah bisiknya. "Kita akan bersama selamanya."

Dan kemudian...ia tersenyum, senyum manisnya yang menampakkan semua gigi, seperti biasa. Dan senyuman istriku yang biasa kini selalu membuat bulu kudukku berdiri.

***

Kurasa aku sudah gila. Aku mulai melihat...'makhluk' itu, dimana-mana. Di belakang kubikel kantorku, bahkan berbaring di taman. Aku takut dan ingin lepas darinya, namun tak bisa. Yang kuinginkan hanya istriku; istriku, Christy, yang kucintai, bukan jelmaan makhluk mengerikan itu. Aku harus mengakhirinya.

Keesokan harinya, aku masuk ke rumahku. Di sana, kulihat makhluk itu berdiri di dapur, menyaru sebagai istriku, dengan bahu doyong yang sama seperti yang kulihat dalam mimpiku. Tanpa berpikir panjang, kuraih tubuhnya, dan kujejalkan ke dalam oven, sekuat tenaga mencegahnya melawan. Kututup pintu oven dan kunyalakan benda itu. Aku merasa pedih, namun juga lega.

Oven itu mulai berguncang hebat, dan keluarlah jeritan kesakitan paling mengerikan yang pernah kudengar, sehingga aku langsung lari keluar rumah. Jeritan-jeritan itu terdengar selama sepuluh menit, dan selama itu pula, seisi rumahku nampak mulai dipenuhi asap hitam tebal.

Ketika aku akhirnya masuk ke dalam, jeritan sudah berhenti. Rumahku sangat hening, seolah seluruh dunia sudah mati. Aku melangkah ke arah oven dan membukanya, dan ketika kulihat isinya, aku langsung runtuh. Mayat istriku, Christy, ada di dalam; terbakar hebat, namun kedua bola matanya masih ada. Aku jatuh berlutut dan hanya bisa menatapnya; lima belas atau tiga puluh menit aku berlutut di sana, hingga polisi datang dan menangkapku.

Aku dibawa ke ruang interogasi dan ditanyai, namun untungnya, aku berhasil meyakinkan mereka bahwa aku hanyalah seorang suami malang yang pulang ke rumah dan menemukan istrinya telah menjadi mayat terbakar di dalam oven. Mereka bilang padaku semua akan baik-baik saja, dan aku harus tinggal di hotel sampai mereka selesai melakukan pemeriksaan di rumahku.

Aku tidak akan baik-baik saja. Aku tahu apa yang telah kulakukan.

Tahukah kau apa yang lebih mengerikan? AKU MASIH MELIHAT MAKHLUK ITU. Tapi terserah. Aku sudah membunuh istriku. Aku membunuhnya. Aku telah menghancurkan hidupku dan hidupnya. Aku tak ingin hidup lagi, tapi inilah aku, malah sibuk mengetik kisah ini. 

Karena aku ingin membebaskan diri dari depresi yang tak tertahankan ini, aku memaksakan diri pergi bekerja keesokan harinya. Ketika aku sudah parkir dan hendak masuk, aku melihat pintunya tertutup, dengan pita kuning di depannya, dan secarik catatan:

"Bangunan ini telah ditutup untuk sementara hingga pemberitahuan resmi dikarenakan adanya kebocoran kimiawi yang berpotensi membahayakan." - Departemen Kesehatan.

Rasa dingin yang tak terjelaskan menjalari tubuhku. Aku harus memeriksakan diri. Aku langsung ngebut dengan mobilku ke klinik dokter langgananku. Ketika masuk, aku tak melihat pasien lain kecuali seorang suster. Aku langsung bertanya pada dokterku bisakah aku dites untuk melihat jika aku terkontaminasi racun kimiawi. Ia menyanggupi.

Pada akhirnya, ia mendiagnosisku positif mengalami dampak akibat menghirup kimia berbahaya. Dengan gemetar, aku memintanya membacakan efek samping dari bahan kimia yang telah kuhirup. 

"Efek dari menghirup bahan kimia tersebut mencakup sakit kepala, muntah, kelelahan, serta gangguan pada kerja indera. Efek jangka panjang mencakup kerusakan otak, ketidakstabilan mental, dan halusinasi."

Tamat

1 komentar:

  1. D-dia ngebunuh istrinya beneran krn halusinasi? Sadisss...

    BalasHapus