Sabtu, 18 November 2017

World War Z: Bab V: Amerika di Tengah Perang (part 4)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Malibu, California

(Aku tidak membutuhkan foto untuk bisa mengenali Roy Elliot. Kami bertemu untuk minum kopi di Malibu Pier Fortress yang telah direnovasi. Orang-orang di sekitar kami juga mengenalinya. Akan tetapi, tidak seperti sebelum era perang zombie, kali ini mereka menjaga jarak dengan hormat.)

SKA. Itulah musuh besarku. Sindrom Keruntuhan Asimtomatis atau Sindrom Keputusasaan Apokaliptik, tergantung dengan siapa kau bicara. Terserah kau mau pilih yang mana, tetapi keduanya sama-sama membunuh banyak orang di masa-masa awal perang, sama banyaknya dengan kelaparan, penyakit, kekerasan, atau kematian akibat zombie. Mulanya tak ada yang tahu apa yang terjadi. Kami sudah menstabilkan area Pegunungan Rocky, membersihkan zona aman, tapi ratusan orang tetap mati setiap hari. Bukan bunuh diri, ini beda lagi. Banyak yang mati hanya sedikit terluka dan bisa sembuh dengan cepat, atau malah sehat-sehat saja. Mereka pergi tidur di malam hari, dan paginya tidak bangun lagi.

Masalahnya lebih ke psikologi. Mereka sudah menyerah, tidak mau melihat hari esok, karena mereka pikir hanya ada penderitaan tanpa akhir. Kehilangan harapan dan kemauan hidup, itu tidak aneh dalam perang. Sebenarnya di masa damai juga terjadi, tetapi skalanya tidak seperti ini. Ada rasa ketidakberdayaan, atau lebih tepatnya, persepsi ketidakberdayaan. Aku mengerti rasanya. Aku sudah membuat film seumur hidupku. Orang memanggilku jenius, anak ajaib yang tidak pernah gagal, walau sebenarnya aku cukup sering gagal.

Tiba-tiba, aku jadi bukan siapa-siapa. Golongan F-6. Dunia berubah jadi neraka, dan semua keahlianku yang hebat itu tidak berdaya menghadapinya. Ketika aku mendengar tentang SKA, pemerintah sedang mencoba menutupinya. Aku dapat bocorannya dari kontakku di Cedar-Sinai. Kabar itu membuat sesuatu di otakku menyala. Sama seperti ketika aku membuat film 8 milimeter untuk pertama kalinya serta menunjukkanya pada orang tuaku. Ini sesuatu yang bisa kulakukan, pikirku. Inilah musuh yang bisa kutaklukkan!

Dan sejarah pun membuktikannya.

(Dia tertawa.). Mauku begitu. Aku mendatangi orang pemerintah dengan ide itu. Mereka menolakku.

Benarkah? Kupikir karena karirmu...

Karir apa? Mereka 'kan mau prajurit dan petani. Pekerjaan sungguhan, ingat? Paling mereka cuma bilang, "Sori. Ngomong-ngomong, boleh minta tanda tangan?" Tapi aku tidak gampang menyerah. Kalau aku percaya aku bisa melakukan sesuatu, tidak ada kata "tidak". Aku ngotot menjelaskan kepada tim DeStRes kalau aku tidak akan minta sepeser pun dari Paman Sam. Aku akan pakai peralatan dan timku sendiri, dan yang kuperlukan hanya akses ke tubuh militer.

"Biarkan aku menunjukkan kepada masyarakat mengapa kalian melakukan semua ini." Kataku waktu itu. "Biarkan aku meyakinkan mereka bahwa ada hal-hal yang mereka bisa percaya." Lagi-lagi ditolak. Kata mereka, militer terlalu sibuk, dan tidak ada waktu untuk pamer di depan kamera.

Apa kau tidak mencoba minta ke atasannya?

Ke siapa? Tidak ada kapal ke Hawaii, dan presiden sedang sibuk. Siapa saja yang bisa menolongku entah terlalu jauh, atau terlalu sibuk dengan hal-hal yang "lebih penting".

Apa kau tidak bisa jadi jurnalis lepas, dan mendapat kartu identitas dari pemerintah?

Prosesnya terlalu lama. Kebanyakan perusahaan media saat itu entah sudah runtuh, atau dijadikan institusi di bawah pemerintah federal. Mereka yang tersisa hanya menyiarkan pengumuman publik, untuk memastikan semua orang mendapat informasi. Semuanya masih kacau. Jalanan saja masih kacau, apalagi birokrasi untuk memberiku status jurnalis lepas. Mungkin bisa makan waktu berbulan-bulan, padahal ada ratusan orang yang mati setiap hari. Aku tidak bisa menunggu. Aku harus berbuat sesuatu. Aku menyambar kamera DV, beberapa baterai cadangan, dan pengisi daya bertenaga matahari. Anak sulungku ikut denganku sebagai teknisi suara dan asisten sutradara. Kami menyusuri jalan selama seminggu, benar-benar hanya kami berdua dengan sepeda gunung, berburu cerita. Untungnya, kami tidak perlu mencari berlama-lama.

Tidak jauh dari Los Angeles, di Kota Claremont, ada lima universitas yang berdekatan: Pomona, Pitzer, Scripps, Harvey Mudd, dan Claremont McKenna. Ketika Kepanikan Besar mulai, dan semua orang sibuk berlari ke arah perbukitan, sekitar tiga ratus mahasiswa memilih untuk mempertahankan diri di kampus-kampus tersebut. Mereka mengubah kampus wanita di Scripps menjadi semacam kota abad pertengahan. Mereka mendapat pasokan dari kampus-kampus lain, dan persenjataan mereka adalah gabungan dari alat-alat kebun dan senjata replika ROTC. Mereka membuat kebun, menggali sumur, dan memperkuat tembok-tembok kampus.

Ketika perbukitan terbakar di belakang mereka, dan seluruh kota tenggelam dalam kekacauan, 300 mahasiswa itu berhasil menahan serbuan sepuluh ribu zombie! Mereka melakukannya selama empat bulan, sampai seluruh area itu berhasil dibersihkan. Aku dan anakku beruntung bisa sampai di sana pada saat-saat terakhir, tepat ketika zombie-zombie terakhir dibasmi, dan para mahasiswa serta prajurit bersorak-sorai di bawah bendera Amerika besar yang lusuh, berkibar dari puncak menara lonceng Pomona. Cerita yang hebat sekali! Aku dapat 96 jam rekaman video, siap disunting. Harusnya aku bisa merekam lebih lama, tetapi waktu kami sempit. Ada ratusan orang yang mati setiap hari, ingat?

Aku harus menyiarkan rekaman itu secepat mungkin. Aku membawanya ke rumahku dan mengeditnya. Istriku menjadi naratornya. Kami membuat 14 kopi rekaman, semua dalam beragam format, dan memutarnya pada Sabtu malam di berbagai kamp dan tempat pengungsian di Los Angeles. Aku memberinya judul Victory in Avalon: the Battle of Five Colleges. Nama Avalon terinspirasi dari rekaman yang diambil salah satu mahasiswa selama pengepungan oleh zombie.

Saat itu malam sebelum salah satu serangan zombie terhebat yang mereka alami, ketika gerombolan zombie jelas terlihat berdatangan dari timur. Mereka semua bekerja keras: mengasah senjata, memperkuat pertahanan, berjaga-jaga di semua sisi. Sayup-sayup terdengar lagu dari pengeras suara yang bergema di seluruh kampus, musik yang sengaja diputar terus-menerus untuk membuat semua orang tetap bersemangat. Seorang mahasiswi Scripp, yang suaranya seperti malaikat, menyanyikan salah satu lagu Roxy Music. Indah sekali, sangat kontras dengan badai yang akan segera menghantam. Aku menggunakan musik itu untuk adegan "persiapan pertempuran" filmku. Jujur, aku masih mau menangis setiap kali mendengarnya.

Bagaimana filmnya?

Buruk sekali! Bukan hanya filmnya, tapi acaranya pemutarannya secara keseluruhan. Setidaknya itu yang kupikirkan. Aku sebenarnya mengharapkan reaksi yang lebih langsung. Mungkin tepuk tangan atau sorak-sorai. Aku tak pernah bilang siapa-siapa, tetapi aku punya fantasi sombong tentang orang-orang yang mendatangiku sambil menangis dan menjabat tanganku, berterima kasih karena aku memberi mereka harapan. Mereka bahkan tidak melihatku. Aku berdiri di pintu keluar, seperti pahlawan penakluk, tapi mereka melewatiku sambil diam dan memandang kaki sendiri. Aku pulang sambil berpikir: "Oh, ya sudahlah. Mungkin masih ada lowongan di kebun kentang di MacArthur Park."

Lalu, apa yang terjadi?

Dua minggu kemudian, aku sudah dapat pekerjaan baru, membuka jalan di Ngarai Topanga. Lalu, suatu hari, seorang pria berkuda ke rumahku. Dia melompat turun dari kuda seperti di film koboi lamanya Cecil B. De Mille saja. Ternyata dia psikiater dari fasilitas kesehatan di Santa Barbara. Mereka sudah dengar kesuksesan filmku, dan ingin tahu apakah aku masih punya rekaman lebih.

Sukses?

Ya. Ternyata, malam setelah pemutaran perdana itu, kasus ADS di LA menurun hingga lima persen! Mulanya mereka pikir itu hanya anomali statistik, sampai mereka menelitinya lebih lanjut dan melihat bahwa angka itu hanya ada di antara mereka yang menonton filmku!

Apakah tidak ada yang memberitahumu?

Tidak. (Tertawa.) Tidak militer, pejabat kota, atau bahkan pengelola tempat penampungan yang rupanya terus memutar film itu di tempat mereka tanpa sepengetahuanku. Aku tidak peduli, yang penting filmku manjur. Bukan hanya soal membuat perubahan. Aku akhirnya dapat pekerjaan tetap bahkan sampai perang selesai. Aku mengumpulkan tenaga sukarela di luar kru lamaku. Anak yang membuat rekaman di Claremont, Malcolm Van Ryzin, sekarang jadi direktur fotografiku. Kami mengambil alih studio rekaman kosong di Hollywood Barat, dan mulai membuat ratusan film. Kami memutarnya di setiap kereta api, rombongan karavan, kapal penyeberangan. Butuh waktu lama untuk mendapat respons, tetapi begitu mereka tiba...

(Dia tersenyum dan mengatupkan tangannya.)

Sepuluh persen penurunan angkat kematian di seluruh zona aman di Barat! Waktu itu aku sudah di jalan untuk membuat film lagi. Anacapa baru rampung, dan kami sudah setengah jalan menggarap Mission District. Ketika Dos Palmos menyusul ditayangkan, dan angka kematian sudah turun 23 persen, baru pemerintah menaruh perhatian.

Jadi, kau mendapat bantuan tambahan?

(Tertawa). Tidak. Aku tidak pernah minta bantuan, dan mereka juga tidak mau memberinya. Tapi aku akhirnya mendapat akses ke militer, dan itu membuka hal baru.

Apakah setelah itu kau menggarap Fire of the Gods?

(Dia mengangguk). Ya. Militer memiliki dua program senjata laser: Zeus dan MTHL. Zeus mulanya digunakan untuk pembersihan lahan, misalnya dari ranjau darat dan bom yang gagal meledak. Kecil, praktis, bisa dipasang di atas jip Humvee. Penembak membidik lewat kamera koaksial yang terpasang di moncong senjata, lalu menembakkan sinar laser langsung dari mekanisme optik yang sama. Terlalu rumit?

Tidak sama sekali.

Maaf, aku sering terbawa suasana. Lasernya adalah modifikasi dari laser industrial, seperti yang digunakan untuk memotong baja di pabrik. Itu bisa membakar menembus pelapis bom, atau memanaskannya sampai meledak sendiri. Hal yang sama berlaku untuk zombie. Setelan tinggi akan langsung menembus kening mereka, dan setelan rendah merebus otak mereka sampai muncrat lewat telinga, hidung, dan mata. Video rekaman kami hebat sekali, tapi Zeus cuma mainan kalau dibandingkan dengan MTHEL.

MTHEL singkatan dari Mobile Tactical High Energy Laser, dirancang bersama oleh Amerika Serikat dan Israel untuk menghancurkan proyektil kecil. Ketika Israel mengarantina diri mereka sendiri, dan berbagai kelompok teroris menembakkan mortar dan roket melewati tembok pengaman, MTHEL menghancurkan semuanya. Laser deuterium fluorid ukuran sebesar lampu suar Perang Dunia II yang lebih hebat dari Zeus. Efeknya dahsyat sekali. Itu bisa meledakkan daging dari tulang, membuatnya menyala terang sebelum mengubahnya menjadi abu. Menakjubkan kalau dilihat dengan kecepatan biasa, tetapi jika kau melihatnya dalam kecepatan lambat...itulah api para dewa.

Apakah benar kasus-kasus DS berkurang separuh dalam waktu sebulan setelah film itu diputar?

Sepertinya itu berlebihan, tapi orang-orang yang sedang senggang memang berebut menonton. Ada yang datang setiap malam. Posternya menggambarkan foto close-up zombie yang sedang dilaser, diambil langsung dari salah satu cuplikan rekaman, yang dibuat pada pagi hari ketika kabut membuat lasernya terlihat jelas. Di bawahnya ada satu kata: "Berikutnya". Film itu menyelamatkan program.

Programmu?

Bukan. Zeus dan MTHEL.

Memangnya mereka dalam bahaya?

MTHEL rencananya akan dihentikan sebulan setelah syuting. Zeus malah sudah dihentikan duluan. Kami harus memohon, meminjam, bahkan main curang supaya mereka mau mengaktifkannya lagi. DeStRes menganggap kedua program itu pemborosan.

Mereka pikir begitu?

Sayangnya memang begitu. Huruf "M" dalam MTHEL, mobile, mengacu ke kebutuhan akan barisan kendaraan khusus yang rapuh, tidak begitu tangguh di medan sulit, dan saling tergantung. MTHEL juga membutuhkan banyak bahan bakar dan zat kimia beracun yang tidak stabil untuk menciptakan lasernya.

Zeus sedikit lebih ekonomis. Lebih cepat dingin, mudah ditangani, dan bisa pergi ke mana saja karena dipasang di atas Humvee. Masalahnya, apakah mereka masih dibutuhkan? Bahkan dengan laser yang kuat, si penembak masih harus membidik sasaran bergerak selama beberapa detik. Penembak jitu terbaik bisa melakukan hal yang sama dengan senjata biasa, dua kali lebih singkat dan dengan korban lebih banyak. Hal itu membuat tembakan beruntun menjadi mustahil, padahal kita harus menghadapi gerombolan besar. Kedua unit yang ada sampai memiliki penembak jitu khusus yang ditugaskan secara permanen untuk melindungi mesin tersebut. Mesin yang harusnya bisa melindungi kita.

Memangnya seburuk itu?

Mulanya tidak. MTHEL menjaga Israel tetap aman dari serangan teroris, dan Zeus membantu tentara membersihkan lahan. Mereka oke sebagai senjata untuk keperluan khusus. Tapi untuk membunuh zombie? Mereka payah.

Jadi, kenapa kau membuat film tentang keduanya?

Karena Amerika menyembah teknologi. Itu sudah sifat alami bangsa ini. Bahkan kaum paling kolot sekalipun tidak menyangkal kemajuan teknologi Amerika. Kita sudah membelah atom, mencapai bulan, dan mengisi setiap rumah dan kantor dengan lebih banyak teknologi dari yang bisa dibayangkan penulis fiksi ilmiah. Aku tidak tahu apakah itu baik atau buruk, aku tidak berhak menilai. Yang aku tahu, orang Amerika sekarang masih memohon pada tuhan teknologi untuk menolong mereka, persis mantan-mantan ateis di lubang-lubang perlindungan itu.

Tapi kedua senjata itu tidak bekerja.

Itu tidak penting. Filmku sangat populer sampai-sampai aku diminta membuat satu seri. Aku menamainya Wonder Weapon, tujuh film tentang teknologi militer kita yang canggih, tetapi tidak satupun digunakan dalam strategi melawan zombie. Tetapi mereka berhasil memenangkan perang psikologis.

Tapi bukankah itu...

Kebohongan? Tidak apa-apa, kau boleh mengatakannya. Ya, mereka bohong, tapi bohong kadang bukan hal yang buruk. Kebohongan tidak buruk atau baik. Seperti api yang bisa menghangatkan atau malah membakarmu, tergantung bagaimana kau menggunakannya. Kebohongan yang disampaikan pemerintah pada kita sebelum perang zombie? Kebohongan yang membuat kita tetap senang tetapi buta? Itu jenis yang akan membakar kita, karena mencegah kita melakukan apa yang penting.

Tetapi, ketika aku menggarap Avalon, semua orang sudah melakukan segalanya untuk bertahan hidup. Kebohongan masa lalu sudah berakhir, digantikan oleh kebenaran yang merayap di jalan, mendobrak pintu, dan mengoyak tenggorokan kita. Sejujurnya, tidak peduli apa yang kita lakukan, banyak dari kita sudah tidak lagi punya masa depan. Kita mungkin berada di akhir kejayaan spesies manusia, dan kebenaran itu membunuh banyak orang setiap malam dengan dingin. Orang butuh sesuatu untuk merasa hangat lagi.

Jadi, aku berbohong. Begitu juga presiden, dan setiap dokter dan pendeta, bahkan pemimpin peleton dan setiap orang tua di rumah. "Kita akan baik-baik saja." Itulah pesan filmku, dan film-film lainnya yang digarap selama perang ini. Kau sudah dengar tentang film itu? The Hero City?

Tentu saja.

Film hebat, 'kan? Marty yang membuatnya selama pengepungan. Dia sendirian merekam dengan alat apa saja yang bisa ditemukannya. Sungguh karya besar: keberanian, keteguhan, kekuatan, harga diri, kebaikan, dan kehormatan. Film yang membuatmu percaya akan kehebatan ras manusia. Jauh lebih baik dari film lain yang pernah kau lihat. Kau harus menontonnya.

Aku sudah nonton.

Yang mana?

Maaf?

Versi yang mana yang kau tonton?

Aku tidak tahu...

Bahwa ada dua? Penelitianmu harus lebih baik lagi, nak. Marty membuat versi saat perang dan setelahnya. Apakah yang kau tonton durasinya 90 menit?

Sepertinya.

Apakah filmmu itu menunjukkan sisi gelap para pahlawan di The Hero City? Apakah kau menyaksikan kekerasan, pengkhianatan, kekejaman, kebusukan, dan kejahatan luar biasa di hati para "pahlawan" itu? Tentu saja tidak. Itu semua kenyataan, dan itulah yang membuat begitu banyak orang memilih meringkuk, mematikan semua cahaya, dan menarik napas terakhir mereka.

Jadi, Marty memilih menunjukkan sisi yang satu lagi, yang membuat orang-orang bangun dari ranjang setiap pagi, berusaha mengais dan bertarung untuk terus hidup, karena ada yang bilang mereka akan baik-baik saja. Ada satu kata untuk kebohongan seperti itu. Namanya "harapan".

Rabu, 21 Juni 2017

World War Z: Bab V: Amerika di Tengah Perang (part 3)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Wenatchee, Washington

(Senyuman Joe Muhammad sama lebarnya seperti bahunya. Pekerjaannya sehari-hari adalah mengelola bengkel perbaikan sepeda, tetapi waktu luangnya diisi dengan membuat karya seni menakjubkan dari logam leleh. Dia terkenal dengan patung perunggu Neighborhood Security Memorial buatannya di pusat perbelanjaan di Washington D.C. Patung itu menggambarkan dua penduduk kota yang berdampingan, dan salah satunya duduk di kursi roda).

Si orang yang menerima lamaranku sangat gugup. Dia mencoba membujukku. Apakah kau sudah bicara dengan perwakilan NRA? Apakah kau paham tentang pekerjaan sipil di tengah masa perang seperti sekarang? Mulanya aku tidak mengerti maksudnya. Aku sudah punya pekerjaan di pabrik daur ulang. Bukankah itu inti dari Tim Keamanan Lingkungan (NST)? Pekerjaan paruh waktu sukarela yang kau lakukan saat sedang tidak bekerja? Aku mencoba menjelaskan hal ini padanya, siapa tahu ada yang kulewatkan. Ketika dia melayangkan alasan-alasan setengah hati, kulihat matanya melirik cepat ke kursi rodaku.

(Joe adalah penyandang disabilitas).

Kau percaya itu? Kita sedang berhadapan dengan kepunahan massal umat manusia, dan dia masih mencoba sok sopan? Aku tertawa tepat di depan wajahnya. Dia pikir aku datang begitu saja tanpa memahami apa yang diharapkan dariku? Apakah si brengsek itu tidak baca protokol keamanannya? Aku sudah membacanya. Pekerjaan tim NST adalah patroli keliling komplek, menyusuri setiap sisi jalan, dan berhenti untuk memeriksa setiap rumah, Jika seseorang harus masuk karena suatu alasan, dua orang lainnya harus menunggu.

(Dia menunjuk dirinya sendiri)

Ha-lo! Memangnya dia pikir kami mau apa? Kami 'kan tidak perlu melompati pagar dan berlari melintasi halaman belakang rumah orang. Justru zombie yang mendatangi kami. Oke, lantas bagaimana kalau ada lebih banyak zombie yang bisa kami tangani? Kalau aku tidak bisa mendorong kursiku lebih cepat dari zombie yang berjalan, memangnya dia pikir aku masih hidup sampai sekarang? Aku menyampaikan alasanku dengan tenang dan tepat sasaran, dan aku bahkan menantangnya untuk memberi skenario di mana kecacatanku akan menghalangi tugasku.

Dia tidak bisa menjawab. Dia bergumam harus mengecek dulu dengan atasannya, dan aku sebaiknya kembali besok paginya. Aku menolak. Aku bilang padanya dia boleh saja mengecek dengan semua orang mulai dari si atasan sampai si Beruang* sendiri, tetapi aku tidak akan beranjak sampai aku mendapat rompi jinggaku. Aku sampai berteriak, supaya semua orang di ruangan itu dengar. Semua mata memandang ke arahku, lantas ke arahnya. Berhasil. Aku mendapat rompi jinggaku lebih cepat dari semua orang yang datang hari itu.

Seperti kataku, Tim Keamanan Lingkungan berarti patroli keliling komplek pemukiman. Bisa dibilang itu organisasi semi-militer; kami harus belajar di kelas dan ikut macam-macam latihan. Ada pemimpin serta jalur organisasi yang sudah ditentukan, tetapi kami tidak perlu menghormat sambil bilang "Siap, pak!" atau semua sampah itu. Senjata juga tidak ditentukan secara kaku. Kebanyakan senjata untuk pertarungan jarak dekat: parang, pemukul kasti, linggis. Minimal tiga orang di dalam setiap tim harus punya pistol. Aku membawa AMT Lightning, karabin semi-otomatis kecil berkaliber .22. Senjata itu tidak "menendang balik", jadi aku tidak perlu mengunci kursi rodaku dulu sebelum menembak. Senjata yang bagus.

Anggota tim bisa berganti-ganti, tergantung jadwal. Dulu situasinya lumayan kacau, dan tim DeStRes mengatur semuanya. Giliran jaga malam yang paling sulit. Kau lupa betapa gelapnya jalanan ketika semua lampu mati. Di tiap rumah juga hampir tidak ada penerangan. Semua orang tidur cepat ketika malam tiba. Paling-paling beberapa orang menyalakan lilin, dan lampu hanya ada kalau orang itu punya lisensi untuk generator, misalnya jika dia memiliki pekerjaan penting yang harus dilakukan di rumah. Cahaya bulan dan bintang juga sudah tidak ada; terlalu banyak polusi di langit. Kami membawa senter keluaran standar untuk sipil. Dulu baterai masih ada banyak, dan kami menutup ujung senter dengan selotip merah untuk melindungi penglihatan malam.

Kami mendatangi setiap rumah, mengetuk, bertanya apakah semuanya baik-baik saja. Beberapa bulan pertama cukup menegangkan, karena itu masih masa-masa program penempatan awal. Ada banyak sekali orang yang datang dari kamp pengungsian, sehingga setiap minggu selalu ada selusin tetangga atau bahkan rekan serumah baru. Aku tidak pernah menyadari betapa enaknya hidupku sebelum perang, di rumah besarku di pinggiran kota. Kupikir-pikir, apa aku benar-benar butuh rumah seluas tiga ribu kaki persegi dengan tiga kamar tidur, dua kamar mandi, dapur, ruang tengah, ruang santai, dan kantor? Aku tinggal sendirian selama bertahun-tahun, dan tiba-tiba, aku dapat keluarga baru dari Alabama. Mereka berenam muncul begitu saja di pintuku pada suatu pagi, membawa surat dari Departemen Pemukiman. Mulanya itu membuatku risih, tetapi lama-lama aku terbiasa. Aku tidak keberatan tinggal bersama keluarga Shannon. Kami jadi lumayan akrab, dan aku bisa tidur lebih nyenyak karena ada yang berjaga-jaga.

Itu salah satu peraturan baru; di dalam setiap rumah, harus ada yang berjaga di malam hari. Anggota tim kami harus mendata masing-masing orang di tiap rumah, untuk memastikan mereka bukan penyusup atau pencuri. Kami mengecek kartu identitas, memeriksa setiap wajah, bertanya jika segala sesuatunya di sekitar mereka aman. Mereka biasanya bilang semua baik-baik saja, atau melaporkan suara berisik yang harus kami periksa. Pada tahun kedua, ketika arus pengungsi berkurang dan semua orang sudah saling mengenal, kami tidak pernah lagi repot-repot dengan daftar dan kartu identitas. Semuanya terasa lebih tenang. Dibandingkan tahun pertama ketika kepolisian masih dibangun kembali dan zona aman belum ditetapkan....

(Diam untuk efek dramatis)

Saat itu masih banyak rumah kosong, entah ditembaki, dijarah, atau ditinggalkan begitu saja dengan pintu masih terbuka. Kami menaruh pita garis polisi di setiap pintu dan jendela. Jika ada yang terputus, berarti kemungkinan ada zombie di rumah itu. Kami sering mengalaminya. Aku selalu menunggu di depan pintu dengan senapan di tangan. Terkadang ada teriakan, atau suara tembakan. Kadang hanya ada suara erangan dan sesuatu yang diseret, dan beberapa saat kemudian, rekanku keluar dengan senjata tajam yang masih berlumuran darah serta kepala zombie di tangannya.

Aku juga beberapa kali membunuh zombie sendiri. Kadang, ketika rekan-rekanku sedang di dalam rumah, dan aku mengawasi jalan, aku mendengar suara gesekan, napas terengah-engah, atau sesuatu yang menyeret dirinya melewati semak-semak. Aku akan menyenter ke arahnya, memanggil bantuan, lantas menembak. Aku pernah hampir celaka. Kami sedang memeriksa rumah bertingkat ini: empat kamar tidur, empat kamar mandi, dan bagian depannya hampir ambruk karena ada orang yang menerobos ruang tamu dengan mobil Jeep Liberty. Rekan perempuanku ingin buang air, jadi aku menunggu sementara dia pergi ke semak-semak. Aku membuat kesalahan. Aku terlalu fokus pada keadaan di dalam rumah itu. Mendadak ada yang menarik kursi rodaku. Aku mencoba berputar, tetapi ada yang menahan roda kanannya.

Aku memutar badan dan menyorotkan senterku. Ternyata itu dragger, jenis zombie yang kehilangan kedua kakinya. Makhluk itu menggeram dan mencoba memanjat roda. Tetapi kursiku menyelamatkanku, memberiku satu setengah detik yang kubutuhkan untuk meraih senjataku. Seandainya aku berdiri, makhluk itu mungkin sudah mencengkeram kakiku, atau menggigitku. Itu terakhir kalinya aku bertindak ceroboh saat bekerja.

Zombie bukan satu-satunya hal yang harus kuhadapi. Ada penjarah juga, walau mereka sebenarnya bukan penjahat, hanya orang-orang yang perlu bertahan hidup. Sama juga dengan penyusup gelandangan. Berurusan dengan mereka biasanya oke. Kami hanya mengundang mereka masuk, memberi apapun yang mereka butuhkan, sampai petugas yang mengurus pembagian rumah mengambil alih. Tapi ada juga penjarah sungguhan, kelompok penjahat profesional. Itu satu-satunya saat aku terluka sungguhan.

(Joe menurunkan kemejanya, memperlihatkan luka berbentuk bundar seukuran uang koin sepuluh sen.)

Peluru sembilan milimeter, tepat di bahuku. Timku mengejar orang itu sampai ke luar rumah. Aku berteriak menyuruhnya berhenti, dia menolak. Itu satu-satunya saat aku dengan sengaja membunuh manusia lain, untung saja. Ketika hukum yang baru akhirnya ditetapkan, kejahatan-kejahatan seperti itu akhirnya berhenti.

Ada anak-anak liar, para gelandangan kecil yang kehilangan orang tua mereka. Kami menemukan mereka di mana-mana: di ruang bawah tanah, lemari, di bawah tempat tidur. Banyak yang sudah berjalan jauh dari area timur. Keadaan mereka semua parah, kurang gizi dan penyakitan. Beberapa melarikan diri dari kami. Kau tahu, itulah satu-satunya saat aku menyesal karena tidak bisa berlari untuk mengejar mereka. Orang lain yang harus melakukannya. Kadang kami berhasil menangkap mereka, kadang tidak.

Masalah terbesar adalah para quisling.

Quisling?

Ya, kau tahu, manusia-manusia hidup yang jadi gila dan akhirnya bertingkah seperti zombie.

Bisa dijelaskan lagi?

Tapi aku bukan psikiater, jadi aku tidak tahu istilah-istilah teknisnya.

Tidak masalah.

Oke, jadi menurutku, ada tipe orang yang tidak sanggup berurusan dengan situasi lawan-atau-mati. Mereka jadi tertarik pada orang yang membuat mereka takut. Bukannya menghindar, mereka malah berusaha menyenangkan orang itu, bergabung dengannya, atau menjadi seperti dirinya. Kupikir itu yang sering terjadi dalam situasi penculikan, kau tahu, seperti Patty Hearst** dan Sindrom Stockholm***, atau dalam perang ketika orang-orang yang diinvasi menyerah pada pasukan penjajah. Kolaborator, mereka itu, dan seringkali malah lebih sadis daripada orang-orang yang mereka coba tiru. Seperti para fasis Prancis itu yang menjadi tentara terakhir Hitler. Mungkin itu sebabnya kami menyebut mereka quisling*****, seperti bahasa Prancis itu, tapi entah apa.

Masalahnya, kau tidak bisa melakukan itu dalam perang ini. Kau tidak bisa mengangkat tangan begitu saja dan bilang "Jangan bunuh aku, aku di pihakmu". Tidak ada wilayah abu-abu atau kompromi dalam perang melawan zombie, jadi orang-orang ini mungkin tidak bisa menerimanya. Akhirnya mereka jadi gila. Mereka mulai bergerak seperti zombie, bersuara seperti mereka, bahkan menyerang dan mencoba memakan orang lain. Begitulah keadaan orang pertama yang kami temukan. Dia pria usia tiga puluhan. Kotor, kebingungan, berjalan tersaruk-saruk di trotoar. Kami pikir dia cuma shock, sampai dia menggigit lengan salah satu rekanku.

Itu beberapa detik yang sangat menakutkan. Aku menembak kepala pria itu, lalu mendekati rekanku. Dia meringkuk di trotoar, mengumpat, menangis, menatap bekas gigitan di lengannya. Digigit zombie sama saja dengan hukuman mati, dan dia tahu itu. Dia sudah siap bunuh diri, sampai kami melihat darah merah keluar dari kepala orang yang kutembak. Ketika kami mengeceknya, tubuhnya ternyata hangat! Kau harus lihat reaksi rekanku. Tidak setiap hari kita dapat keringanan dari bos besar di atas sana. Ironisnya, rekanku toh tetap hampir mati gara-gara luka itu. Mulut orang yang menggigitnya dipenuhi bakteri, menyebabkan infeksi yang nyaris mematikan.

Kami pikir itu sesuatu yang baru, tapi kondisi tersebut ternyata sudah berlangsung beberapa lama. CDC sudah akan mengumumkannya ke publik, bahkan mengirim tenaga ahli dari Oakland untuk melatih kami seandainya menemukan mereka. Kami benar-benar tercengang mendengarnya. Apakah kau tahu kalau quisling adalah penyebab sebagian orang mengira mereka kebal gigitan zombie? Itu juga alasan mengapa ada semua omong kosong tentang obat ajaib. Coba pikir: ada orang minum Phalanx, digigit, lalu selamat. Memangnya apa lagi yang akan dipikirkannya? Orang itu bahkan mungkin tidak tahu ada makhluk seperti quisling, yang sama ganasnya dengan zombie dan bahkan bisa lebih berbahaya.

Kenapa begitu?

Yah, satu hal: mereka tidak membeku. Oke, mungkin bisa saja kalau dalam waktu lama, tetapi jika dinginnya tidak begitu parah, dan mereka memakai baju yang hangat, mereka akan baik-baik saja. Mereka juga bertambah kuat dari orang-orang yang mereka makan, tidak seperti zombie. Mereka bisa bertahan hidup cukup lama.

Tapi kau bisa membunuh mereka dengan lebih mudah, 'kan?

Ya dan tidak. Kau tidak perlu menembak mereka di kepala, cukup di paru-paru, jantung, atau di mana saja sebenarnya, dan mereka akan mati kehabisan darah. Tetapi jika kau tidak bisa menghentikan mereka hanya dengan satu tembakan, mereka akan terus menyerang sampai mati.

Jadi mereka tidak merasakan sakit?

Ya ampun, tidak. Itu seperti teori pikiran-melampaui-segalanya. Karena terlalu fokus, otakmu jadi lupa segalanya, kurang lebih begitu. Lebih baik kau tanya ahlinya.

Tidak, silakan teruskan.

Oke, nah, jadi itulah sebabnya kami tidak bisa bicara dengan mereka. Tidak ada lagi yang bisa dibicarakan. Mereka bukan zombie, tidak secara fisik, tetapi secara mental sama saja. Tapi secara fisik mereka kadang juga tidak berbeda, terutama jika tubuh mereka sangat kotor, berdarah-darah, atau penyakitan. Zombie biasanya tidak sebau itu, setidaknya kalau sendiri-sendiri dan tubuh mereka masih cukup segar. Bagaimana kau bisa membedakan zombie dengan para peniru yang tubuhnya penuh bengkak? Kau tidak bisa. Apalagi militer tidak memberi kami anjing pelacak atau apalah. Kami harus mengandalkan mata.

Mayat hidup tidak berkedip. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena mereka menggunakan semua indra secara setara, jadi otak mereka tidak begitu mengandalkan penglihatan. Mungkin karena mereka tidak lagi punya cairan tubuh yang cukup untuk membasahi mata. Entahlah. Pokoknya, mereka tidak berkedip, tapi quisling sebaliknya. Begitulah caranya membedakan mereka: kau mundur sedikit, tunggu beberapa detik. Kalau suasananya gelap, semuanya mudah. Sorotkan saja senter ke muka mereka. Jika mata mereka tidak berkedip, tembak.

Kalau mereka berkedip?

Perintah kami adalah menangkap quisling hidup-hidup jika memungkinkan, dan hanya gunakan taktik mematikan jika terdesak. Kedengarannya gila, tapi kami toh berhasil menangkap beberapa, mengikat mereka, lalu menyerahkannya ke polisi atau Garda Nasional. Aku tidak tahu apa yang orang-orang itu lakukan dengan mereka. Aku pernah dengar cerita tentang suatu tempat di Walla-Walla, Washington, semacam penjara di mana para quisling diberi makanan, pakaian, dan perawatan medis. (Joe memutar bola matanya.)

Kau sepertinya tidak setuju.

Hei, aku tidak pernah ke sana. Kalau kau mau tahu, baca koran saja. Setiap tahun, semua orang mulai dari pengacara sampai pendeta dan politisi berlomba melontarkan opini panas untuk menguntungkan sisi mereka sendiri. Secara pribadi, aku tidak peduli. Aku tidak punya sentimen apa-apa terhadap para quisling. Kupikir hal paling menyedihkan dari mereka adalah kenyataan bahwa mereka telah menyerahkan banyak hal, dan tetap kalah pada akhirnya.

Kenapa begitu?

Karena walaupun kita tidak bisa membedakan mereka dari zombie, zombie malah bisa melakukannya. Kau ingat masa-masa awal perang zombie? Tentang strategi yang dilakukan untuk membuat zombie menyerang sesama mereka? Waktu itu, ada "bukti-bukti nyata" tentang pertarungan antar zombie. Ada saksi mata dan bahkan bukti video tentang zombie yang menyerang sesamanya. Bodoh. Itu semua zombie yang menyerang quisling, tapi kau tidak akan tahu kalau hanya melihatnya. Quisling tidak menjerit. Mereka hanya berbaring di tanah, bahkan tidak mencoba melawan. Mereka hanya menggeliat-geliut perlahan seperti robot sementara dimakan hidup-hidup oleh makhluk-makhluk yang mereka coba tirukan.

Baca bagian selanjutnya di sini.

*Beruang (The Bear): nama julukan untuk komandan program NST, diambil dari Perang Teluk I.

**Patty Hearst: cucu perempuan pemilik penerbitan di Amerika Serikat, William Randolph Hearst. Patty diculik dan disandera oleh kelompok teroris sayap kiri di Berkeley pada tahun 1974, tetapi setelah disekap beberapa lama, justru berbalik menjadi pendukung setia kelompok tersebut.

***Sindrom Stockholm: kondisi psikologis di mana orang yang disandera atau diculik berbalik mendukung bahkan mencintai penangkap/penculiknya, sebagai strategi pertahahan diri. Istilah diambil dari peristiwa perampokan bank dan penyanderaan di Stockholm pada tahun 1973, di mana empat pegawai yang disandera justru menolak bersaksi melawan si penyandera, dan bahkan membantu mengumpulkan dana untuknya.

****Vidkun Abraham Lauritz Johnson Quisling dijadikan presiden boneka di Norwegia oleh Nazi pada era Perang Dunia Kedua.

Jumat, 28 April 2017

World War Z: Bab V: Amerika di Tengah Perang (part 2)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Burlington, Vermont

(Musim dingin tiba lebih lambat tahun ini, sama seperti masa setelah perang zombie berakhir. Salju menutupi rumah-rumah dan lahan pertanian, serta membekukan pepohonan yang menaungi jalan setapak di pinggir sungai. Semuanya memancarkan kedamaian, kecuali pria yang berada di sampingku. Dia menyuruhku memanggil dirinya "Si Sinting", karena menurutnya, "Semua orang memanggilku begitu, kenapa kau tidak sekalian?" Langkah-langkahnya cepat dan penuh tekad. Tongkat yang diberikan istri dan dokternya hanya digunakan untuk menebas udara.)

Jujur, aku tidak kaget ketika dinominasikan sebagai wakil presiden. Semua tahu koalisi partai akhirnya akan terjadi. Aku sangat terkenal, tapi itu sebelum aku mulai "menghancurkan diri sendiri". Itu yang mereka bilang, bukan? Para pengecut dan munafik yang memilih mati daripada melihat seseorang yang secara jujur mengungkapkan hasratnya. Memangnya kenapa kalau aku bukan politisi terbaik di dunia? Aku mengatakan apa yang kurasakan, jujur dan jelas. Itulah sebabnya aku pilihan paling logis untuk dijadikan ko-pilot. Kami tim yang hebat; dia cahaya, aku apinya. Partai berbeda, kepribadian berbeda, dan warna kulit berbeda, tentu saja. Aku bukan pilihan pertama, dan aku tahu apa yang diinginkan partaiku, tetapi Amerika masih belum siap untuk hal radikal seperti itu, walau kedengarannya kuno sekali. Mereka lebih suka memilih orang radikal tukang teriak sebagai wakil presiden ketimbang satu lagi yang dari "golongan tersebut". Jadi, aku tidak kaget dengan nominasiku. Aku kaget pada semua yang terjadi setelahnya.

Maksud Anda pemilihan umum?

Pemilihan umum apa? Honolulu masih kacau-balau; tentara, anggota kongres, pengungsi, semuanya berebut tempat tinggal, makanan, atau mencari informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tapi itu bisa dibilang surga dibandingkan dengan daerah Amerika lainnya. Garis pertahanan Pegunungan Rocky masih dibangun, dan semua yang berada di sisi sebelah baratnya sudah jadi zona perang. Untuk apa repot-repot mengadakan pemilu kalau Kongres bisa dengan mudah memperpanjang kuasa atas dasar keadaan darurat? Si jaksa agung pernah mencobanya ketika masih jadi walikota New York, dan hampir berhasil pula. Aku bilang pada presiden bahwa kita sudah tidak punya kekuatan atau sumber daya untuk melakukan apapun soal itu. Kita hanya bisa berusaha mempertahankan diri.

Lalu, apa kata presiden?

Yah, bisa dibilang dia berhasil meyakinkanku yang sebaliknya.

Bisa diperjelas?

Aku bisa, tapi aku akan mengacaukan kata-katanya. Otakku tidak setangguh dulu.

Cobalah.

Kau akan mengeceknya, 'kan?

Aku berjanji.

Yah...waktu itu kami sedang di kantor sementaranya, kamar presidential suite di sebuah hotel. Si presiden baru saja disumpah di dalam pesawat Air Force Two. Bos lamanya tertidur di kamar di sebelah kami. Dari jendela hotel, kami bisa melihat jalanan yang rusuh, kapal-kapal yang mangkrak di pelabuhan, pesawat yang mendarat setiap tiga puluh detik, dan kru landasan yang buru-buru menyingkirkannya untuk memberi tempat bagi pesawat selanjutnya. Aku menunjuk-nunjuk ke semua hal itu, berteriak dan memberi isyarat. "Kita butuh pemerintahan yang stabil!" Aku terus berseru. "Pemilu memang bagus, tapi sekarang bukan saatnya jadi idealis!"

Presiden tetap bersikap tenang, jauh lebih tenang daripada aku. Mungkin karena pelatihan militernya. Dia berkata, "Justru inilah saatnya bersikap idealis. Satu-satunya yang kita miliki sekarang hanyalah idealisme. Kita tidak hanya bertarung untuk keselamatan fisik, namun juga peradaban. Kita tidak punya semua pilar-pilar tangguh zaman kuno. Kita tidak berbagi warisan budaya, dan sejarah kita masih sangat pendek. Kita hanya punya mimpi dan janji yang mengikat kita bersama...(dia berjuang mengingat). Kita hanya punya cita-cita."

Kau dengar? Negara kita ada hanya karena orang-orang percaya padanya, dan jika itu tidak cukup untuk menyelamatkan kita dari krisis, masa depan macam apa yang kita punya? Dia tahu Amerika menginginkan seorang Julius Caesar, tetapi kehadiran orang semacam itu juga berarti akhir dari Amerika. Katanya masa-masa sulit membentuk karakter seseorang, tapi aku tidak percaya. Yang kulihat hanyalah kelemahan dan kebusukan. Mereka yang harusnya bisa menaklukkan tantangan, tetapi entah tidak bisa atau tidak mau. Keserakahan, rasa takut, kebodohan, kebencian. Aku sudah melihat semua itu sebelum perang zombie, dan aku masih melihatnya kini. Tapi bosku orang hebat. Kita beruntung memilikinya.

Masa pemilu menunjukkan pemerintahan macam apa yang akan kita peroleh. Banyak proposal awal si presiden yang kelihatan gila, tetapi setelah dipelajari, kau akan melihat logika tak terbantahkan di baliknya. Coba lihat aturan baru terkait hukuman untuk kejahatan, misalnya. Pasung di tempat umum? Dicambuk di alun-alun? Memangnya kita ini apa? Salem*? Afganistan era Taliban? Kedengarannya memang barbar dan sangat tidak Amerika, sampai kau benar-benar merenungkannya. Apa yang akan kau lakukan dengan penjarah dan pencuri, menaruh mereka di penjara? Siapa yang akan terbantu dengan itu? Kenapa kau menaruh orang-orang bertubuh sehat di dalam penjara supaya orang-orang bertubuh sehat lainnya bisa memberi makan dan mengurus mereka secara gratis? Bukankah hukuman bisa juga digunakan sebagai alat pencegah kejahatan yang efektif?

Ya, tentu saja ada rasa sakit, seperti dari hukuman cambuk, tetapi itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa malunya. Orang takut kalau kejahatan mereka diekspos. Di saat semua orang berusaha saling membantu, melindungi, dan menjaga sesamanya, hal terburuk yang bisa dialami seseorang adalah jika dia diarak ke depan publik dengan tulisan "AKU MENCURI KAYU BAKAR TETANGGAKU" tergantung di dadanya. Rasa malu adalah senjata yang luar biasa, asalkan semua orang lainnya bertindak benar. Tidak ada seorangpun yang kebal hukum. Ketika seorang senator dicambuk di depan umum lima belas kali gara-gara mencoba mengambil keuntungan selama perang, hal itu jauh lebih efektif menekan angka kejahatan daripada menempatkan polisi di setiap sudut jalan.

Masih ada keributan antar geng, tetapi mereka rata-rata residivis, orang-orang yang sudah diberi kesempatan berulang-ulang. Aku ingat si jaksa agung mengusulkan agar mereka dibuang saja ke zona terinfeksi, supaya kami tidak usah direpotkan oleh mereka. Presiden dan aku menolak usul itu, tetapi keberatanku lebih ke praktis, sementara si presiden lebih ke etis. Kami masih bicara soal Amerika, yang mungkin terinfeksi zombie, tapi kami harap akan bebas suatu hari nanti. Katanya, "Hal terakhir yang kita perlukan saat ini adalah melawan bekas narapidana yang menyatakan dirinya Panglima Perang Duluth**."

Kukira dia bercanda, tetapi ketika aku melihat hal itu terjadi di negara lain, di mana penjahat-penjahat yang diasingkan justru menjadi pemimpin kerajaan kecil mereka sendiri, aku baru menyadari bahwa kami sudah berhasil menghindari hal terburuk. Para geng selalu menjadi masalah untuk kami baik dalam politik, sosial, maupun ekonomi, tetapi pilihan apa yang kami punya untuk mengurus orang-orang yang menolak berlaku baik?

Tetapi hukuman mati tetap ada.

Hanya untuk kasus-kasus ekstrem: penghasutan, sabotase, upaya pembelotan. Zombie bukan satu-satunya musuh kita, kau tahu.

Bagaimana dengan kaum fundamentalis?

Tentu saja ada kaum religius fundamentalis. Negara mana yang tidak punya? Malah banyak yang percaya bahwa apa yang kami lakukan sebenarnya melawan kehendak Tuhan. (Dia tertawa) Maaf, harusnya aku belajar untuk lebih sensitif. Mereka mendapat jatah liputan pers yang jauh lebih banyak daripada yang pantas mereka dapatkan, semuanya karena orang gila itu yang mencoba membunuh presiden. Kenyataannya, mereka jauh lebih berbahaya untuk diri mereka sendiri. Kau tahu, semua bunuh diri masal itu, lalu pembunuhan anak-anak di Medords atas dasar "belas kasihan". Mengerikan. 

Sama juga seperti para "Greenies," versi golongan kiri dari kaum fundamentalis. Mereka percaya bahwa, karena mayat hidup hanya memakan manusia dan hewan tetapi tidak tumbuhan, itu adalah kehendak "Dewi yang Agung", yang memihak tumbuhan ketimbang hewan. Mereka menimbulkan sedikit masalah: menuangkan pembasmi gulma di penampungan air minum, membuat jebakan di pohon supaya kami tidak bisa menebang mereka untuk pembangunan. Terorisme lingkungan menguasai tajuk berita, tetapi tidak begitu mengancam keamanan nasional.

Para "Reb", kaum pemberontak, yang paling berbahaya: bersenjata dan terorganisir secara politis. Satu-satunya yang bisa membuat presiden terlihat khawatir. Tapi dia tidak pernah kelepasan menunjukkannya, tidak dengan topeng diplomatisnya itu. Di depan umum, presiden menganggapnya hanya sebagai masalah biasa, seperti penjatahan makanan dan perbaikan jalan. Di kesempatan pribadi, dia akan bilang, "Mereka harus dimusnahkan secara cepat, tegas, dan dengan cara apapun." Yang dia maksud dengan "mereka" tentu saja para pemberontak yang berada di zona aman di sebelah barat. Orang-orang ini entah bermasalah dengan hukum yang baru, atau memang sudah berencana memberontak sejak lama dan memanfaatkan krisis zombie sebagai kesempatan. Merekalah musuh negara sebenarnya, teroris domestik. Kami bahkan tidak perlu berpikir dua kali untuk menyingkirkan mereka.

Tapi, para pemberontak di sebelah timur Pegunungan Rocky...mereka agak "rumit".

Kenapa?

Kata mereka, "Kami tidak meninggalkan Amerika. Amerika yang meninggalkan kami". Itu banyak benarnya. Kami mengabaikan mereka. Ya, kami meninggalkan sukarelawan dari Pasukan Khusus, mengirimi mereka bantuan dari laut dan udara, tetapi dari segi moral, orang-orang ini jelas terabaikan. Aku tidak bisa menyalahkan mereka kalau mereka ingin menempuh jalan sendiri. Itulah sebabnya kami mulai mengklaim kembali teritori yang telah hilang, supaya para pemberontak itu bisa bergabung dengan damai.

Tetapi tetap ada kekerasan.

Ya, aku masih mimpi buruk soal tempat-tempat seperti Bolivar dan Black Hills. Aku memang tidak pernah melihat langsung kejadiannya, kekejamannya, atau sisa-sisanya. Tapi aku melihat bosku, pria tinggi yang teguh dan penuh vitalitas, menjadi semakin kurus dan lesu. Dia sudah bertahan hidup dan menanggung beban yang berat. Kau tahu kalau dia tidak pernah sekalipun mencari tahu soal kabar kerabatnya di Jamaika? Dia bahkan tidak pernah bertanya. Dia begitu fokus untuk membangun kembali negara kita, begitu teguh berpegang pada mimpi itu. Aku tidak pernah tahu apakah masa-masa sulit benar-benar membentuk karakter seseorang. Yang aku tahu, itu bisa membunuh mereka.

Baca bagian selanjutnya di sini.


*Kota Salem di Massachusetts terkenal karena sejarah gelap pembantaian orang-orang yang dituduh penyihir antara tahun 1692 dan 1983.

**Duluth: nama kota pelabuhan di Minnesota.


Rabu, 15 Februari 2017

World War Z: Bab V: Amerika di Tengah Perang (part 1)

Baca bab sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Taos, New Mexico

(Arthur Sinclair, Jr. adalah gambaran sosok ningrat masa lalu: tinggi, ramping, berambut putih pendek yang rapi, dan aksennya membuatnya terdengar seperti lulusan Harvard. Dia berbicara sambil menatap langit, jarang membuat kontak mata atau berhenti untuk bertanya. Selama masa perang, Tuan Sinclair adalah direktur DeStRes, Departemen Sumber Daya Strategis, yang baru saja dibentuk oleh pemerintah Amerika Serikat.)

Entah siapa yang punya ide membuat singkatan "DeStRes." Aku tidak tahu apakah mereka sadar bahwa singkatan itu terdengar seperti "distress" (kepanikan), tapi kedengarannya memang cocok. Secara teori, menetapkan jalur pertahanan seperti yang ada di Pegunungan Rocky mungkin bisa menciptakan "zona aman," tapi kenyataannya, zona aman itu isinya hanya reruntuhan dan pengungsi. Jutaan orang menjadi gelandangan, terserang penyakit dan kelaparan. Industri berantakan, transportasi dan perdagangan musnah, dan semua ini diperparah dengan mayat hidup yang berkerumun di sepanjang garis pegunungan dan mengancam zona aman kami. Kami harus menyokong orang-orang; memberi makan, pakaian, rumah, dan pekerjaan. Jika tidak, zona aman ini hanya menunda hal buruk yang tak terhindarkan. Itulah sebabnya DeStRes didirikan, dan seperti yang kau duga, aku harus memberi banyak sekali pelatihan.

Bulan-bulan pertama itu...kau tidak bisa membayangkan betapa banyak informasi yang harus kujejalkan ke otak tua berkaratku ini. Semua ceramah, inspeksi keliling...kalaupun aku sempat tidur, biasanya ada buku di bawah bantalku. Bukunya selalu berbeda, mulai dari tentang Henry J. Kaiser* hingga Vo Nguyen Giap.** Aku membutuhkan setiap ide, setiap kata, setiap ons pengetahuan dan kebijaksanaan untuk membantuku menyatukan tanah yang tercerai-berai ini menjadi mesin perang Amerika modern. Seandainya ayahku masih hidup, dia mungkin akan geli melihat rasa frustrasiku. Ayahku dulu bekerja sama dengan Franklin D. Roosevelt sebagai pengawas keuangan di New York. Dia menggunakan berbagai metode yang sifatnya nyaris Marxis; jenis upaya kolektivisme yang akan membuat Ayn Rand*** melompat dari kuburannya dan bergabung dengan para zombie. Aku selalu menolak berbagai pelajaran yang dia berikan, dan aku bahkan lari ke Wall Street untuk menghentikannya. Tetapi, satu hal yang golongan ayahku pandai lakukan adalah menemukan alat dan bakat yang tepat.

Alat dan bakat?

Itu istilah yang anakku pernah dengar dari sebuah film. Kupikir itu cocok dengan rencana konstruksi kami. "Bakat" maksudnya adalah tenaga kerja potensial, tingkat keahliannya, serta bagaimana keahlian tersebut bisa bermanfaat. Jujur, tenaga kerja potensial kami sedikit sekali. Sistem ekonomi modern kita adalah model pasca industri atau berbasis layanan jasa; begitu rumit dan terspesifikasi sehingga setiap individu hanya bisa berfungsi dalam ruang lingkup yang sangat sempit. Coba kau lihat daftar potensi "karir" yang terdaftar dalam data sensus pertama kami! Semua orang pekerjaannya serba "eksekutif," "perwakilan," atau "analis." Semua itu cocok untuk negara di masa damai, tetapi tidak di masa krisis. Kami butuh tukang kayu, tukang batu, mekanik, perakit senjata. Tentu saja kami punya tenaga kerja semacam itu, tetapi tidak sebanyak yang kami inginkan. Survei tenaga kerja pertama kami mencatat bahwa 65 persen tenaga kerja sipil baru kami masuk dalam kategori F-6: tidak memiliki keahlian dasar. Kami membutuhkan pelatihan kerja besar-besaran. Dengan kata lain, kami akan membuat para pekerja kerah putih berkotor-kotor.

Prosesnya lambat sekali. Transportasi udara tidak tersedia, jalan raya dan rel kereta api kacau balau, dan bahan bakar...ya Tuhan, kau tidak bisa menemukan bensin di sepanjang Blaine, Washington, dan Imperial Beach, California. Belum lagi fakta bahwa Amerika sebelum perang memiliki sistem transportasi berbasis komuter, yang kemudian menciptakan kesenjangan ekonomi. Ada lingkungan suburban berisi kaum profesional kelas menengah yang orang-orangnya bahkan tidak bisa membetulkan jendela rumah mereka sendiri kalau pecah. Mereka yang punya keahlian praktis semacam itu justru tinggal di lingkungan kumuh kaum kerah biru, satu jam dari jalan raya, yang berarti mereka harus jalan kaki seharian. Jangan salah, jalan kaki adalah cara utama kami melakukan perjalanan di masa-masa awal.

Masalah--bukan, tantangan--pertama yang kami hadapi adalah kamp-kamp pengungsi. Jumlah mereka ratusan; ada yang seluas lapangan parkir, ada yang membentang bermil-mil jauhnya di sepanjang jalur pegunungan dan pesisir, dan semuanya membutuhkan bantuan pemerintah. Tugas utama kami yang pertama adalah mengosongkan kamp-kamp tersebut. Semua orang yang berstatus F-6 tetapi masih kuat secara fisik menjadi tenaga kerja tak terlatih: mereka membersihkan reruntuhan, memanen tanaman pangan, menggali kuburan. Ada banyak sekali kuburan yang harus digali. Semua yang berstatus A-1, mereka yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, menjadi bagian dari CSSP atau Program Kemandirian Komunitas. Sekelompok instruktur akan bertugas mendidik para mantan pekerja kantor berpendidikan yang kebanyakan duduk supaya mereka menguasai keahlian hidup yang penting.

Program itu sukses besar. Hanya dalam tiga bulan, kami melihat penurunan drastis permintaan bantuan pemerintah. Aku tidak bisa menjelaskan betapa pentingnya hal ini bagi kemenangan kita. Program itu membantu kita semua bergerak dari ekonomi berbasis pertahanan diri dengan produksi nol ke ekonomi kuat dengan produksi penuh untuk masa perang. Inilah cikal bakal Undang-Undang Reedukasi Nasional, program pelatihan kerja terbesar sejak Perang Dunia Kedua, dan bisa dibilang yang paling radikal dalam sejarah modern kita.

Katamu sempat ada sedikit masalah...

Aku baru mau cerita, Jadi, presiden memberiku kebebasan untuk menghadapi semua tantangan fisik dan logistik. Sayangnya, ada sesuatu yang dia atau siapapun di dunia ini tidak bisa berikan, yaitu kemampuan untuk mengubah pola pikir masyarakat. Seperti kataku, dulu ada kesenjangan di antara tenaga kerja Amerika, dan faktor budaya juga bermain di dalamnya. Kebanyakan instruktur kami adalah kaum imigran generasi pertama. Merekalah orang-orang yang tahu cara mengurus diri sendiri, dan bertahan hidup dengan apa yang mereka punya. Tipe orang-orang yang punya kebun sayuran kecil di halaman belakang, memperbaiki rumah mereka sendiri, dan berusaha supaya alat-alat rumah tangga mereka bisa dipakai selama mungkin. Sangat penting bagi mereka untuk mengajari kami keluar dari jebakan kehidupan konsumtif yang nyaman, walaupun dulu mereka juga yang bekerja keras supaya kami bisa hidup enak.

Ya, rasisme memang ada, tapi begitu juga dengan perbedaan kelas. Bayangkan dirimu pengacara korporat kelas atas. Kau menghabiskan hidupmu mempelajari berbagai kontrak, menengahi perjanjian, menelepon sana-sini. Itulah keahlianmu. Itulah yang membuatmu jadi kaya dan mampu menyewa orang untuk memperbaiki toiletmu kalau rusak, supaya kau bisa terus menelepon tanpa terganggu. Makin banyak hal yang kau kerjakan, makin banyak uangmu, dan makin banyak juga orang yang kau sewa untuk memberimu lebih banyak waktu supaya kau bisa terus bekerja. Begitulah cara kerja dunia. Sekarang bayangkan semua itu berakhir. Tidak ada lagi orang yang perlu kontraknya dipelajari, tetapi toilet yang harus diperbaiki tetap ada. Semua pekerjamu sekarang jadi gurumu, bahkan mungkin bosmu. Bagi sebagian orang, itu lebih menakutkan daripada mayat hidup.

Suatu hari, ketika aku meninjau ke LA, aku duduk di bagian belakang kelas pendidikan ulang. Para siswanya semua dari golongan kelas atas di dunia hiburan: agen, manajer, gerombolan "eksekutif bidang kreatif," apapun itu maksudnya. Aku bisa paham kesombongan dan kengototan mereka. Sebelum perang zombie, dunia hiburan adalah industri paling bernilai di Amerika Serikat. Sekarang orang-orang tersebut dilatih untuk menjadi pekerja di pabrik perakitan alat tempur di Bakersfield, California. Seorang wanita yang pernah menjadi direktur audisi marah-marah. Beraninya mereka memperlakukan dirinya seperti itu! Dia punya gelar Master di bidang Teater Konseptual, dia bertanggung jawab memilih pemeran tiga serial komedi situasi terlaris sepanjang lima musim penayangan mereka, dan dia mendapat uang lebih banyak daripada instrukturnya dalam seminggu! Dia bahkan terus memanggil instrukturnya dengan nama depannya. "Magda," dia terus berkata. "Magda, cukup, Magda." Mulanya kukira wanita itu hanya bersikap kasar. Belakangan aku baru tahu bahwa Nyonya Magda Antonova pernah menjadi tukang bersih-bersihnya.

Ya, situasi itu sulit bagi sebagian orang. Tetapi banyak dari mereka yang kemudian mengaku mendapat kepuasan emosional lebih banyak daripada saat masih memiliki pekerjaan lama mereka. Aku mengobrol dengan pria ini saat kami sedang di atas feri yang berlayar dari Portland ke Seattle. Dia dulu bekerja di departemen lisensi di sebuah agen periklanan. Pekerjaannya mengurus permohonan izin untuk menggunakan lagu-lagu rock klasik untuk iklan televisi. Sekarang dia membersihkan cerobong asap. Karena banyak rumah di Seattle tidak lagi memiliki sistem pemanas ruangan sementara musim dingin semakin panjang, dia jarang menganggur. "Aku membuat orang-orang jadi hangat," ujarnya bangga.

Aku tahu kedengarannya Norwan Rockwell**** sekali, tetapi aku sering mendengar kalimat seperti itu. "Kau lihat sepatu itu? Aku yang membuatnya." "Sweater itu dari bulu dombaku." "Jagungnya enak? Itu dari kebunku." Itulah keuntungan sistem lokal ini. Orang-orang jadi bisa melihat hasil kerja mereka. Ada kebanggan pribadi ketika mereka tahu mereka memberi kontribusi jelas pada kemenangan kami, dan itu juga membuatku bangga. Aku membutuhkan perasaan itu supaya tetap waras untuk melakukan pekerjaanku yang lainnya.

Itu tadi soal "bakat." "Alat" adalah senjata untuk menghadapi perang, dan itu termasuk aspek industri dan logistik yang memungkinkan senjata-senjata tersebut dirakit.

(Dia berputar di kursinya dan menunjuk ke foto berbingkai di mejanya. Ketika aku melihat lebih dekat, ternyata itu bukan foto, tetapi label.)

Bahan-bahan:

Molase dari Amerika Serikat

Adas manis dari Spanyol

Licorice dari Prancis

Vanili (bourbon) dari Madagaskar

Kayu manis dari Sri Lanka

Cengkih dari Indonesia

Wintergreen dari Cina

Minyak beri Pimento dari Jamaika

Minyak balsa dari Peru

Itu semua baru bahan-bahan untuk membuat root beer. Kita bahkan belum bicara soal membuat benda-benda seperti komputer, atau pesawat pengangkut bertenaga nuklir. Coba kau tanya siapa saja soal bagaimana pasukan Sekutu memenangkan Perang Dunia Kedua. Mereka yang kurang pengetahuan biasanya akan merujuk ke jumlah pasukan dan kualitas kepemimpinan, atau keajaiban teknologi seperti radar dan bom atom.

(Dia mendengus)

Siapapun yang punya sedikit saja pengetahuan pasti akan menyebut tiga hal: pertama, kemampuan untuk membuat lebih banyak material, sehingga mereka punya lebih banyak peluru, makanan dan perban ketimbang musuh. Kedua, adanya sumber daya alam yang memungkinkan benda-benda tersebut dibuat. Ketiga, adanya sistem logistik yang bukan hanya memungkinkan sumber daya tersebut diangkut ke pabrik, melainkan juga membawa produk yang sudah jadi ke garis depan.

Pasukan Sekutu punya sumber daya, logistik, dan industri yang menyamai seluruh planet. Sebaliknya, Pasukan Poros harus bergantung pada apa yang bisa mereka kais dari perbatasan mereka. Kali ini, kita adalah Pasukan Poros. Para zombie mengendalikan sebagian besar wilayah dunia, tetapi daya produksi Amerika bergantung pada apa yang bisa diambil di area terbatas di Barat. Lupakan saja soal material dari zona-zona aman di luar negeri; kapal-kapal dagang kita semua sudah penuh dengan pengungsi, dan keterbatasan bahan bakar membuat Angkatan Laut Amerika mangkrak.

Kita punya beberapa keunggulan. Industri pertanian California setidaknya bisa mengatasi problem kelaparan, seandainya bisa direstrukturisasi. Tetapi, para petani jeruk dan peternak di sana mulanya menolak keras. Para bos ternak sapi yang mengendalikan sebagian besar industri peternakan di sana adalah yang terburuk. Pernah dengar Don Hill? Pernah nonton filmnya Roy Elliott tentang orang itu? Ketika wabah zombie menyerang Lembah San Joaquin, para zombie menerobos pagarnya dan mencabik sapi-sapinya, seperti semut penyerang Afrika. Bajingan itu berdiri di tengah-tengah mereka, berteriak-teriak sambil menembak kesana-kemari seperti Gregory Peck di Duel in the Sun.

Aku berdiskusi dengannya tanpa basa-basi. Aku memberinya pilihan. Aku bilang padanya musim dingin akan datang, dan masih banyak zombie di luar sana. Jika para pengungsi kelaparan menyerbu tempatnya dan menghabiskan apa yang disisakan oleh zombie, dia tidak akan mendapat bantuan pemerintah. Hill mungkin bajingan, tetapi dia tidak bodoh. Dia bersedia menyerahkan lahan dan ternaknya, dengan syarat bahwa hewan-hewan ternak biaknya tidak disentuh. Sepakat.

Daging steik yang tebal dan empuk. Bisakah kau bayangkan standar kehidupan mewah yang lebih baik dari itu di masa sebelum perang? Hal itu ternyata menjadi keuntungan kedua kami di masa perang. Satu-satunya cara kami bisa terus mendapat pasokan material adalah daur ulang, tapi ini tidak aneh. Israel sudah melakukannya ketika mereka mulai menutup perbatasan, dan negara-negara lain mengadopsi strategi mereka dengan cara tertentu. Tetapi, pasokan mereka tidak bisa menandingi apa yang kami punya. Coba bayangkan kehidupan di Amerika sebelum perang. Semua hal yang dimiliki kaum kelas menengah, hal-hal yang kita nikmati tanpa berpikir; standar kemewahan yang jarang ada di bagian lain dunia. Pakaian, alat dapur, barang elektronik, mobil. Jutaan mobil yang menempati setiap rumah.

Kami punya industri yang khusus mempekerjakan ratusan ribu orang untuk bekerja dalam tiga shift, tujuh hari seminggu. Mereka mengumpulkan, mendata, membongkar, menyimpan, dan mengirim suku cadang, barang serta komponen ke semua penjuru. Memang ada sedikit masalah, seperti para peternak sapi yang tadi, atau orang-orang yang tidak mau menyerahkan Hummer atau mobil Italia klasik lambang krisis paruh baya mereka. Lucu, padahal bensin sudah tidak ada, tetapi mereka masih ngotot mempertahankan mobil-mobil itu. Tapi itu bukan masalah. Mereka masih lebih gampang ditangani dibandingkan dengan institusi militer.

Dari semua tantangan yang harus kuhadapi, yang paling sulit adalah orang-orang berseragam. Karena semua program mereka didukung oleh kontraktor sipil, dan para kontraktor ini bergantung pada sumber daya dari tim DeStRes, aku mendapat kendali penuh. "Kau tidak bisa melucuti pesawat Stealth kami," keluh mereka. "Pikirmu kau siapa berani menghentikan produksi tank kami?"

Mulanya, aku mencoba memberi jawaban rasional. "Tank M-1 Abrams punya mesin jet. Pikirmu dari mana kalian bisa mendapat bahan bakar itu sekarang? Dan kenapa kalian butuh pesawat Stealth untuk melawan musuh yang tidak terdeteksi radar?" Aku mencoba menunjukkan keterbatasan kami pada mereka. Intinya, kami harus mendapat hasil semaksimal mungkin dari investasi ini. Tetapi mereka benar-benar menyebalkan; sepanjang hari sok menelepon, atau berkali-kali muncul di kantorku tanpa pengumuman. Aku tak bisa menyalahkan mereka, tidak setelah apa yang kita semua katakan tentang mereka setelah perang, terutama setelah mereka kalah habis-habisan di Perang Yonkers. Mereka sudah nyaris ambruk, jadi mereka butuh tempat pelampiasan.

(Dia menyeringai penuh percaya diri.)

Aku memulai karirku di pasar saham NYSE, jadi aku juga bisa membentak-bentak keras dan lama seperti sersan. Setiap kali selesai "pertemuan," aku selalu menduga akan mendapat telepon seperti ini: "Tuan Sinclair? Ini Presiden. Terima kasih atas semua jasa Anda. Kami tidak lagi membutuhkan...."

(Dia tertawa lagi)

Itu tidak pernah terjadi. Kupikir karena tidak seorangpun menginginkan pekerjaanku.

(Senyumnya perlahan menghilang)

Bukannya aku tidak pernah melakukan kesalahan. Aku terlalu pelit terhadap Korps D Angkatan Udara. Aku tidak memahami protokol keselamatan mereka, dan tidak tahu apa-apa soal pesawat dirigible.***** Aku hanya tahu persediaan helium kami sudah menipis; satu-satunya yang kami punya dalam jumlah melimpah hanya hidrogen, dan aku tidak mau memboroskannya untuk menciptakan sekelompok bencana Hindenburg modern. Aku juga harus dibujuk oleh presiden untuk membuka kembali proyek fusi dingin eksperimental di Livermore. Menurutnya, walaupun hasilnya mungkin baru akan terlihat beberapa dekade lagi, merencanakan masa depan akan meyakinkan orang bahwa masa depan itu memang ada. Ya, terkadang aku terlalu konservatif dalam satu proyek, dan terlalu liberal dalam proyek lainnya.

Tetapi Proyek Yellow Jacket...aku masih mengutuki diriku sendiri sampai sekarang. Bedebah-bedebah Silicon Valley itu, yang katanya jenius di bidangnya, meyakinkanku bahwa mereka punya "senjata ajaib" yang dapat memenangkan perang 48 jam setelah diluncurkan. Katanya mereka bisa membuat jutaan misil mikro, seukuran peluru kaliber .22, yang bisa disebarkan lewat udara dan dikendalikan dengan satelit untuk meledakkan otak setiap zombie di Amerika Utara. Kedengarannya hebat, ya? Dulu kupikir juga begitu.

(Dia menggerutu pelan)

Kalau aku membayangkan apa saja yang sudah kami kerahkan sia-sia, apa yang seharusnya bisa kami lakukan...ah, tapi tidak ada gunanya menyesalinya sekarang.

Aku bisa saja berhadapan langsung dengan para petinggi militer selama perang, tapi untungnya, aku tidak perlu melakukannya. Ketika Travis D'Ambrosia menjadi direktur kepemimpinan gabungan, dia bukan hanya menemukan perbandingan tepat antara sumber daya dan penyerangan, tetapi juga strategi utuh untuk mengaplikasikannya. Aku selalu mendengarkan setiap kali dia bilang bahwa beberapa jenis persenjataan memegang peranan penting. Aku percaya pada opininya dalam hal-hal seperti soal seragam tentara atau senapan serbu standar.

Aku juga takjub dengan semakin menyebarnya kultur ini di kalangan prajurit. Para prajurit sering mengobrol di jalan, bar atau gerbong kereta, membicarakan hal-hal seperti: "Kenapa harus pakai senjata X kalau dengan biaya yang sama kita sudah bisa mendapat sepuluh Y, yang bisa membunuh zombie sama banyaknya dengan Z..." Mereka bahkan mulai mengutarakan ide-ide mereka sendiri, dan menemukan strategi tempur yang lebih efisien ketimbang yang bisa kami bayangkan. Kurasa mereka menikmatinya. Berimprovisasi, beradaptasi, dan menyaingi cara berpikir para birokrat. Para marinir yang paling membuatku kaget. Padahal dulu aku selalu percaya mitos tentang marinir-marinir bodoh berangasan, seperti manusia purba kelebihan testosteron. Aku tidak pernah tahu itu, karena selama ini korps militer harus memesan berbagai asetnya lewat Angkatan Laut, dan karena para admiral tidak pernah terlalu direpotkan dengan perang darat, kemampuan berimprovisasi pasti selalu menjadi salah satu aset berharga mereka.

(Sinclair menunjuk ke dinding di belakangku, tepat di atas kepalaku. Di sana tergantung sebilah tongkat baja yang ujungnya seperti gabungan antara sekop dan kapak perang bersisi dua. Nama resminya adalah Perkakas Parit Standar Infantri, tetapi kebanyakan orang menyebutnya "alat lobotomi" atau "Lobo.")

Para marinir yang punya ide membuat itu dari bekas rangka mobil. Kami sudah membuat 23 juta benda itu selama perang.

(Dia tersenyum bangga)

Kami masih membuatnya sampai sekarang.


Baca bagian selanjutnya di sini.


*Henry J. Kaiser: industrialis dan pengusaha Amerika di awal abad ke-20 yang terkenal sebagai Bapak Industri Kapal Modern.

**Vo Nguyen Giap: jenderal Vietnam People's Army dan politisi yang dikenal sebagai salah satu pakar strategi militer terhebat di dunia.

***Ayn Rand: penulis dan filsuf modern yang menganut paham Obyektivisme; paham yang mementingkan rasionalitas dan kepentingan diri di atas emosi dan altruisme.

****Norman Rockwell: pelukis dan ilustrator Amerika di awal abad ke-20 yang terkenal dengan karya-karya ikonik bertema Amerika, mulai dari lukisan patriotik hingga fenomena sosial seperti rasisme.

*****Dirigible: tipe kendaraan udara berupa balon untuk keperluan militer.

Senin, 12 Desember 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 5)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Istana Danau Udaipur, Danau Pichola, Rajashtan, India

(Dengan struktur yang nyaris memenuhi seluruh permukaan Pulau Jagniwas, bangunan terpencil mirip istana dongeng ini dulunya merupakan kediaman maharaja, sebelum menjadi hotel mewah, dan akhirnya tempat bernaung bagi ratusan pengungsi, hingga wabah kolera membunuh mereka semua. Di bawah pengawasan si Manajer Proyek, Sardar Khan, hotel ini dan daerah di sekitarnya perlahan hidup kembali. Ketika mengenang pengalaman masa lalunya, Tuan Khan tidak terdengar seperti insinyur sipil cemerlang yang ditempa peperangan; dia lebih seperti kopral muda ketakutan yang terjebak kekacauan di tengah jalur pegunungan.)

Aku ingat melihat ratusan monyet memanjat dan melompati deretan mobil, bahkan kepala-kepala orang. Aku melihat mereka hingga sejauh Chandigarh, melompat-lompat di atas atap dan balkon ketika mayat hidup memenuhi jalanan. Aku ingat melihat mereka berlarian, memekik-mekik, berhamburan memanjat tiang-tiang telepon untuk meloloskan diri dari cengkeraman zombie. Dan mereka akhirnya tiba di posisiku waktu itu; di jalur sempit untuk ternak kambing di Pegunungan Himalaya. Memang itu sebuah "jalan," tetapi bahkan di masa-masa damai, jalan itu bisa menjadi jebakan kematian. Ribuan pengungsi berjejal-jejal di sana, bahkan memanjat melewati mobil-mobil yang mogok.

Orang-orang berjuang mengangkut koper-koper dan kotak-kotak kardus. Seorang pria bahkan ngotot menenteng sebuah monitor komputer. Seekor monyet hinggap di kepalanya, maksudnya mau menjadikannya pijakan, tetapi pria itu terlalu dekat ke bibir jurang, dan mereka berdua pun jatuh bersama. Sepertinya selalu ada yang jatuh setiap detik; ada terlalu banyak orang di sana, padahal jalan itu bahkan tidak punya pagar pengaman. Aku melihat sebuah bus yang penuh sesak terguling ke jurang. Aku tak tahu kenapa, padahal bus itu bahkan tidak bergerak. Para penumpangnya berusaha keluar dari jendela karena pintunya terhalang arus pejalan kaki. Seorang wanita sudah separuh keluar dari jendela ketika bus itu terguling. Ada sesuatu di antara lengannya...sesuatu yang dipeluk erat-erat. Aku berusaha memberitahu diriku bahwa benda itu tidak bergerak, tidak menangis, mungkin cuma baju. Tak ada seorangpun menolongnya. Tak ada yang menoleh; mereka hanya terus berjalan. Terkadang aku bermimpi, dan dalam mimpiku, aku tak bisa membedakan antara mereka dan barisan monyet.

Aku seharusnya tak ada di sana. Aku bahkan bukan insinyur perang. Aku bekerja bersama BRO.* Pekerjaanku membangun jalan, bukan meledakkan mereka. Aku sedang berkeliling di area perakitan di Shimla, berusaha menemukan sisa-sisa unitku, ketika insinyur ini, Sersan Mukherjee, menggamit lenganku dan berkata, "Kau, prajurit, kau bisa menyetir?"

Kurasa aku tergagap-gagap mengiyakan, dan mendadak dia sudah mendorongku ke sisi pengemudi sebuah mobil jip, sebelum dia sendiri melompat duduk di sampingku dengan alat semacam radio di pangkuannya. "Ke jalan gunung! Cepat! Cepat!" Aku segera ngebut, mengepot sana-sini, dengan susah-payah mencoba menjelaskan bahwa aku biasanya hanya mengemudikan perata aspal, dan bahkan belum punya kualifikasi penuh untuk itu. Mukherjee tidak mendengarkan. Dia terlalu sibuk mengutak-atik alat di pangkuannya. "Semua sudah disiapkan," katanya. "Kita tinggal menunggu perintah."

"Apanya yang sudah siap?" Tanyaku. "Perintah apa?"

"Meledakkan jalan, goblok!" Teriaknya, menunjuk alat di pangkuannya yang ternyata sebuah detonator. "Bagaimana lagi kita bisa menghentikan mereka!?"

Aku samar-samar sebenarnya tahu bahwa misi kami di Himalaya berkaitan dengan semacam rencana besar, dan itu termasuk menutup jalan agar mayat hidup tidak bisa lewat. Aku tak tahu bahwa aku akan memegang peranan utama di dalamnya! Demi kesopanan, aku tak akan mengulang rangkaian caci-maki yang kulontarkan pada Mukherjee, serta balasannya yang tak kalah kasar saat kami tiba di jalan gunung dan melihatnya penuh sesak oleh pengungsi.

"Jalan ini harusnya sudah bersih!" Teriaknya padaku. "Seharusnya tak ada lagi pengungsi!" Kami melihat seorang prajurit Rashtriya Rifles,** yang seharusnya menjaga jalan masuk, berlari melewati kami. Mukherjee segera melompat menangkap pria itu. "Apa-apaan ini!?" Teriaknya. Mukherjee pria yang besar dan tangguh, dan saat itu dia sedang marah. "Kau seharusnya menjaga agar jalan ini bersih!"

Prajurit itu kelihatan marah dan takut sekaligus. "Kau mau menembak nenekmu sendiri? Silakan saja!" Dia mendorong sang sersan dan kembali berlari.

Mukherjee menyalakan radionya dan melaporkan bahwa jalan itu masih penuh. Terdengar suara balasan; suara bernada tinggi yang panik dari seorang letnan muda, berseru bahwa perintahnya adalah meledakkan jalan, tidak peduli berapa banyak orang yang masih ada di sana. Mukherjee membalas dengan marah bahwa mereka harus menunggu sampai jalan bersih. Jika kami meledakkan jalan sekarang, kami bukan hanya akan mengirim lusinan orang ke dasar jurang, tetapi juga memerangkap ribuan lainnya di sisi jalan yang lain. Suara balasan di ujung satunya berteriak bahwa jalan tak akan pernah bersih, dan yang ada di belakang orang-orang itu adalah entah berapa juta zombie. Mukherjee membalas bahwa dia hanya akan meledakkan jalan jika zombie-zombie itu sudah muncul, bukan sebelumnya. Dia tak akan mau melakukan pembunuhan masal hanya karena letnan yang sewot...

Mukherjee mendadak berhenti berbicara dan memandang ke arah di belakangku. Aku berputar, dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Jenderal Raj-Singh. Aku tak tahu kapan dia datang dan mengapa dia ada di tempat itu...sampai saat ini, banyak orang masih tak percaya padaku. Tapi aku jujur. Aku benar-benar pernah berdiri berdekatan dengan si Macan Delhi! Katanya orang cenderung memandang sosok yang dihormati seolah sosok tersebut lebih besar secara fisik. Dalam benakku saat itu, dia bagai raksasa, bahkan dengan seragam yang robek, turban bernoda darah, serta perban di salah satu mata dan di atas hidungnya (salah satu anak buahnya rupanya menonjok wajahnya supaya dia mau ikut naik helikopter terakhir dari Gandhi Park).

(Khan menarik napas panjang penuh kebanggaan.)

"Tuan-tuan..." ujar si jenderal; dia memanggil kami "tuan-tuan" dan mulai menjelaskan dengan hati-hati bahwa jalan itu harus diledakkan. Angkatan udara, atau yang tersisa dari mereka, sudah ditugaskan menutup jalur-jalur pegunungan. Sebuah pesawat pembom Shamsher sudah ditempatkan di atas posisi kami. Jika kami tak mampu atau tak bersedia melakukan tugas kami, sang pilot akan ditugaskan untuk melepaskan "Kemarahan Siwa."

"Kau tahu apa artinya?" Tanya Jenderal Singh padaku. Mungkin dipikirnya aku terlalu muda untuk mengerti, atau mungkin karena dia dengan tepat menebak bahwa aku seorang Muslim. Tapi bahkan jika aku tak tahu apa-apa soal dewa dalam ajaran Hindu, semua orang militer sudah pernah mendengar rumor tentang kode rahasia itu, yang mengacu pada senjata termonuklir.

Bukankah itu akan menghancurkan jalan?

Ya, dan setengah bagian gunung itu! Bukannya titik hambatan dengan dinding tebing yang utuh, kau justru akan melihat gundukan landai! Tujuan proyek itu adalah menciptakan halangan yang tak bisa dilalui oleh mayat hidup, tapi para komandan angkatan udara goblok itu justru akan memberi mereka akses ke zona aman! Mukherjee menelan ludah, tak yakin harus bagaimana, sampai si Macan Delhi meminta detonatornya. Benar-benar pahlawan; dia bersedia menanggung beban sebagai pembunuh masal. Mukherjee menyerahkan detonatornya, nampak hampir menangis. Jenderal Raj-Singh berterimakasih pada kami berdua, mengucap doa, dan menekan tombol detonator.

Tak ada yang terjadi. Dia mencoba lagi. Tak ada reaksi.

Sang jenderal mengecek baterai dan semua koneksi, lantas mencoba lagi. Masih tak ada reaksi. Problemnya bukan di detonator. Ada yang tidak beres dengan peledak yang dikubur setengah kilometer di depan sana, tepat di bawah kaki-kaki para pengungsi. Tamatlah kita, pikirku, kita semua akan mati. Satu-satunya yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya pergi dari sana, menyingkir sejauh mungkin dari ledakan nuklir. Aku merasa bersalah karena pikiran-pikiran itu, betapa aku hanya memikirkan diri sendiri.

Syukurlah ada Jenderal Raj-Singh. Dia bereaksi dengan cara yang bisa kau harapkan dari sosok legenda hidup. Dia memerintahkan kami untuk pergi, selamatkan diri kami dan pergi ke Shimla, lalu dia berbalik dan lari ke arah kerumunan. Mukherjee dan aku bertatapan, lantas berlari mengikuti sang jenderal. Kami juga ingin jadi pahlawan dengan cara melindungi jenderal kami, melindunginya dari kerumunan. Lucu sekali. Kami bahkan tidak bisa melihatnya ketika kerumunan orang menerjang kami seperti arus sungai. Aku didorong dan disikut dari setiap jurusan. Aku bahkan tidak sadar ketika ada yang menonjok mataku. Aku terus berteriak bahwa aku harus lewat, bahwa ini urusan militer. Tidak ada yang mendengarkan. Aku menembakkan beberapa butir peluru ke udara. Masih tak ada reaksi. Aku bahkan sempat mempertimbangkan menembak langsung ke kerumunan, begitu putus asanya diriku. Sekilas kulihat Mukherjee terjungkal ke jurang bersama seorang pria yang rupanya hendak merebut senapannya.

Aku kembali mencari Jenderal Raj-Singh, tetapi aku masih tidak bisa menemukannya. Aku meneriakkan namanya, mencoba menemukan sosoknya di antara puncak-puncak kepala orang-orang. Aku melompat ke atas atap sebuah minibus, mencoba mempertahankan pijakan. Angin berembus membawa bau busuk dan suara erangan ke seluruh lembah. Sekitar setengah kilometer di depanku, kerumunan orang nampak berlari. Aku memicingkan mata. Mayat-mayat hidup datang. Pelan tapi pasti, dalam kerumunan besar seperti para pengungsi yang saat itu melewatiku.

Minibus itu berguncang dan aku jatuh. Mulanya tubuhku mengapung di atas lautan manusia, lantas mendadak aku terjatuh ke tanah. Kaki-kaki bersepatu dan telanjang menginjak-injak tubuhku. Rusukku patah; ketika aku batuk, ada darah di mulutku. Aku segera berguling ke bawah minibus. Aku kesakitan dan tak bisa bicara. Aku nyaris tidak bisa melihat apa-apa, tetapi aku mendengar suara para zombie yang mendekat, mungkin sekitar dua ratus meter di depanku. Aku bertekad tidak akan mati seperti orang-orang yang mereka cabik-cabik, atau sapi itu yang kulihat terkoyak-koyak berlumuran darah di Sungai Satluj di Rupnagar. Aku meraba pistolku; tanganku rasanya tak mau bekerja. Aku mengumpat dan menangis. Aku mungkin harusnya jadi religius di saat-saat seperti itu, tapi aku malah ketakutan, marah, dan mulai membentur-benturkan kepalaku ke bagian bawah minibus itu, keras sekali sampai rasanya aku bisa memecahkan tengkorakku. Mendadak terdengar suara menderu hebat, dan tanah berguncang di bawahku. Gelombang jeritan dan erangan bercampur dengan ledakan debu. Wajahku mengantam bagian bawah bus dengan keras sampai aku pingsan.

Hal pertama yang kuingat ketika aku sadar adalah suara-suara pelan. Kukira itu tetesan air. Tap-tap-tap, seperti itu. Suara-suara itu semakin jelas, dan kemudian aku menyadari ada beberapa suara lagi...suara gemeresak radioku...entah kenapa benda itu tidak hancur...dan erangan mayat hidup. Aku merayap dari bawah bus. Setidaknya kakiku masih cukup kuat untuk berdiri. Kemudian aku menyadari bahwa aku sendirian. Tidak ada pengungsi. Tidak ada Jenderal Raj-Singh. Aku berdiri di tengah-tengah barang-barang pribadi yang berserakan di tengah jalan pegunungan. Di depanku, ada jurang baru yang menganga lebar, dan di sisi satunya ada jalan yang terputus.

Rupanya dari sanalah erangan itu berasal. Para zombie masih berdatangan. Dengan mata terpaku ke depan dan lengan-lengan terjulur, mereka berjatuhan melewati tepian jalan yang hancur. Itulah suara tap-tap yang kudengar tadi; tubuh-tubuh yang menghantam dasar jurang. Pasti si Macan Delhi menyalakan peledaknya secara manual. Kurasa dia berhasil mencapainya pada saat yang bersamaan dengan para zombie. Kuharap mereka belum sempat menggigitnya. Kuharap sang jenderal senang dengan patungnya yang sekarang berdiri megah di jalan bebas hambatan baru kami. Saat itu aku tidak memikirkan pengorbanan si jenderal. Aku bahkan tak tahu apakah yang kulihat itu nyata atau tidak. Aku menatap kosong ke arah mayat-mayat hidup yang berjatuhan, sementara radioku terus-menerus meneriakkan laporan dari unit-unit lain:

"Vikasnagar: Aman."

"Bilaspur: Aman."

"Jawala Mukhi: Aman."

"Semua jalur melaporkan status aman. Selesai!"

Apakah aku bermimpi? Pikirku. Apakah aku sudah gila?

Monyet yang ada di dekatku sama sekali tidak membantu. Hewan itu duduk di atap minibus, menatap ke arah mayat-mayat hidup yang berjatuhan. Wajahnya nampak tenang dan cerdas, seolah dia mengerti apa yang terjadi di depannya. Aku nyaris berharap dia akan menatapku dan berkata, "Inilah titik balik perang! Kita berhasil mengalahkan mereka!" Tapi kemudian penis kecilnya keluar, dan dia mengencingi wajahku.

Baca bab selanjutnya di sini.


*BRO: Border Road Organisation, institusi yang membangun dan memperbaiki jalan perbatasan. Anggotanya terdiri dari para staf Korps Insinyur militer India.

**Rashtriya Rifles: satuan anti-teror dalam militer India.

Senin, 31 Oktober 2016

World War Z: Bab IV: Membalik Keadaan (part 4)

Baca bagian sebelumnya di sini.

Ingin baca dari awal? Ke sini.


Cagar Alam Provinsi Sand Lakes, Manitoba, Kanada

(Jesika Hendricks menunjuk ke hamparan sampah sub-artik. Keindahan alami tempat itu telah tergantikan oleh gundukan sampah: mobil-mobil yang diabaikan, serpihan, serta mayat-mayat manusia yang setengah beku di antara salju putih dan kelabu. Jesika, yang datang dari Waukesha, Wisconsin walau aslinya orang Kanada, adalah anggota Proyek Restorasi Alam Liar. Bersama beberapa ratus orang sukarelawan, Jesika datang ke tempat ini setiap musim panas sejak ancaman zombie secara resmi dinyatakan berakhir. Para anggota proyek mengklaim telah mencapai kemajuan pesat, tetapi tak ada yang tahu kapan proyek itu akan berakhir.)

Aku tidak menyalahkan pemerintah, atau orang-orang yang seharusnya melindungi kami. Kalau mau objektif, harusnya aku tidak berpikir begitu. Mereka tidak mungkin menyuruh semua orang membuntuti tentara ke barat hingga ke balik Pegunungan Rocky. Bagaimana caranya mereka memberi makan dan memeriksa kami, serta menghentikan pasukan mayat hidup yang terus membuntuti kami? Aku paham mengapa mereka ingin mengarahkan sebanyak mungkin pengungsi ke utara. Maksudnya, bagaimana lagi mereka akan menangani kami? Menghalangi kami dengan pasukan bersenjata, atau menyerang kami dengan gas seperti di Ukraina? Setidaknya, di utara, kami masih punya kesempatan. Ketika suhu menurun drastis dan para zombie membeku, kami mungkin bisa bertahan hidup. Itu terjadi di seluruh dunia, orang-orang lari ke utara dan berharap tetap hidup sampai musim dingin tiba.

Tidak, aku tidak menyalahkan mereka. Aku bisa memaafkan itu. Tapi cara mereka yang tidak bertanggung jawab, kurangnya informasi penting yang mungkin bisa membantu lebih banyak orang agar tetap hidup...itu yang aku tak bisa maafkan.

Saat itu Agustus, dua minggu setelah Perang Yonkers dan tiga hari setelah pasukan militer kami mulai mundur ke barat. Di dekat rumahku tidak banyak kejadian. Aku cuma pernah lihat satu: enam zombie yang mengeroyok dan memakan seorang gelandangan. Polisi dengan cepat mengurus mereka. Kejadiannya hanya tiga blok dari rumah kami, dan saat itulah ayahku memutuskan untuk membawa kami pergi.

Kami di ruang tamu. Ayahku sedang belajar mengisi senapan barunya, dan ibuku memaku papan-papan ke jendela. Semua saluran TV menayangkan apapun tentang zombie, entah itu liputan langsung atau siaran rekaman dari Yonkers. Sampai sekarang, aku masih tak percaya betapa tidak profesionalnya media saat itu. Banyak fakta yang diputarbalikkan. Semua komentar para "ahli" saling simpang-siur, masing-masing ingin jadi yang paling "mengejutkan" atau "mendalam". Satu hal yang mereka semua setujui adalah para penduduk sipil harus "pergi ke utara." Karena para zombie bisa membeku, cuaca dingin adalah harapan kami. Itu saja yang kami dengar. Tak ada informasi soal ke mana tepatnya kami harus pergi, apa yang harus dibawa, bagaimana cara bertahan hidup. Hanya satu slogan sialan itu saja yang kami dengar: "Ke utara. Ke utara. Ke utara."

"Baiklah," ujar ayahku. "Kita keluar dari sini malam ini, dan pergi ke utara." Dia mencoba kedengaran bertekad sembari menepuk senapannya. Dia tidak pernah menyentuh senjata api selama hidupnya. Dia pria yang lembut. Pendek, botak, dengan wajah bundar yang akan memerah kalau tertawa, dia jagonya melontarkan lawakan-lawakan tak lucu dan pelesetan. Dia selalu punya hadiah kecil; pujian, senyuman, atau sedikit tambahan uang jajan yang tidak diberikan ibuku. Dia adalah si polisi baik kalau di rumah, semua keputusan besar diserahkan pada ibuku.

Ibu mencoba mendebatnya, mengajukan berbagai alasan. Kita tinggal di atas permukaan salju tertinggi, dan punya semua yang dibutuhkan. Mengapa kita harus pergi ke daerah tak dikenal sementara kita bisa menumpuk persediaan, memperkuat rumah, dan menunggu salju pertama turun? Ayahku tak mau dengar. "Kita bisa mati saat musim gugur tiba, atau bahkan minggu depan!" Dia begitu terpengaruh oleh Kepanikan Besar.

Dia bilang pada kami itu akan seperti perjalanan berkemah yang lama. Kami akan pesta burger rusa dan buah beri liar untuk pencuci mulut. Dia janji mengajariku memancing, dan bertanya nama apa yang akan kuberikan pada kelinci peliharaanku kalau kami nanti berhasil menangkapnya. Ayahku tinggal di Waukesha seumur hidupnya. Dia tidak pernah berkemah.

(Jesika menunjukkan padaku sesuatu yang setengah terkubur salju; keping-keping DVD yang sudah remuk.)

Inilah yang orang-orang bawa dari rumah mereka: pengering rambut, game, lusinan laptop. Aku tak mengira mereka akan sebodoh itu dan berpikir bisa menggunakan semuanya di sini. Yah, mungkin beberapa. Kupikir orang-orang ini cuma takut akan kehilangan benda-benda itu; mereka pikir mereka akan pulang enam bulan kemudian dan menemukan rumah mereka dijarah. Keluargaku berkemas dengan lebih masuk akal. Pakaian hangat, alat memasak, seisi lemari obat, dan semua makanan kaleng yang bisa kami bawa. Kelihatannya malah cukup untuk bertahun-tahun. Tapi kami menghabiskan separuhnya sepanjang perjalanan. Itu tidak menggangguku. Kami toh akan berpetualang di alam liar.

Kau tahu semua cerita tentang jalanan macet dan aksi kekerasan itu? Itu tidak terjadi pada kami. Kami adalah rombongan pertama. Kebanyakan orang yang mendahlui kami adalah orang Kanada, dan mereka sudah lama pergi. Lalu-lintas memang masih agak macet, dan ada lebih banyak mobil dari yang biasa kulihat, tapi semuanya bergerak cukup cepat. Kemacetan hanya terjadi di sekitar kota-kota kecil dan taman.

Taman?

Taman, fasilitas perkemahan, pokoknya di mana saja orang pikir mereka sudah cukup jauh. Ayahku biasa meremehkan orang-orang itu, menyebut mereka picik dan tak masuk akal. Dia bilang mereka masih terlalu dekat dengan pusat pemukiman, dan satu-satunya cara bertahan adalah dengan pergi sejauh mungkin ke utara. Ibuku selalu bilang kalau itu bukan salah mereka; mungkin mereka cuma kehabisan bensin. "Dan salah siapa itu?" Balas ayahku.

Kami punya banyak persediaan bensin dalam jerigen-jerigen yang diikat di atap mobil. Ayah sudah menumpuk banyak bensin sejak hari pertama Kepanikan Besar. Kami melewati banyak kemacetan dan antrian di pom bensin, semuanya memasang tanda besar "BENSIN HABIS." Ayahku ngebut melewati mereka. Dia selalu ngebut ketika melewati banyak hal: mobil yang mogok di pinggir jalan, atau orang-orang yang ingin menumpang. Banyak di antara mereka berjalan dalam barisan, terlihat seperti layaknya pengungsi. Terkadang ada satu atau dua mobil yang berhenti untuk mengangkut beberapa orang, dan mendadak semuanya juga ingin ikut menumpang. "Lihat, itulah akibatnya." Ayahku selalu bilang begitu.

Kami sempat mengangkut seorang wanita. Dia berjalan sendirian dan menyeret koper beroda. Dia kelihatannya tak berbahaya, sendirian dan kehujanan. Mungkin itu sebabnya ibuku menyuruh ayah mengangkutnya. Namanya Patty, dia dari Winnipeg. Dia tidak bilang bagaimana dia sampai berjalan sendirian, dan kami juga tidak bertanya. Dia sangat bersyukur dan mencoba memberi semua uangnya pada orangtuaku. Ibuku menolak dan berjanji akan membawanya bersama kami. Dia menangis penuh terima kasih. Aku bangga pada orang tuaku karena melakukan hal yang benar, sampai dia bersin dan mengangkat saputangan ke hidungnya. Tangan kirinya ada di dalam sakunya sepanjang perjalanan, dan tangan itu terbalut perban dengan sesuatu mirip darah di bawahnya. Dia melihat tatapan kami, dan mendadak jadi gugup.

Dia bilang kami tak perlu khawatir; tangannya tergores secara tak sengaja. Ayah memandang ibu, dan mendadak mereka jadi diam. Mereka menolak melihatku atau mengatakan sesuatu. Malam itu, ketika terbangun, aku mendengar pintu mobil terbanting menutup. Mulanya aku tak merasa aneh; kami kadang-kadang memang berhenti untuk buang air, dan ibu selalu membangunkanku untuk bertanya apa aku mau buang air. Akan tetapi, kali itu, aku tak tahu apa yang terjadi sampai mobil kami mulai berjalan.

Aku menatap berkeliling mencari Patty, tapi dia tidak ada. Aku tanya orang tuaku apa yang terjadi, dan mereka bilang Patty meminta mereka untuk menurunkannya. Aku melihat ke belakang dan melihat sosoknya, semakin lama semakin kecil. Kupikir dia berusaha berlari menyusul kami, tapi aku sangat capek sehingga tak begitu yakin. Atau mungkin aku hanya tak mau tahu. Ada banyak hal yang aku pura-pura tak lihat sepanjang sisa perjalanan kami.

Misalnya apa?

Misalnya orang-orang yang hendak menumpang. Jumlahnya tidak banyak karena itu baru gelombang pertama. Kami biasanya melihat mereka dalam jumlah sekitar setengah lusin, berjalan di tengah jalan, memberi isyarat tangan ketika melihat mobil kami. Ayah akan mengepot melewati mereka, dan ibu menyuruhku membungkuk dan menyembunyikan wajahku. Aku membenamkan wajahku di kursi mobil dan menutup mata. Aku tak mau melihat mereka. Aku terus berpikir tentang burger rusa dan buah beri liar. Rasanya seperti menuju ke Tanah yang Dijanjikan. Kupikir ketika kami tiba di utara, semuanya akan baik-baik saja.

Mulanya semua oke. Kami mendapat tempat berkemah bagus di tepi danau. Orang-orangnya tidak begitu banyak, tapi cukup untuk membuat kami merasa "aman," siapa tahu ada mayat hidup muncul. Semuanya sangat ramah; kelompok besar orang-orang yang merasa lega dan aman. Rasanya malah agak seperti pesta. Kami sering masak bersama, dan orang-orang menyumbangkan hewan-hewan yang mereka buru atau pancing. Beberapa pria melempar dinamit ke danau, lalu ada letusan besar, dan ikan-ikan akan mengapung ke permukaan. Aku tak akan pernah melupakan suara-suara itu. Orang-orang menggunakan gergaji mesin untuk menebang pohon, suara musik dari radio mobil dan alat-alat musik yang dibawa para keluarga. Kami semua bernyanyi di sekitar api unggun setiap malam, dengan api unggun raksasa dari kayu-kayu besar.

Itu saat kami masih punya pepohonan, sebelum gelombang pengungsi kedua dan ketiga mulai muncul, sebelum orang-orang mulai membakar dedaunan dan sisa-sisa kayu, dan akhirnya apa saja yang bisa mereka bakar. Bau plastik dan karet terbakar sangat buruk, seolah menempel di mulut dan rambutmu. Pada saat itu, ikan-ikan sudah habis, begitu juga dengan hewan-hewan buruan. Orang-orang tak khawatir. Mereka pikir musim dingin akan segera membekukan zombie.

Tapi, ketika para zombie membeku, bagaimana kalian bertahan menghadapi musim dingin?

Pertanyaan bagus. Kupikir kebanyakan orang tak berpikir sejauh itu. Mungkin mereka pikir pihak berwenang akan menjemput mereka, atau mereka bisa berkemas dan pulang. Aku yakin kebanyakan tak berpikir jauh, kecuali menghadapi hari demi hari, bersyukur mereka masih hidup dan percaya bahwa segala sesuatu akan beres sendiri. "Kita akan segera pulang," mereka berkata, "semua ini akan berakhir saat Natal."

(Dia kembali menunjuk sesuatu yang setengah terkubur di antara salju. Sebuah kantung tidur bermotif Spongebob SquarePants, kecil dan bernoda kecoklatan.)

Pikirmu ini pesta menginap di kamar tidur dengan alat pemanas? Oke, mungkin tak semua bisa membawa perlengkapan yang pantas; toko perlengkapan berkemah selalu jadi yang pertama habis dijarah. Tapi kau tak akan percaya betapa bodohnya sebagian orang-orang ini. Banyak dari mereka yang datang dari area Sabuk Matahari,* bahkan Meksiko Selatan. Ada orang masuk ke balik kantung tidur dengan masih pakai sepatu, padahal itu akan memutus sirkulasi tubuh. Mereka minum alkohol untuk menghangatkan badan, padahal itu justru menurunkan suhu tubuh dengan melepaskan lebih banyak panas. Mereka pakai mantel tanpa apa-apa lagi di bawahnya kecuali kaos. Lalu mereka akan melakukan aktivitas fisik dan keringatan, dan kaos katun itu menahan cairan tubuh, dan kemudian angin dingin berhembus.... Banyak orang yang sakit di awal September, Flu dan pilek. Mereka menularkannya pada yang lainnya.

Mulanya semua orang masih ramah. Kami bekerjasama. Kami barter atau membeli apa yang kami butuhkan dari tetangga kami. Uang masih berharga; semua orang pikir bank akan segera buka. Setiap kali ibu dan ayah pergi mencari makanan, mereka akan menitipkanku pada tetangga. Aku punya radio survival kecil, jenis yang harus diengkol agar menyala supaya kami bisa mendengar berita setiap malam. Semua beritanya tentang penarikan tentara dan rakyat sipil yang terabaikan. Kami mendengar berita dengan peta jalan Amerika Serikat terbentang, menunjuk berbagai kota darimana berita itu disiarkan. Aku duduk di pangkuan ayahku. "Coba lihat," katanya, "mereka tak bisa keluar tepat waktu. Mereka tidak pintar seperti kita." Dia mencoba memaksakan senyum, dan kupikir saat itu dia benar.

Tetapi, setelah bulan pertama dan makanan mulai habis, dan hari-hari semakin dingin dan gelap, orang-orang mulai jadi jahat. Tak ada lagi api unggun, masak-masak atau menyanyi bersama. Perkemahan jadi kotor, tak ada lagi yang repot-repot menyimpan sampah. Sesekali aku tak sengaja menginjak tinja. Tak ada lagi yang menguburnya.

Aku tak lagi dititipkan ke tetangga, orang tuaku tak memercayai siapapun. Situasi jadi berbahaya, ada banyak perkelahian. Aku melihat dua wanita berkelahi memperebutkan sebuah mantel bulu, dan merobek bendak itu tepat di tengah-tengah. Seorang pria melihat pria lain mencoba mencuri sesuatu dari mobilnya, lalu dia memukulnya dengan batang pencungkil ban. Suara-suara perkelahian dan teriakan itu kebanyakan terdengar di malam hari. Sesekali ada suara tembakan, lalu seseorang menangis. Suatu malam, kami mendengar seseorang mengendap-endap dekat kemah darurat yang kami bentangkan di atas mobil. Ibu menyuruhku menundukkan kepala dan menutup telinga. Ayah keluar. Aku mendengar suara tembakan lewat telapak tanganku. Pistol ayahku. Seseorang menjerit. Saat ayahku kembali, wajahnya pucat, Aku tak pernah tanya apa yang terjadi.

Satu-satunya saat semua orang bersatu adalah ketika zombie muncul. Mereka mengikuti gelombang pengungsi ketiga, dan biasanya muncul dalam kawanan kecil. Itu terjadi tiap beberapa hari sekali. Setiap mereka datang, akan ada yang memberi peringatan, dan semua orang bersatu untuk mengusir mereka. Lalu, setelah semua selesai, kami saling bersitegang lagi.

Ketika cuaca sudah cukup dingin untuk membekukan danau, ketka mayat hidup mulai tak terlihat lagi, beberapa orang berpikir bahwa sudah cukup aman untuk berjalan kembali ke rumah.

Berjalan? Tidak menyetir?

Tidak ada bensin lagi. Semua sudah habis untuk memasak atau menjalankan pemanas mobil. Setiap hari, orang-orang akan membentuk kelompok-kelompok lusuh kelaparan dengan barang-barang tak berguna yang mereka bawa, wajah mereka semua nampak putus asa.

"Memangnya mereka mau ke mana?" Ayahku berkata. "Apa mereka tidak tahu kalau semakin ke selatan semakin dingin? Apa mereka tidak sadar apa yang menanti mereka di sana?" Ayahku yakin kalau kami bertahan cukup lama, cepat atau lambat semua akan baik-baik saja. Saat itu bulan Oktober, dan aku masih terlihat seperti manusia.

(Kami melihat tumpukan tulang-belulang, terlalu banyak untuk dihitung. Mereka menumpuk di dalam sebuah lubang dangkal dan setengah terkubur salju.)

Aku dulu anak gendut. Aku tak pernah olahraga, selalu ngemil. Aku hanya bertambah kurus sedikit saat kami tiba di sini bulan Agustus. Bulan November, aku sudah tinggal tulang. Orangtuaku tidak lebih baik. Perut ayah kempes, dan tulang pipi ibuku sangat menonjol. Mereka jadi sering bertengkar tentang segalanya. Mereka membuatku takut. Mereka tak pernah membentak saat di rumah. Mereka guru sekolah "progresif." Kalaupun bertengkar, paling-paling makan malam yang diam dan sedikit tegang, tapi tak pernah seperti saat itu.

Suatu hari, aku tak bisa bangun. Perutku membengkak, dan kulit sekitar mulutku mengelupas. Ada bau enak keluar dari mobil rekreasi di sebelah kami. Sepertinya mereka memasak daging; baunya benar-benar sedap. Ayah dan ibu bertengkar di luar. Ibu bilang "itu" satu-satunya cara; aku tidak tahu apa maksudnya "itu." Kata ibuku, mereka yang jahat, bukan kami. Ayahku bilang kami tak akan merosot sampai ke level mereka dan ibuku harusnya malu pada dirinya sendiri. Ibuku menjerit bahwa salah ayahkulah kami ada di sini, dan aku sekarat. Ibu bilang pria sejati harusnya tahu apa yang harus dilakukan. Ibu memanggil ayahku "lemah" dan "banci."

Ayahku membentak ibuku supaya "menutup congornya." Padahal ayahku tidak pernah sekalipun mengumpat. Lalu aku mendengar suara hantaman. Saat ibuku kembali, dia memegangi segumpal salju di mata kanannya. Ayah mengikutinya. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi ada ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya di wajahnya, seperti orang asing. Dia menyambar radio kami, radio yang selalu ditawar orang-orang untuk ditukar...atau terancam dicuri. Dia membawanya dan kembali ke mobil rekreasi itu. Sepuluh menit kemudian, dia kembali tanpa radio itu, tetapi dia membawa ember berisi daging rebus yang panas mengepul. Rasanya enak sekali!

Ibu bilang jangan makan terlalu cepat. Dia menyuapiku dengan sendok kecil. Wajahnya terlihat sangat lega, dan dia menangis sedikit. Ekspresi ayahku masih sama. Ekspresi yang sama dengan yang akhirnya muncul di wajahku beberapa minggu kemudian, ketika ayah ibuku jatuh sakit dan aku gantian memberi makan mereka.

(Aku membungkuk untuk memeriksa tumpukan tulang. Semuanya patah dan sumsumnya dikeluarkan.)

Musim dingin benar-benar menghantam kami saat Desember tiba. Salju menimpa kami semua, tebal dan kelabu karena polusi. Perkemahan itu jadi senyap. Tak ada perkelahian atau penembakan lagi. Saat Natal tiba, kami yang tersisa mendapat banyak makanan.

(Jesika mengangkat sesuatu yang mirip tulang paha berukuran kecil; dagingnya telah dibersihkan dengan pisau.)

Katanya sebelas juta orang tewas pada musim dingin itu, dan itu baru di Amerika Utara, belum termasuk daerah-daerah lain seperti Greenland, Islandia, Skandinavia. Aku bahkan tak mau memikirkan Siberia dan para pengungsi di sana; mereka yang dari Cina Selatan, para pengungsi dari Jepang yang belum pernah sekalipun ke luar kota, dan semua orang miskin dari India. Itu adalah tahun pertama Musim Dingin Kelabu, ketika polusi di langit mulai memengaruhi cuaca. Katanya, sebagian polusi itu berasal dari abu sisa pembakaran tubuh-tubuh manusia.

(Dia menancapkan palang penanda di tepi lubang itu.)

Butuh waktu lama sampai matahari akhirnya muncul, cuaca menjadi hangat, dan salju meleleh. Saat pertengahan Juli, musim semi akhirnya tiba, dan begitu juga dengan para zombie.

(Salah satu anggota tim memanggil kami. Sesosok zombie nampak setengah terkubur, membeku karena terkubur es dari pinggang ke bawah. Kepala, lengan, dan tubuh bagian atasnya masih bergerak-gerak liar. Dia melolong dan mencakar-cakar, mencoba merayap ke arah kami.)

Mengapa mereka hidup kembali setelah membeku? Sel tubuh manusia terdiri dari air, 'kan? Ketika air dalam sel membeku, air itu mengembang dan merusak dinding sel. Makanya kau tak bisa begitu saja membekukan orang yang tidak bergerak. Jadi kenapa para zombie ini selalu hidup kembali?

(Zombie itu mendadak menerjang ke arah kami; tubuh bagian bawahnya hampir lepas. Jesika mengangkat senjatanya, sebuah linggis berat, dan dengan santai menghantam remuk tengkorak zombie itu.)

Baca bagian selanjutnya di sini.


*Sun Belt area: istilah untuk area di Amerika Serikat bagian selatan dan tenggara, yang memiliki iklim hangat serta musim dingin lebih singkat, seperti California, Nevada, Texas, Oklahoma, Florida, New Mexico, dan sebagainya.